Opini

Governmentless dan Pagar Laut Misterius

Fenomena pagar laut misterius sepanjang 30 kilometer yang muncul di pesisir utara Tangerang telah menyulut perdebatan dan menimbulkan kekhawatiran besar tentang ketidakberdayaan negara dalam menjalankan fungsi dasarnya.

OLEH: EKO SUPRIATNO *)

Pagar laut misterius ini muncul secara tiba-tiba pada Agustus 2024, tanpa izin resmi atau pemberitahuan apapun kepada masyarakat. Hingga kini, meski sudah ada upaya penyelidikan dari berbagai instansi, pemerintah daerah tampak kebingungan dan tidak mampu memberikan jawaban yang jelas mengenai siapa yang bertanggung jawab atas proyek ini.

Situasi ini menjadi cermin dari fenomena yang bisa kita sebut sebagai Governmentless – keadaan di mana negara tampak lemah dan tak berdaya dalam mengelola dan mengatur ruang publik.

Pagar laut misterius ini tidak hanya menjadi masalah geografis, tetapi juga sebuah simbol dari ketidakberdayaan pemerintah dalam menjalankan fungsi pengaturannya.

Proyek ini berlangsung tanpa pengawasan yang memadai dan mengancam akses masyarakat terhadap laut yang, bagi banyak orang, terutama nelayan, adalah sumber mata pencaharian utama.

Tidak hanya itu, pagar laut misterius ini juga menimbulkan kekhawatiran tentang privatisasi wilayah laut yang semestinya menjadi ruang publik.

Pemerintah daerah, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten, memiliki kewenangan untuk mengelola laut hingga 12 mil dari garis pantai sesuai dengan Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

Namun, pada kenyataannya, kita melihat bagaimana kewenangan tersebut dipinggirkan begitu saja, tanpa adanya tindakan tegas terhadap pemagaran laut yang jelas-jelas ilegal ini.

Dalam hal ini, negara tidak hadir untuk melindungi kepentingan publik, sebaliknya, malah memberikan ruang bagi penguasa-penguasa ekonomi untuk melakukan eksploitasi ruang laut demi kepentingan pribadi.

Menjaga Ruang Publik

Fenomena pagar laut yang muncul secara misterius di pesisir utara Tangerang bukan hanya menyisakan pertanyaan besar mengenai siapa yang bertanggung jawab, tetapi juga membuka tabir sebuah fenomena yang semakin merajalela di Indonesia: dominasi kelompok oligarki yang semakin menggerus hak-hak publik.

Di balik pagar bambu sepanjang 30 kilometer yang memblokir akses masyarakat ke laut, terdapat gambaran yang lebih besar tentang ketidakberdayaan negara dan bagaimana sistem yang ada dikuasai oleh segelintir orang dengan kekuatan finansial dan politik.

Inilah yang kemudian kita sebut sebagai praktek oligarki yang semakin menguatkan dominasi para pengusaha besar, bahkan merugikan rakyat kecil, terutama mereka yang bergantung pada laut untuk kehidupan mereka.

Oligarki, sebuah sistem kekuasaan yang dikuasai oleh segelintir orang dengan kekuatan ekonomi dan politik yang sangat besar, kini semakin menguasai ruang publik di Indonesia.

Fenomena ini seolah tidak terelakkan, apalagi ketika pemerintah yang seharusnya menjadi pelindung rakyat malah tampak tidak mampu untuk bertindak tegas terhadap pelanggaran hukum yang dilakukan oleh aktor-aktor non-negara.

Dalam hal pagar laut ini, muncul dugaan bahwa proyek pemagaran yang terjadi berhubungan dengan pengembangan kawasan Pantai Indah Kapuk (PIK) 2, yang didalangi oleh pengusaha besar serta beberapa pejabat desa yang memiliki kepentingan pribadi.

Proyek reklamasi yang sedang berjalan di wilayah tersebut bisa jadi adalah upaya untuk mengubah laut yang semestinya menjadi milik publik menjadi lahan yang bisa dikuasai oleh pengusaha untuk tujuan komersial semata.2

Keterlibatan pejabat desa dan pengembang ini menunjukkan bagaimana ruang publik—seperti laut yang seharusnya menjadi hak bersama—dikuasai oleh kelompok kecil yang memiliki akses besar terhadap kekuasaan dan sumber daya.

Sementara itu, nasib masyarakat kecil, khususnya nelayan yang bergantung pada laut untuk kelangsungan hidup mereka, semakin terpinggirkan.

