Opini

Kejaksaan dan Kedaulatan Gubernur Banten

Kehadiran rumah sakit kejaksaan di Kragilan, Kabupaten Serang, Banten mulai menimbulkan kegundahan publik. Pasalnya sejumlah skenario pembebasan lahan dan penggusuran untuk buka akses jalan sudah simpang siur beredar di masyarakat.

OLEH; Adv.Dr.c. MARTONO MAULANA SH. MH,Ldt

Sebagian resah, karena dimungkinkan pelebaran jalan kota-kabupaten hingga 12 meter ke kanan dan ke kiri. Rumah yang dihuni sejak puluhan tahun bakal dibongkar. Masyarakat merasa tidak berdaya. Pembebasan itu pastilah akan melibatkan APBD, duit si rakyat yang kena gusur itu sendiri.

Konon akses pelebaran mengarah ke jalan tol. Minta pintu baru. Posisi rencana pintu tol berjarak 5-7 menit dari pintu tol Ciujung dan kurang dari 5 menit dari pintu tol Cikeusal Panimbang.

Aneh. Tetapi jika rencana itu tereksekusi, semakin menunjukkan kemungkinan ada by design kuat dibalik itu semua. Bukankah tol dioperasikan badan profit. Bagaimana mungkin dengan trafic rendah, selain rumah sakit, hanya bentangan area yang berisi akses pedesaan, layak membuka pintu.

Toh, kajian pembukaan lahan itupun sepi gemanya, tidak ada diskusi public, pelibatan masyarakat sebagaimana UU No 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Yang ada informasi titik penggusuran rumah.

Kenapa by design? Karena selain pengabaian terhadap UU 2/2012 itu terdapat agregat statistic data yang tidak mendukung semua itu. Boleh dibilang rendah urgensi.

Statisik kesehatan menunjukkan Badan Kesehatan Dunia (WHO) menargetkan 4 Puskesmas PONED di tiap kabupaten/kota. Jumlah puskesmas PONED di Provinsi Banten 235 unit. Jumlah tersebut sudah melebihi target WHO.

Dari 253 Puskesmas yang ada di Provinsi Banten, sebanyak 187 sudah menangani secara luas. Bahkan sebanyak 66 Puskesmas Rawat Inap.

Selain Puskesmas, ada banyak layanan kesehatan tersebar. Partisipasi dari sektor non pemerintah cukup banyak, tercatat 3.088.

Sarana kesehatan milik Pemerintah Kabupaten/Kota yaitu 1.463. Sarana kesehatan milik Kemenkes ada 2, TNI / POLRI memiliki 14, Pemerintah Provinsi 40 dan BUMN 49.

Apalagi yang kurang dari segi jumlah fasilitas kesehatan itu ? Secara numerik, nyaris tidak ada. Tinggal bagaimana mendongkrak pelayanan yang prima melalui SDM humanis dan professional.

Jumlah tempat tidur di rumah sakit ada seluruh Banten ada 14.387, ini angka dua tahun lalu. Sekarang tentu saja semakin naik.

Statistic rasio ketersediaan tempat tidur di rumah sakit seantero Banten berbanding 1,2 dengan 1000 penduduk. Sudah di atas standar. Interval penggunaan bed juga tercukupi, rerata 4-5 hari.

Setahun 48 kali sebuah bed rumah sakit dipakai (bed turn over). Dari angka statistic kesehatan ini nampaknya agumen ada urgensi kebutuhan layanan rumah sakit skala besar, termegah bagi masyaakat Banten tidaklah cukup rationable.

Dilihat dari segi keterpenuhan kebutuhan layanan kesehatan, Banten sudah cukup prima. Tapi, fakta terkini ini Kejaksaan Agung sedang membangun megaproyek rumah sakit untuk menopang kesehatan yustisial dengan dana lebih dari setengah triliun rupiah dan akan terus bertambah.

