Kasus Munir Cermin Lemahya Penegakan Hak Asasi Manusia
Indonesia merupakan negara yang menganut Hak Asasi Manusia atau HAM, yaitu setiap warga negara Indonesia memiliki hak untuk mendapat perlindungan dari segala macam bentuk kekerasan, serta mendorong kita untuk bebas berpendapat dan berekspresi mengenai keluh kesah tanpa takut merasakan terancam.
OLEH: NAJMA JACINDALIYA *)
Namun, pernyataan negara penganut hak asasi manusia itu tampaknya tidak lagi relevan dengan banyaknya pelanggaran HAM yang kerap terjadi di masa kini bahkan masa lalu.
Kasus pembunuhan yang memakan korban seorang aktivis pembela Hak Asasi Manusia yang bernama Munir seakan menjadi bukti bahwa negara ini sebagai penganut hak asasi manusia sudah tidak relevan lagi.
Kasus yang sampai saat ini belum tuntas, karena belum ditemukannya dalang dari pembunuhan ini, walau sudah terjadi bertahun-tahun yang lalu.
Hal tersebut cukup menjadi bukti atas lemahnya penegakan Hak Asasi Manusia dari masa ke masa seiring dengan berjalannya waktu.
Tantangan utama dari permasalahan ini tidak lain berasal dari pemerintahan itu sendiri. Karena, jikalau pemerintah sudah melaksanakan tugasnya dengan baik dan jika sudah sesuai dengan perundang-undangan, maka sudah semestinya pelanggaran HAM yang terjadi akan berkurang setiap tahunnya.
Para penegak hukum yang terkadang atau bahkan seringkali bekerja secara tidak maksimal terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM yang sudah banyak terjadi, bahkan terhadap kasus yang kejadiannya sudah bertahun-tahun yang lalu.
Masyarakat turut ikut andil dalam menyuarakan keadilan terhadap korban dan keluarga yang bersangkutan, namun tetap saja pihak yang berwajib merespon hal tersebut dengan kinerja mereka yang terbilang cukup lambat.
Hal tersebut dapat menunjukkan bahwa kinerja para penegak hukum yang sudah tidak lagi selaras dengan kebijakan hukum yang ada.
Sebuah contoh nyata melalui kasus pembunuhan seorang aktivis di masa lalu, yang menunjukkan lambatnya kinerja para penegak hukum dalam memproses kasus ini, serta lemahnya sistem peradilan pidana di Indonesia.
Dalam HAM, setiap warga memiliki hak untuk menyuarakan kritiknya yang disertai dengan saran, baik kepada pemerintah ataupun negara dengan berharap agar mereka mendapatkan perlakuan yang lebih baik.
Namun nyatanya, para aktivis yang pada umumnya lebih berani untuk menyampaikan keluh kesah dan melawan atas ketidakadilan, justru malah dibuat takut terhadap kejadian-kejadian yang terjadi di masa lalu, dan khawatir hal tersebut akan menimpa mereka nantinya.
Selain para pemegang kekuasaan, masyarakat juga memerlukan kesadaran terhadap konsep Hak Asasi Manusia yang sesungguhnya, yang pada akhirnya seringkali terjadi diskriminasi antar sesama karena kurangnya edukasi mendalam mengenai konsep dari HAM.
Diskriminasi seringkali terjadi di setiap kalangan, mulai dari kalangan agama, suku, ras, etnik bahkan gender yang biasa kita sebut dengan ‘patriarki’. Hal-hal yang sudah disebutkan sebelumnya tergolong ke dalam pelanggaran HAM ringan.
Perlu diingat juga, bahwa peraturan-peraturan yang dibuat oleh para penegak hukum perlu diimbangi dengan penerapannya sebagai bukti nyata terhadap masyarakat bahwa mereka telah melaksanakan tugasnya dengan baik.
Namun hal tersebut tampaknya belum sepenuhnya terealisasi. Karena buktinya masih banyak rakyat Indonesia yang masih merasakan ketidakadilan.
Rasa ketidakadilan ini terutama terjadi pada rakyat menegah ke bawah yang sering mengalami penggusuran karena rumah atau tempat tinggal yang dihuninya dinyatakan ilegal atau tidak berhak.
Padahal jaminan tempat tinggal itu tercantum dalam UUD Tahun 1945 pasal 28H ayat (1) yang menyebutkan bahwa setiap warga negara memiliki hak untuk hidup dengan tempat tinggal dan lingkungan yang layak.
Maka dari itu, untuk menghadapi permasalahn mengenai lemahnya penegakan HAM pada saat ini, tidak lain adalah dibutuhkannya aksi nyata dari para penegak hukum terhadap komitmen mereka.
Komitment itu harus menjunjung tinggi keadilan agar dapat membangun kepercayaan warga terhadap pemerintah, karena rakyat Indonesia hanya membutuhkan aksi nyata, bukan bualan belaka. (**)
*) NAJMA JACINDALIYA adalah mahasiswa Pengantar Ilmu Politik, Prodi Komunikasi FISIP Untirta.