Internasional

Pengungsi Gaza: Biarkan Saya Mati Bersama Keluarga

“Biarkan saya mati bersama keluarga saya,” begitu ucapan seorang pengungsi Gaza di Tepi Barat, Palestina yang kisahnya ditulis Tim Medecins Sans Frontieres (MSF) dan dikirimken ke MediaBanten.Com oleh LO MSF Indonesia.

Ucapan itu berasal dari Abbas, satu dari 6.000 pengungsi Palestina dari Gaza yang pernah berkerja di Israel, sekarang menjadi pengungsi di Tepi Barat akibat perang Israel – Hamas Palestina.

Abbas kini menjadi pasien Tim MSF yang memberikan bantuan psikoligs di Nablus. Dan, ucapan Abas menggambarkan penderitaan yang dialaminya karena harus mengungsi dan terpisah dari keluarganya.

Saat fajar, Abbas menyalakan rokok dan memandang ke kejauhan, ke lanskap terjal Tepi Barat. Dia belum tidur sepanjang malam, dia menghabiskan waktunya memikirkan keluarganya yang terkena bom di Gaza, lebih dari seratus kilometer jauhnya. Satu-satunya tujuan dia hari ini sama seperti hari-hari lainnya, bisa berbicara dengan mereka.

Keluarga Abbas tersebar ke utara, Khan dan Raffah, Mereka sudah mengungsi 4 kali. Terkadang tidur di jalanan, masjid dan reruntuhan gedung yang dihantam bom-bom Israel.

“Setiap pagi saat fajar, saya mencoba menghubungi mereka melalui telepon untuk mengetahui apakah mereka selamat pada malam itu. Kadang-kadang, komunikasi terputus dan saya harus menunggu berhari-hari untuk mendengar kabar dari mereka,” katanya.

Abbas disebut sebagai ‘pekerja Gaza’, warga Palestina yang biasa pulang pergi ke Israel untuk bekerja. Setiap bulan, dia melintasi perbatasan dari utara Jalur Gaza untuk bekerja di pabrik besi selama beberapa minggu dan kembali ke rumah untuk istirahat tiga hari.

Sejak ayahnya meninggal, sebagai anggota keluarga tertua yang masih hidup, dia juga bertanggung jawab atas seluruh keluarganya, termasuk saudara laki-laki dan perempuannya.

Pada tanggal 7 Oktober, ketika Hamas melancarkan serangannya ke Israel, Abbas sedang bekerja. Keesokan harinya, tentara Israel muncul di pabrik dan mulai mengganggu para pekerja Palestina, mengancam akan menembak mereka jika mereka tidak melarikan diri ke Tepi Barat.

Abbas mencari perlindungan di pegunungan selama dua hari, sebelum akhirnya mencapai Tepi Barat – salah satu dari lebih dari 6.000 pengungsi Gaza yang mengungsi, menurut Kementerian Tenaga Kerja Otoritas Palestina.

Ketika dia melewati pos pemeriksaan Israel, tentara mengambil uang dan barang miliknya, kecuali telepon genggamnya. “Saya menganggap diri saya beruntung karena saya berhasil menyimpan ponsel saya,” katanya.

Yang lainnya tidak seberuntung itu. Mereka ditangkap, dipukuli, atau bahkan dihilangkan. “Saya tidak punya keluarga di sini di Tepi Barat, jadi saya mencari perlindungan di komunitas bersama pekerja lain.

Para pengungsi ini hidup dalam kondisi yang sangat buruk, tidur di tanah tanpa kasur, selimut atau pemanas, namun hal tersebut tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan kondisi yang mengerikan di Gaza.

Program Kesehatan Jiwa

Sementara Gaza dihancurkan oleh pemboman tanpa henti yang dilakukan tentara Israel, Tepi Barat juga mengalami cobaan berdarah. Kekerasan dan pelecehan terhadap warga Palestina oleh pemukim dan pasukan Israel sudah merajalela sebelum tanggal 7 Oktober.

Pada tahun 2023 terjadi rekor baru dalam jumlah warga Palestina yang terbunuh di wilayah ini menurut PBB, melanjutkan tren mengejutkan dalam beberapa tahun terakhir. Setelah tanggal tersebut, jumlah serangan terhadap warga Palestina semakin meningkat.

Diserang oleh pemukim atau ditangkap dan dipukuli oleh pasukan Israel telah menjadi kejadian sehari-hari bagi warga Palestina di Tepi Barat.

Sementara operasi militer Israel di kamp pengungsi Jenin dan Tulkarem telah mengakibatkan banyak orang terbunuh.

Di daerah Nablus, Abbas bertemu dengan tim pekerja sosial MSF yang merujuknya ke rekan-rekan mereka yang menawarkan konsultasi psikologis sebagai bagian dari program kesehatan jiwa yang telah berjalan selama lebih dari dua dekade.

Program ini kemudian berkembang ke kota-kota terdekat, Qalqiliya dan Tubas. Pada akhir November, psikolog dan psikiater yang bekerja dalam program ini telah menawarkan lebih dari 2,600 konsultasi pada tahun 2023.

Catatan: Tim MSF di Nablus pertama kali menawarkan konsultasi kesehatan mental pada tahun 1988. Tim MSF di Tepi Barat juga menjalankan kegiatan kesehatan mental dan kesiapsiagaan darurat di Hebron dan mendukung respons medis darurat di Jenin, khususnya di rumah sakit Khalil Suleiman dan di kamp pengungsi Tulkarem.

(Cici Riesmasari – LO MSF Indonesia)

Editor Iman NR

Iman NR

SELENGKAPNYA
Back to top button