HeadlineHukum

RUU Penyiaran Bungkam Pers, Larangan Penayangan Jurnalistik Investigasi

Draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran yang tersebar di masyarakat mendapat kritik tajam dari berbagai pegiat jurnalistik dan peneliti media. Sorotan utamanya adalah pasal yang melarang penayangan eksklusif jurnalistik investigasi.

Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia mengatakan kalimat pelarangan penayangan jurnalistik investigasi “membingungkan” dan menyebut pasal ini dapat “dimaknai sebagai pembungkaman pers”.

“Ini sungguh aneh, mengapa di penyiaran tidak boleh ada investigasi?” ujar Sekretaris Jenderal AJI, Bayu Wardhana, yang dikutip MediaBanten.Com dari BBC Indonesia, Sabtu (11/5/2024).

Dalam draf rancangan RUU Penyiaran yang diterima BBC News Indonesia, tercatat ada pasal 56 ayat 2 poin c. Isinya melarang penayangan eksklusif jurnalistik investigasi.

Sejumlah anggota Komisi I DPR yang dihubungi BBC News Indonesia untuk mengonfirmasinya tidak memberikan tanggapan pesan tertulis yang kami kirimkan.

Anggota Komisi I DPR, Dave Laksono, hanya memberikan keterangan bahwa pihaknya tidak berniat membelenggu kebebasan pers. Dave tidak menjawab secara spesifik draf pasal itu.

“Tiada niat sedikit pun baik dari pemerintah hari ini di bawah Presiden Jokowi ataupun nantinya di bawah Presiden Prabowo dan juga DPR akan memberangus hak-hak masyarakat dan kebebasan untuk menyampaikan pendapat, apalagi informasi terhadap masyarakat,” kata Dave, Kamis (09/05), kepada BBC News Indonesia.

Dave menyebut masukan-masukan yang ada saat ini akan membantu pembahasan RUU ini supaya “lebih sempurna”.

Dihubungi secara terpisah oleh BBC News Indonesia, Koordinator bidang Pengawasan Isi Siaran di Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat, Tulus Santoso, menolak mengomentari draf salah satu pasal yang dipertanyakan Aliansi Jurnalis Independen (AJI).

Diajukan DPR, Bukan Pemerintah

Tulus mengatakan, rancangan revisi UU Penyiaran diajukan oleh DPR dan bukan oleh pemerintah.

“Terkait poin-poin dalam pasal RUU Penyiaran kenapa bunyinya seperti itu, karena ini inisiatif dari Komisi I DPR, maka kemudian pastinya teman-teman di Senayan yang lebih tahu, yang bisa mengomentari secara komperhensif,” kata Tulus, Jumat (10/05), seraya menambahkan bahwa KPI memiliki posisi sebagai pelaksana dari UU Penyiaran.

Bagaimanapun, Sekretaris Jenderal AJI, Bayu Wardhana, mengkhawatirkan potensi dampak pasal RUU Penyiaran terhadap berita yang nantinya ditayangkan televisi dan radio.

Masyarakat hanya akan mendapat berita-berita seremoni alih-alih berita-berita yang kritis, jelasnya. Para peneliti media juga menilai RUU Penyiaran ini memiliki pasal-pasal yang “ambigu” dan “membingungkan”.

“Ini kan melawan seluruh prinsip jurnalistik, ya? Justru jurnalistik itu bukan hanya harus akurat dan benar, tetapi informasi itu harus aktual,” tutur peneliti pusat studi media dan komunikasi Remotivi, Muhamad Heychael.

Rencana pemerintah bersama DPR merevisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran sudah memasuki tahap penyelesaian draf revisi UU Penyiaran.

Setelah itu, revisi dikirimkan kepada Badan Legislatif DPR untuk dilakukan harmonisasi sinkronisasi. Ada draf pasal lainnya dalam draf rancangan revisi UU Penyiaran yang dikritik AJI dan sejumlah akademisi.

Yaitu, Pasal 25 Ayat 1 Huruf q, yang menyatakan bahwa KPI boleh menyelesaikan sengketa jurnalistik di bidang penyiaran. Padahal, selama ini sengketa itu ditangani oleh Dewan Pers.

Masih ingat kasus penembakan yang menewaskan enam anggota laskar Front Pembela Islam (FPI) di Tol Jakarta-Cikampek Km 50?

Mantan pemimpin redaksi Tempo, Wahyu Dhyatmika, yang bertindak selaku produser untuk dokumenter bertajuk Kilometer 50 tentang peristiwa itu, mengatakan karya jurnalistik itu bisa jadi “hilang” apabila RUU penyiaran disahkan.

“Saya tidak paham mengapa RUU Penyiaran harus mengatur jurnalisme investigasi,” ujar Wahyu.

Wahyu mengedepankan pentingnya karya jurnalistik investigasi karena banyak yang berhasil mengubah keadaan menjadi lebih baik.

Beberapa contoh yang dikemukakan Komang antara lain liputan mengenai kekerasan seksual di lembaga keagamaan dan institusi pendidikan yang mendorong pengesahan UU Penanganan Tindak Pidana Kekerasan Seksual juga investigasi ihwal berbagai skandal korupsi.

“Investigasi mengenai sistem perlindungan pekerja migran di luar negeri, atau nelayan di laut lepas, memberi tekanan publik kepada pemerintah untuk berbuat sesuatu,” tutur Komang.

Wahyu menggarisbawahi peran jurnalisme investigasi adalah mengendus skandal pelanggaran kepentingan publik dan membongkarnya agar terjadi perbaikan.