Sebagai akibat dari dominasi oligarki, mereka yang memiliki modal dan kekuasaan politik dapat dengan leluasa mengatur ruang yang seharusnya menjadi hak publik, sementara rakyat yang terdampak tidak punya kuasa untuk mempertahankan hak mereka.

Salah satu faktor yang memperburuk ketimpangan ini adalah adanya proyek-proyek besar yang diberi label “Proyek Strategis Nasional” (PSN).

Label tersebut seolah memberikan legitimasi kepada proyek-proyek yang berpotensi merugikan rakyat, dengan mengutamakan kepentingan pengusaha besar daripada kebutuhan masyarakat yang lebih kecil.

Proyek-proyek yang seharusnya memperhatikan keadilan sosial dan keberlanjutan ekosistem sering kali lebih mengutamakan keuntungan segelintir orang yang memiliki kekuasaan finansial dan politik.

Pembangunan kawasan seperti PIK 2 adalah contoh nyata bagaimana proyek besar ini tidak hanya mengancam keberlanjutan ekosistem laut, tetapi juga semakin memperburuk ketidakadilan sosial yang sudah sangat terasa.

Dengan segala kemegahan dan potensi keuntungan yang ditawarkan, proyek PIK 2 jelas memberikan manfaat besar bagi pengusaha besar dan pengembang, sementara masyarakat sekitar yang sebenarnya memiliki hak atas ruang laut tersebut justru terpinggirkan.

Pengabaian terhadap hak-hak nelayan dan masyarakat setempat menjadi bagian dari dampak dari dominasi kekuatan besar yang memanfaatkan celah dalam regulasi dan kelemahan pengawasan dari pemerintah.

Dalam situasi ini, kita bisa melihat betapa lemah dan tidak berdayanya negara dalam menghadapi oligarki yang terus berkembang.

Pemerintah, yang seharusnya berfungsi untuk mengatur dan melindungi kepentingan publik, tampak lebih sibuk dengan urusan politik dan kepentingan segelintir pengusaha.

Bahkan ketika peraturan yang ada sudah jelas melarang pemagaran laut ilegal—seperti yang tercantum dalam Peraturan Daerah Rencana Tata Ruang DKP Provinsi Banten No. 2 Tahun 2023 yang melarang pemagaran laut di Zona Perikanan dan Zona Pengelolaan Energi—negara tetap terlihat enggan untuk menegakkan aturan tersebut.

Mengapa? Karena sistem yang ada sudah terlampau dikuasai oleh mereka yang memiliki kekuatan finansial dan politik, sehingga negara seolah hanya menjadi simbol kosong yang tidak mampu mengimbangi kekuatan tersebut.

Pemerintah yang seharusnya hadir untuk menjaga kepentingan publik, justru absen dalam kasus pemagaran laut ini.

Masyarakat yang berusaha untuk menuntut hak mereka dan mencari kejelasan tentang siapa yang bertanggung jawab malah dihadapkan dengan ketidakjelasan dan kebingungan dari pemerintah daerah.

Bahkan ketika pemerintah pusat seharusnya turun tangan untuk menegakkan hukum, mereka malah lebih memilih untuk membiarkan situasi ini berlangsung.

Inilah yang menjadi titik kritis dari fenomena Governmentless—di mana negara, dalam hal ini, tak lagi berfungsi dengan baik sebagai pengatur dan pelindung ruang publik.

Ketidakberdayaan Rakyat

Yang lebih memprihatinkan lagi adalah bagaimana ketidakberdayaan rakyat semakin terasa.

Nelayan dan masyarakat yang bergantung pada laut sebagai sumber kehidupan mereka, kini terpaksa menerima kenyataan bahwa laut yang menjadi hak mereka kini dikuasai oleh para pengusaha besar dengan dukungan pemerintah yang enggan mengambil tindakan tegas.

Ketika negara tidak mampu hadir untuk menegakkan hukum, maka yang terjadi adalah masyarakat kecil yang harus menanggung dampak dari ketimpangan yang diciptakan oleh oligarki.

Namun, yang lebih menyedihkan adalah kenyataan bahwa semakin sedikit ruang bagi masyarakat untuk bersuara. Ketika mereka mencoba untuk mengkritik dan mengajukan protes terhadap proyek-proyek yang merugikan mereka, suara mereka sering kali tenggelam oleh kekuatan besar yang memiliki pengaruh politik dan ekonomi yang sangat besar.

