Hampir tiga tahun sudah, Wily menjadi Bidan Desa (Bindes) di Desa Kadurahayu Kecamatan Bojongmanik Kabupaten Lebak. Berkiprah sebagai Bindes, membuatnya harus tetap siap melayani selama 24 jam.
Wanita dengan nama lengkap Wilyani Efendy (25), dalam melaksanakan tugasnya kerap kali dihadapkan dengan akses infrastruktur yang tidak memadai. “Begitulah kalau seorang bidan desa. Berat-berat juga dijalanin,” katanya.
Wily menuturkan, empat hari yang lalu (21/2/2019), karena sulitnya mencari jalan alternatif yang cepat untuk menyelamatkan pasien, seorang ibu hamil harus digotong melewati jembatan gantung menuju fasilitas kesehatan. Sebab kendaraan ambulans hanya bisa sampai diujung jembatan. Selain itu, pada saat benar-benar urgent hanya jalan tersebut yang terbilang lebih dekat dari kediaman pasien di Desa Kadurahayu menuju fasilitas kesehatan (Faskes). Bukan tidak ada jalan lain, melainkan kondisi jalan yang rusak tidak memungkinkan untuk dilintasi kendaraan roda empat.
“Kalau jalan lain yang bisa dilalui mobil itu jauh lagi. Hampir 2 jam-an, karena harus melewati kecamatan lain, sedangkan pasien ini harus segera ditangani, ibu hamil mengalami ratensio plasenta (plasenta bai belum keluar selama lebih dari 30 menit dari bai lahir), akhirnya kami memilih jalan ke Kampung Poleng di Desa Mekarahayu untuk meminta ambulans menunggu diujung jembatan,” kata wanita lulusan Akademi Kebidanan Salsabila itu, ia menambahkan.
Baca: Polda Gelar Kesehatan Gratis di Tiga Tempat di Banten
“Mobil dari situ (rumah pasien) cuman bisa sampai diujung jembatan. selelebihnya kami harus melewati jembatan gantung ini dengan cara digotong dan dijemput oleh mobil satunya lagi diujung jembatan,” ujar wanita asal Bojongmanik itu.
Kejadian tersebut bermula saat ia sedang piket bagian poned di Puskesmas. Namun sesampainya disana, bayi terlanjur lahir di rumah pasien. Akan tapi untuk plasentanya belum keluar.
Sulitnya medan jalan membuatnya sering dihadapkan hal seperti itu saat bertugas. Sementara masyarakat sendiri terbilang sulit untuk diajak ke Puskesmas saat melakukan persalinan.
Kesan menjadi Bidan di Desa pun menurutnya tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. “Sepertinya saking beratnya. Bidan itu harus menanggung beban yang luar biasa, memperjuangakan keselamatan ibu dan bayi. Tapi kita bagaimanapun caranya harus diwajibkan untuk membawa ke Puskesmas,” ujarnya.
Wily membeberkan, kondisi jalan yang tidak memadai yang kebanyakan dijadikan alasan masyarakat untuk lebih memilih melahirkan di desa saja. “Sementara kami diwajibkan membawa pasien untuk melahirkan di Faskes, dan untuk menolong persalinan itu minimal harus 4 tangan bidan. Jadi tingkat stresnya bidan menolong lahiran di desa itu lebih tinggi daripada menolong lahiran di Puskesmas,” ujarnya.
Menghadapi persoalan itu, wanita lulusan Akbid Salsabila tahun 2015 itu. Tak jarang harus sering berkonsultasi dengan koordinator bidan, dan sesama bidan Desa lainnya guna menemukan solusi yang baik untuk pelayanan terhadap masyarakat.
Sebelumnya pada 6 Juni 2018 pukul 01.00 WIB, Bidan Desa Wilyani Efendy pernah pula mengevakuasi ibu dan bayi dengan dibantu mobil patroli Polsek Bojongmanik dalam menembus sulitnya medan di daerah tersebut. Infastruktur jalan masih menjadi salah satu kendala utama bagi masyarakat di Desa Kadurahayu Kecamatan Bojongmanik Kabupaten Lebak dalam hal keselamatan ibu dan bayi saat melahirkan. (Sofi Mahalali)