Selain itu, pemberitaan di media massa arus utama juga hanya akan sebatas melaporkan apa yang tampak di permukaan kalau tidak ada jurnalisme investigasi.

“Ruang informasi publik akan hampa dan steril dari laporan mendalam yang membongkar kesewenang-wenangan dan ketidakadilan yang nyata,” ujar Wahyu.

Walaupun publik bisa saja menemukan cara alternatif untuk berkomunikasi dan bertukar informasi sensitif, peran verifikasi dan konfirmasi media arus utama tetaplah penting.

“Tanpa itu, maka kualitas dan kredibilitas konten di ruang-ruang digital alternatif ini akan amat bervariasi. Akibatnya, bisa-bisa ada kebingungan massal atau amnesia publik karena tidak ada kejelasan mana yang informasi terverifikasi dan mana yang tidak,” tegasnya.

Wahyu menegaskan penyensoran liputan investigasi eksklusif sama dengan membungkam oposisi, masyarakat sipil dan suara-suara kritis lainnya.

“Ini merupakan ciri negara diktator dan otoriter,” cetusnya seraya mendorong masyarakat sipil untuk mengajukan judicial review kepada Mahkamah Konstitusi apabila benar RUU Penyiaran disahkan.

“Perlawanan harus dilakukan agar tidak ada sensor atas jurnalisme dan ekspresi publik apa pun,” tukasnya.

Pembangkangan Sipil

Secara terpisah, salah seorang pendiri rumah produksi Watchdoc Documentary, Dandhy Laksono, mengaku dirinya “terkejut” dan “menyayangkan” pasal tersebut.

Dia khawatir, jika pasal itu tak dicabut dari draf revisi, masyarakat akan kehilangan kesempatan untuk mendapat informasi yang diproses melalui kaidah jurnalistik yang benar.

“Sebagai filmmaker [pembuat film] dan jurnalis, [saya] enggak peduli. Saya mungkin akan melanggar hukum apabila [RUU] ini disahkan. Makin dilarang, sebaiknya semua content creator [pembuat konten], semua jurnalis harus semakin membuat karya investigatif, pembangkangan sipil terhadap [RUU] ini,” ujar Dandhy.

Bersama Andhy Panca Kurniawan, selama 14 tahun terakhir Dandy membuat ratusan judul film dokumenter antara lain Sexy Killers yang mengupas bisnis batu bara dan The Endgame mengenai polemik Tes Wawasan Kebangsaan KPK.

Film berdurasi 117 menit ini menampilkan tiga pakar hukum tata negara yang mengungkap apa yang mereka sebut sebagai kecurangan dalam proses pemilihan presiden tahun 2024.

Sementara itu, Ketua Komisi Hukum Dewan Pers Arif Zulkifli, menyebut Pasal 56 Ayat 2 Poin C mengenai larangan penayangan eksklusif jurnalistik investigasi merupakan “kemunduran yang sangat serius” bagi kemerdekaan pers Indonesia.

“Saya tidak tahu kenapa DPR begitu bersemangat mengedepankan RUU ini. Apakah ingin membungkam pers dan kenapa harus sekarang? Apakah ada keinginan agar pemerintahan yang selanjutnya itu bisa berjalan tanpa kritik yang signifikan dari pers, dalam hal ini pers TV? Saya kira pertanyaan-pertanyaan itu harus dijawab,” ujarnya.

Melemahkan Dewan Pers

Arif juga mempertanyakan KPI menjadi mediator sengketa pers. Dia menyebut UU Pers 40/1999 sudah mengatur sengketa pers ditangani Dewan Pers.

“Tentu saja kita bisa berspekulasi kenapa ada upaya untuk membawa ke KPI. Spekulasi yang sangat masuk akal adalah KPI anggotanya dipilih oleh DPR, sementara Dewan Pers anggotanya dipilih dan ditentukan oleh komunitas pers itu sendiri,” tegasnya.

Bayu mengkhawatirkan potensi dampak pasal RUU Penyiaran terhadap kualitas berita yang nantinya ditayangkan televisi dan radio. Masyarakat hanya akan mendapat berita-berita seremoni alih-alih berita-berita yang kritis, jelasnya.

Sekjen AJI Bayu Wardhana mengatakan bahwa kepercayaan publik terhadap televisi sangat tinggi berdasarkan riset AJI dan pusat studi media dan komunikasi Remotivi. Hal ini membuat dampak RUU Penyiaran terhadap kualitas berita yang ditayangkan televisi dan radio dapat dimaknai sebagai pembungkaman pers.

Lebih lanjut, Bayu juga mengkritisi pasal-pasal yang memberikan kewenangan penanganan sengketa pers khusus di bidang penyiaran oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).

Padahal, menurut Bayu, sudah ada Dewan Pers yang menangani kasus tersebut. Selain itu, mengingat RUU Penyiaran ini merupakan inisiatif dari DPR, Bayu mengatakan maka RUU Penyiaran ini dapat disebut “upaya DPR untuk melemahkan Dewan Pers”.

“Upaya untuk melemahkan Dewan Pers sebenarnya sudah lama terjadi. Seperti ketika RUU Omnibus Law Cipta Kerja, ada bab soal pers yang menjadi menjadi pasal melemahkan. Syukur saat itu bab pers dihapus dari draf RUU Ciptaker. Upaya itu muncul kembali di RUU Penyiaran ini,” tutur Bayu. (Sumber: BBC Indonesia)

Editor Iman NR

Iman NR

Back to top button