OpiniPolitik

Pilkada Serentak di Banten: Sekali Memilih Dampaknya Hingga 5 Tahun

Pemilih cerdas akan menentukan pilihannya setelah menelusuri rekam jejak para calon kepala daerah dalam Pilkada Serentak di Banten. Bukan dalam konteks primordialitas, tetapi integritas, kapabilitas, kapasitas, dan prospek calon kepala daerah kedapan yang diharapkan mampu menjadi kepala daerah yang mumpuni. “Benar, Amanah , Terpercaya, Komunikatif “.

Oleh: Yusvin Karuyan

Beberapa pekan mendatang, tepatnya 9 Desember, rakyat kembali akan meminjamkan tangga pada elite-elite politik yang didukungnya. Sebagai bentuk kewaspadaan, karena biasanya setelah dipinjami tangga, para elite tadi lupa, bahkan untuk sekedar mengucapkan terima kasih. Mereka telah menggapai cita-citanya menduduki kursi kekuasaan, tangga yang mereka pinjam dari rakyat, hanya digeletakkan begitu saja.

Ditinggal. Rakyat, tentu saja tidak hanya sekedar sedih dengan kenyataan yang demikian, tapi juga mengumpat. Tapi apa mau dikata, kedaulatan rakyat telah berpindah menjadi kedaulatan elite. Maka sebelum kedaulatan rakyat dibajak para elite (sewalaupun tidak semua demikian), bermanuver semaunya, maka rakyat harus secara sadar dan kritis menjadi pemilih yang cerdas.

Di masa Pilkada Serentak di Banten, rakyat menjadi antention centre, partai-partai dan calon kepala daerah berlomba menarik simpati rakyat untuk dimintai mandat. Berlomba merebut simpati artinya berlomba merebut suara rakyat. Rakyat adalah muara suara, penentu legitimasi politik setiap lima tahun sekali.

Setiap kali itu pula, rakyat meminjamkan tangga yang dimilikinya untuk dipakai menaiki kekuasaan. Setiap lima tahun sekali, di saat pilkada maupun pemilu, tangga itu dipinjamkan pada elite partai yang didukungnya. Agar mereka mendapat kursi, menjadi wakil kepercayaan rakyat. Rakyat meminjamkan tangga, memberi mereka legitimasi atas kekuasaannya.

Ada tiga bentuk legitimasi subjek kekuasaani. yakni Legitimasi religius, elite, dan demokratis.

Legitimasi religius inilah yang mengokohkan negara teokrasi, karena mendasarkan hak pada faktor-faktor adiduniawi untuk memerintah, jadi bukan pada kehendak rakyat. Sehingga tidak heran jika cepat kehilangan pengakuannya. Karena realitas empirik banyak memperlihatkan bahwa dinamika penyelenggaraan negara lebih banyak terkait dengan persoalan duniawi yang sulit dikaitkan dengan konteks langit.

Argumentasi dari legitimasi religius ini misalnya raja adalah perpanjangan tangan Tuhan di dunia, sebagaimana Saul dan Daud ditetapkan Yahweh sebagai raja bangsa Israel. Namun, dalam perkembangannya ditolak karena dinilai irasional.

Sementara legitimasi elititer berdasar pada kecakapan khusus suatu golongan untuk memerintah, beranjak dari anggapan bahwa untuk memimpin masyarakat dibutuhkan kualifikasi khusus yang tidak dimiliki oleh semua rakyat. Kita dapat membagi legitimasi eliter ini ke dalam empat model: Legitimasi aristokratis, pragmatis, ideologis, dan demokratis.

Legitimasi aristokratis dan pragmatis, keduanya jelas tidak relevan dengan kondisi saat ini. Tidak mungkin golongan bangsawan lantas diberi tempat yang sedemikian istimewa seperti zaman dahulu untuk menentuka warna politik kenegaraan. Legitimasi pragmatis, mereka berhak berkuasa ketika dalam suatu kondisi, mereka dapat mengambil alih kekuasaan bilamana golongan tersebut mampu mengatasinya.

Salah satu contohnya adalah pemerintahan militer yang pada umumnya berdasarkan argumen bahwa tidak ada pihak lain yang bisa menjamin kestabilan nasional dan kelanjutan pemerintahan secara teratur. Namun, jika kelompok tersebut terus mengampu kebijakan dan mempertahankan kekuasaan, maka legitimasi ideologis menjadi salah satu jalan alternatif yang melibatkan partisipasi masyarakat secara luas karena mereka memiliki privilese: mengerti bagaimana kehidupan masyarakat seharusnya diatur.

Sedangkan legitimasi demokratis berdasarkan prinsip kedaulatan rakyat, kesamaan seluruh anggota masyarakat dalam posisinya sebagai warga negara, serta berdasarkan keyakinan bahwa tidak ada orang atau kelompok yang berhak memiliki wewenang untuk memerintah rakyat, kecuali wewenang tersebut merupakan persetujuan masyarakat itu sendiri.Namun, perlu diingat bahwa legitimasi tersebut bukanlah legitimasi tanpa batas yang digunakan rezim yang berkuasa sesuka hati.

Pilkada serentak tahun ini mendatangkan aktor-aktor lama dan baru dipanggung politik, kendati demikian rakyat masih merasa hendak membeli “kucing dalam karung”. Tetapi bagaimanapun mereka akan tetap memilih. Sudah banyak poster dan baliho yang terpampang dimana-mana, tapi toh masyarakat belum banyak yang mengenalnya, etos kerja, kualitas dan integritasnya sebagai kepala daerah masih dipertanyakan.

Posisinya menjadi dilematis, sebab sekali memilih dampaknya hingga lima tahun. Kalau dampaknya positif, harus disyukuri. Tapi kalau dampaknya negatif, tentu akan berujung penyesalan. Sehingga pertanyaan paling mendasar adalah bagaimana menjadi pemilih cerdas dalam menghadapi pilkada 2020?

Memang tidak mudah menjadi pemilih cerdas karena akan dihadapkan dengan berbagai tantangan dan kendala.Memilih secara cerdas berarti pertinbangannya obyektif-kualitatif, bukan subyektif-primordial. Mengedepankan rasionalitas, karena pemilih cerdas harus benar-benar mempertimbangkan konsekuensi atas pilihannya. (*)

Yusvin Karuyan

Back to top button