Tidak jarang pula, ketika rakyat mencoba mengorganisir perlawanan, mereka dihadapkan dengan represivitas dan intimidasi dari pihak-pihak yang berkepentingan.

Keadaan ini menciptakan kesenjangan sosial yang semakin besar, dan hanya menguntungkan mereka yang sudah berada di puncak kekuasaan dan kekayaan.

Ketidakjelasan yang ditunjukkan oleh pemerintah daerah dalam merespons masalah ini hanya memicu spekulasi liar dan merusak kepercayaan masyarakat terhadap kapasitas pemerintah dalam menjaga dan mengelola ruang publik.

Oleh karena itu, sudah saatnya pemerintah pusat mengambil langkah tegas untuk menegakkan hukum dan menghentikan proyek pemagaran laut yang jelas-jelas melanggar peraturan yang ada.

Pemerintah harus menunjukkan ketegasan dalam menindak pelanggaran hukum, agar masyarakat bisa merasakan perlindungan yang sesungguhnya.

Dalam hal ini, salah satu peraturan yang harus ditegakkan adalah Peraturan Daerah Rencana Tata Ruang DKP Provinsi Banten No. 2 Tahun 2023, yang melarang pemagaran laut ilegal di Zona Perikanan dan Zona Pengelolaan Energi.

Negara harus memastikan bahwa hukum ditegakkan tanpa pandang bulu, dan memberikan efek jera bagi siapapun yang berusaha menguasai ruang publik demi kepentingan pribadi.

Mengembalikan Negara untuk Rakyat

Pembangunan kawasan Pantai Indah Kapuk 2 (PIK 2) menjadi sorotan banyak kalangan, terutama kelompok-kelompok yang merasa bahwa proyek ini lebih menguntungkan oligarki daripada rakyat Banten.

Bagi nelayan dan masyarakat setempat, reklamasi yang berpotensi menghancurkan ekosistem laut menjadi ancaman besar.

Selain itu, mereka juga khawatir bahwa hak mereka untuk mengakses laut yang menjadi sumber kehidupan akan terus tergerus oleh kepentingan pengusaha dan pengembang besar.

Gerakan mahasiswa dan organisasi seperti LMND, HMI, dan HAMAS pun turut mengkritik proyek ini. Mereka mendesak agar pemerintah lebih transparan dalam pengambilan keputusan dan lebih memperhatikan kepentingan rakyat yang terpinggirkan dalam setiap kebijakan pembangunan.

Masa depan negara yang berdaya terletak pada kemampuan pemerintah untuk kembali menjalankan fungsi utamanya: melindungi dan memajukan kesejahteraan rakyat.

Negara harus mampu menegakkan hukum dengan tegas, mengendalikan ruang publik, dan memastikan bahwa kepentingan rakyat, terutama yang lebih lemah dan terpinggirkan, tidak terus-menerus dihancurkan oleh kekuatan oligarki.

Jika sistem hukum yang ada tidak segera diperbaiki dan diberlakukan secara tegas, maka kita akan semakin terperangkap dalam fenomena Governmentless yang memperburuk ketidakadilan sosial dan memperbesar jurang kesenjangan antara yang berkuasa dan yang tertindas.

Fenomena pagar laut di Tangerang ini lebih dari sekadar persoalan fisik. Ini adalah soal bagaimana negara seharusnya kembali hadir dalam menjaga dan mengatur ruang publik yang adil, transparan, dan menguntungkan seluruh rakyat.

Jika pemerintah terus gagal menjalankan peran ini, kita akan memasuki era di mana kekuasaan negara semakin hilang, dan ruang publik jatuh ke tangan segelintir orang yang hanya mementingkan keuntungan pribadi.

Ke depan, kita sebagai bangsa harus menuntut agar pemerintah kembali berfungsi sebagai pelindung dan pengatur ruang publik.

Negara harus berdaya untuk menegakkan hukum dan memastikan bahwa sumber daya alam dan ruang laut yang seharusnya milik rakyat, tidak direbut oleh mereka yang berkepentingan pribadi. Agar kita tidak terjebak dalam lingkaran ketidakadilan yang semakin memperburuk ketimpangan sosial. (**)

*) EKO SUPRIATNO adalah Dosen Ilmu Pemerintahan di Fakultas Hukum dan Sosial Universitas Mathla’ul Anwar Banten.

Iman NR

Back to top button