Dari segi pelayanan kesehatan yustisial, keberadaan rumah sakit sebenarnya perlu didekatkan dengan kejaksaan tinggi dan kejaksaan negeri.

Bukan dikonsentrasi. Lebih efektif dan tepat guna. Kesehatan yustisial adalah konsep yang berkaitan dengan penerapan prinsip kesehatan dalam proses peradilan, khususnya dalam mendukung tugas kejaksaan. Jadi pelayanan ini mestinya lebih dekat ke tempat jaksa bekerja. Yang diperlukan untuk kegiatan jenis itu sarana kesehatan yang tidak besar tetapi cukup untuk melayani dengan cepat efektif dan tepat guna.

Lantas sebenarnya apakah yang menyebabkan Kejagung menyundul garapan proyek raksasa? Alasan dibalik munculnya kebijakan tersebut memang perlu diperhatikan publik, di tengah simpang siur kisah prestasi dan kisah minor kejaksaan.

Pertanyaan lain juga dapat dialamatkan pada Pemprov Banten. Mengapa sedemikian “tunduk” untuk ikut menghamburkan uang milik rakyat Banten untuk memberi karpet merah kemegahan Kejaksaan Agung?

Pemprov sendiri sedang punya hajat bangun rumah sakit, bangun sekolah, perbaiki jalan, jembatan, bangun layanan publik lain yang masih jauh dari skala kecukupan.

Kalau Kejaksaan hendak bikin legacy itu wilayah APBN. Uang Kejagung tahun 2025 sebanyak Rp 18,4T. Sebelum pemangkasan, angaran pelayanan dan penegakan hukum sebesar Rp 1,82 triliun, dukungan manajemen sebesar Rp 23,1 triliun. Di pangkas Rp 5,4 T.

Dalam pelaksanaannya, kejaksaan juga tidak elok bertangan besi menggusur pemukiman yang sudah mapan puluhan tahun sekedar demi mendapatkan jalan yang lebih lebar untuk lalu lalang pejabat kejaksaan ke rumah sakit.

Kejaksaan musti memberi contoh kepatuhan pada Pasal 28H ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 UU 2/2012, pada Pasal 25 ayat (1) Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia dan Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Hak Ekonomi Sosial Budaya.

Kejagung perlu mengingati ada hak sipil yang dilindungi konstitusi dalam tahapan proses rencana pembebasan lahan untuk proyek pemerintah, sehingga tidak seenaknya, tanpa partisipasi publik menancapkan titik penggusuran.

Apalagi prestasi kejaksaan belakangan ini sedang brilian, meski menghadapi citra ditengah aduan Jaringan Koalisi Masyarakat Sipil, MAKI dan IPW terhadap Jampidum.

Kisah korupsi memang tersimpan potensinya di setiap kebijakan public yang dibiayai APBN/APBD, termasuk proyek di tangan penegak hukum seperti kejaksaan. Secara teoritik, korupsi terjadi karena 4 hal: by design, by system, by person, by situation.

Dalam kasus yang diadukan oleh jaringan koalisi sipil mengandung asumsi ”jangan-jangan, oknum kejaksaan bukannya menegakan hukum malah menciptakan sistem atau by design koruspi itu sendiri”.

Jika dilihat dari riwayat pembangunan rumah sakit adhyaksa yang baru saja groundbreaking di Mojokerto Jawa timur, nuansa membuat design cepat pembangunan rumah sakit, akan terlihat.

Riwayat bisa ditelisik sejak muncul perubahan UU Kejaksaan Tahun 2021 lewat pasal tambahan 30 (C). Pasal itu ditafsirkan memberi kewenangan Kejaksaan untuk menyelenggarakan kegiatan penelitian, pengembangan hukum, statistik kriminal, dan kesehatan yustisial Kejaksaan, serta pendidikan akademik, profesi, dan kedinasan.

