Kemenkes Umumkan KLB Polio, Ditemukan 1 Pasien di Pidie
Kementerian Kesehatan mentapkan kejadian luar biasa (KLB) Polio sejak 8 tahun Indonesia dinyatakan bebas polio oleh WHO.
Penetapan KLB Polio dilakukan setelah ditemukan satu kasus tipe 2 di Aceh. Pasien itu anak berusia 7 tahun di Kabupaten Pidie, Aceh dengan gejala kelumpuhan di kaki kiri.
“Anak itu tidak memiliki riwayat imunisasi, melakukan perjalanan ke luar atau melakukan kontak,” kata Maxi Rein Rodonuwu, Dirjent Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Kemenkes, dikutip Chanel Youtube Kementrian Kesehatan RI, Sabtu (19/11/2022).
Katanya, Indonesia telah mendapat sertifikat bebas polio dari WHO pada 2014. Namun surveilans untuk kasus lumpuh layu (flaccid paralysis) terus dilakukan. Penemuan satu kasus sudah cukup untuk dinyatakan sebagai KLB.
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan no. 1501 tahun 2010, status KLB diberikan pada kejadian kesakitan atau kematian yang bermakna secara epidemiologi pada suatu daerah dalam kurun waktu tertentu, dan merupakan keadaan yang dapat menjurus pada terjadinya wabah.
Penetapan status KLB memungkinkan pemerintah untuk mengkoordinasikan seluruh lembaga kesehatan untuk menanggulangi wabah serta melakukan upaya-upaya luar biasa, seperti meliburkan sekolah dan menutup fasilitas umum.
Terakhir kali ditemukan kasus polio di Indonesia adalah kasus polio tipe 1 pada 2018 di Papua – juga salah satu daerah yang cakupan vaksinasinya rendah.
Penyebab Polio
Polio diakibatkan oleh virus yang menyerang sistem syaraf sehingga dapat menyebabkan kelumpuhan permanen.
Virus polio menular terutama melalui tinja, dan berkembang di saluran pencernaan. Oleh karena itu, lingkungan yang tidak bersih dapat mempermudah penyebaran virus polio.
Tim Kemenkes RI yang berkunjung ke lokasi ditemukannya penyakit polio di Pidie menemukan penduduk setempat buang air besar ke sungai. Bahkan, toilet pun justru lubang pembuangannya berada di sungai.
Sungai tersebut menjadi sumber aktivitas penduduk, termasuk tempat bermain anak-anak. “Jadi perilaku buang air sembarangan itu punya potensi jadi kemungkinan penularannya. Faktor risiko yang paling kami lihat ada di sini,” kata Maxi.
Imunisasi Balita
Penyakit polio dapat dicegah dengan imunisasi di usia balita. Ada dua jenis vaksin polio yang termasuk dalam program imunisasi dasar.
Pertama, vaksin polio tetes atau OPV yang diberikan saat bayi berusia 1, 2, 3, dan 4 bulan. Kedua, vaksin polio suntik atau IPV yang diberikan saat bayi berusia 4 dan 9 bulan.
Menurut catatan Kemenkes, terjadi penurunan tren cakupan imunisasi OPV dan IPV di Aceh dalam 10 tahun terakhir.
Data cakupan imunisasi OPV selama empat tahun ke belakang menunjukkan jumlah kabupaten/kota di Aceh yang diberi status merah, artinya cakupan imunisasi di bawah 50%, terus bertambah.
Adapun IPV lebih parah lagi – pada 2022, seluruh kabupaten/kota di Aceh mendapat status merah.
Kemenkes bersama WHO melakukan survei cepat menyusul penemuan kasus polio di Aceh. Mereka menemukan bahwa dari 30 anak di 25 rumah tangga, baru sejumlah kecil yang sudah mendapat vaksinasi OPV dan tidak ada satu pun yang sudah mendapat IPV.
Namun, situasi daerah-daerah lain juga tidak jauh lebih baik. Cakupan imunisasi OPV4 di seluruh Indonesia pada 2021 mencapai 80,2%, turun dari tahun sebelumnya sebanyak 86,8%.
Sementara cakupan IPV sudah meningkat dari 37,7% pada tahun 2020 menjadi 66,2% pada 2021 namun masih di bawah target.
Menurut analisis terbaru per November 2022 dengan menggunakan perangkat WHO, sebanyak 30 provinsi dan 415 Kabupaten/Kota di Indonesia termasuk risiko tinggi. “Jadi ini kita Indonesia ini high-risk untuk terjadinya KLB polio,” kata Maxi.
Maxi menerangkan, dua tahun pandemi Covid-19 telah menghambat program imunisasi dasar. Program Bulan Imunisasi Anak Nasional (BIAN) yang diselenggarakan pemerintah bulan Mei dan Agustus lalu juga gagal mencapai target di luar Jawa, ujarnya.
Mantan Direktur Penyakit Menular WHO Asia Tenggara, Profesor Tjandra Yoga Aditama, mengatakan KLB polio di Indonesia terakhir kali dilaporkan terjadi pada 2005-2006 untuk virus polio tipe 1 yang berasal dari Timur Tengah.
KLB itu terjadi di 10 provinsi dan 47 kabupaten/kota di seluruh Indonesia, dengan total kasus yang dilaporkan sebanyak 305.
Adapun virus polio liar terakhir berhasil diisolasi di Indonesia pada 1995.
Menurut Prof. Tjandra, kasus di Aceh kemungkinan besar diakibatkan oleh virus polio dari vaksin, yang dapat berkembang menjadi penyakit pada daerah yang relatif rendah cakupan vaksinasi polionya, dan atau pada orang-orang dengan daya tahan tubuh lemah.
Ia menerangkan bahwa kejadian serupa pernah terjadi di Papua pada 27 Februari 2019, saat ia masih bertugas di WHO. Pada saat itu ada dua kasus terinfeksi “circulating vaccine-derived poliovirus type 1 (cVDPV1)” di Papua.
Kasus pertama adalah anak dengan kelumpuhan jenis “acute flaccid paralysis (AFP)” yang bermula pada 27 November 2018, dan kasus ke dua adalah anak lain yang sehat namun pada tinjanya ditemukan VDPV. Kasus kedua ditemukan di desa terpencil yang berjarak 3-4 km dari kasus pertama.
“Tentu sekarang harus dilakukan upaya maksimal agar kasus di Aceh tidaklah merebak luas, dan kita sudah punya pengalaman panjang untuk mengendalikan polio di Indonesia,” kata Prof Tjandra yang juga pernah menjabat Dirjen Pengendalian Penyakit di Kemenkes. (* / Editor: Iman NR)