Work From Home Dinilai Tak Efektif Turunkan Polusi Udara Jakarta
Lima puluh persen staf Aparatur Sipil Negara (ASN) di Jakarta mulai bekerja dari rumah atau Work From Home (WFH), langkah ini dilakukan untuk menurunkan tingkat pencemaran polusi udara di Jakarta.
Kebijakan tersebut berlaku mulai 21 Agustus hingga 21 Oktober 2023. Sistem WFH tak berlaku pada layanan yang bersifat langsung kepada masyarakat di antaranya layanan di RSUD, Puskesmas, satpol pp, damkar, dinas perhubungan hingga pelyanan tingkat kelurahan.
Ahmad Safrudin, Direktur Eksekutif Komite Penghapusan Bensin Bertimbal (KPBB) menilai kebijakan bekerja di rumah tak akan efektif untuk mengurangi pencemaran udara di Jakarta.
“Kenapa ? Kalau mau menyelesaikan masalah pencemaran udara di Jakarta, ya tutuplah keren sumber emisinya. Intinya di knalpot, cerobong pabrik, cerobong PLTU. Dari kita – ktai kalau yang punya kompor di rumah, lebih bijak aja menggunakannya,” tandasnya, dilansir dari VOA Indonesia.
Lebih lanjut, kata Ahmad, pemerintah perlu mendorong masyarakat untuk beralih ke transportasi umum dan membatasi penggunaan kendaraan pribadi di Jakarta.
Polusi udara di Ibukota merupakan masalah kronis. Menurut Ahmad, pada tahun 1992, program lingkungan perserikatan bangsa – bangsa (UNEP) merilis sebuah laporan yang menyatakan Jakarta adalah kota paling tercemar ketiga di dunia usai Mexico City dan Bangkok.
Sebab itu, jika saat ini pencemaran udara di Jakarta pun tinggi bukan hal mengejutkan. Ahmad Safrudin menyampaikan berdasarkan data resmi pemerintah yang tak pernah dipublikasi, selama 2011 hingga 2020 udara Jakarta tak sehat.
Dijelaskan Ahmad, terdapat tujuh faktor utama penyebab udara di Jakarta tinggi.
“Transportasi atau kendaraan bermotor (47 persen), industri (20 persen), penggunaan kompor (11 persen), debu jalanan (11 persen), pembakaran sampah (5 persen), debu akibat pembangunan gedung, serta industri dan PLTU yang ada di sekitar Jakarta,” ungkapnya.
Editor : Abdul Hadi