Sebelum tahun itu, belum tercatat rumah sakit yang dikelola Kejaksaaan. Rumah sakit Adhyaksa di Jakarta berstatus Badan Layanan Umum Daerah berdasarkan Keputusan Gubernur DKI Jakarta Nomor 919 Tahun 2019. Masih bagian dari UPT Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta.

Rumah Sakit di Jakarta Timur itu beroperasi tahun 2014 dikelola oleh Pemprov DKI Jakarta. Tanahnya milik Kejaksaan, pemanfaatan Barang Milik Negara dibuat perjanjian kemitraan.

Perjanjian berakhir tahun 2023. Berdasarkan kesepakatan dilakukan penyerahan pengelolaan RSU Adhyaksa dari Gubernur DKI ke Kejaksaan.

Usai mendapat pijakan lewat perubahan UU kejaksaan, di tahun 2022 terserak jejak digital kejaksaan mulai turun ke daerah untuk meminta dukungan pemprov, DPRD dan Pemerintah kabupaten.

Setahun berikutnya, 2023 langsung digenjot pembangunan, Rp435 M. Nilai proyek yang jauh dari nilai kebutuhan sebenarnya sebagai kelas layanan kesehatan yustisial.

Semua kajian tentu telah disesuaikan dengan durasi jadwal tersebut. by system. Baik di Banten dan Jawa Timur, dukungan dari pemerintah provinsi muncul pada masa penjabat Gubernur.

Pelaksana pembangunan rumah sakit kejaksaan adalah anak perusahaan plat merah, PT Pembangunan Perumahan (PT PP) yang direkturnya diangkat oleh Erick Tohir, Menteri BUMN. Proyek dari pusat, digarap orang pusat, dibiayai dari pusat, daerah ketiban “menyiapkan lahan akses”.

Demikian pula operator tol, juga dalam kendali BUMN. Melihat konstelasi politik tahun 202-2023, waktu itu semua agenda pembangunan fisik dari pusat tidak ada yang bisa menampik, negara sedang dikelola secara maachstaat. Bisa-bisa dikriminalisasi.

Kini negara telah dikelola dengan lebih akuntable, bebersih lembaga sudah dilakukan oleh Presiden. KPK Perlu masuk juga pada proyek-proyek raksasa yang urgensinya tidak tinggi dan tergesa. Ketergesaan itu perlu dibuka pada public untuk menumbuhkan kepercayaan. Public trust. Karena uang negara tidak hanya untuk sekedar legacy.

Bukankah belanja fisik sudah mulai dirasionalisasi oleh Presiden dengan strategi efesiensi, Efesiensi menjadi cara Presiden untuk mempertimbangkan mana kebutuhan yang benar-benar urgen dan mana suara dari masyarakat dan mana suara pengusaha dan mana suara birokrasi.

Sehingga masyarakat Banten di kecamatan Kragilan tidak perlu resah ketika tidak menyetujui proyek mewah yang “harus memaksa” mereka angkat kaki dari sana. Tidak boleh ada represi verbal, represi simbolik dan represi terselubung lewat APH dan oknum-oknum birokrasi yang sudah mulai bergentayangan.

Masyarakat sudah lebih dulu hidup di sana. Tentram. Jauh sebelum Banten menjadi provinsi. Jauh sebelum UU kejaksaan diperbarui.

Kini pimpinan eksekutif Banten punya kedaulatan politik untuk tidak perlu mendengarkan apa yang didiktekan oleh pusat. Bukankah kepak sayap garuda pasti terbentang menaungi hingga ufuk Banten dan orang-orang kecil? Itu janji Presiden saat pidato pelantikan. Masyarakat perlu Gubernur yang menganyomi bukan Gubernur yang mendukung penggusuran rumah warga.

*) Adv.Dr.c. Martono Maulana.,SH.,MH,Ldt, Inisiator Indonesia Ahyaksa Watch, Peneliti RUSH.

Iman NR

Back to top button