Apa Yang Salah dengan Postingan IG Pemprov Banten ?
Apa yang salah dengan postingan akun instagram (IG) Pemprov Banten yang turut merilis pernyataan KSP Moeldoko tentang Presiden boleh berkampanye? Bukankah hal ini ada dasar hukumnya.
OLEH: ABDUL HADI *)
Diatur dalam pasal 281 Undang-Undang No.7 Tahun 2017 tentang pemilu. Ketika postingan ini dikaitkan dengan peristiwa politik lain, yakni isu cawe-cawe atau netralitas, tentu saja kedua persoalan ini berbeda dan tidak bisa serta merta terkorelasi.
Justru postingan ini dimaksudkan sebagai edukasi politik atas aturan yang tidak boleh dilanggar oleh Presiden ketika ingin berkampanye. Bukan postingan yang hendak melegitimasi cawe-cawe politik dan ketidaknetralan pejabat pemerintah di Pilpres.
Postingan ini bukan pula dimaksudkan sebagai persuasi politik untuk mendukung kepentingan politik tertentu, terlalu jauh logika itu.
Menjadi suatu kewajaran ketika postingan IG Pemprov Banten banyak mendapat kritik. Mungkin hal ini dikhawatirkan menjadi politicking Pilpres di Banten oleh birokrasi. Tetapi coba fikir lebih jernih. Tanpa emosi.
Tanpa hujatan. Secara substansial pesan yang hendak disampaikan dalam postingan tersebut adalah adanya aturan hukum kepada Presiden sebagai Kepala Pemerintahan dan Kepala Negara ketika hendak berkampanye.
Hal ini menjadi cermin atas substansi hukum yang sama oleh pejabat atau birokrasi di Banten. Membiasakan berpikir jernih dan substansial adalah jalan utama menuju kesadaran dan tanggungjawab berdemokrasi.
Spontanitas hujatan terhadap IG Pemprov Banten semakin bisa dimaklumi karena bisa jadi datang dari kekhawatiran kelompok pendukung kontestan politik dalam Pilpres.
Bisa jadi dari amatan masyarakat yang ingin Pilpres berjalan jujur dan adil. Bisa jadi postingan IG Pemprov Banten dijadikan sarana dan sasaran antara untuk mendeclair peristiwa politik lainnya.
Tak bisa dipungkiri bahwa Pemprov Banten harus membantu, mendorong dan berkontribusi untuk menciptakan pemilu serentak 2024 sebagai pemilu yang berintegritas.
Hujatan terhadap IG Pemprov Banten menjadi tidak wajar ketika datang dari kelompok-kelompok kritis namun sempit. Apalagi jika amatan itu datang dengan menggunakan bahasa makian, tuduhan dan subjektifitas fatalistik.
Nampaknya belum terbiasa dengan telaah yeng jernih dalam budaya intelektual. Seakan-akan amatannya tajam, seperti sinar laser. Namun ketajaman pandangannya teramat sangat sempit untuk bisa didialogkan.
Inilah yang justru membahayakan budaya berdebat, kebebasan berpendapat dan berekspresi. Seolah-olah kebenaran itu mutlak dalam satu perspektif, sehingga sudut pandang lain bisa dibatalkan.
Mari kita sama-sama menjaga dan saling mengingatkan dalam berdemokrasi. Sebagai sesama anak bangsa, rasanya tak pantas jika perbedaan tafsir atas suatu informasi menjadi pembeda antara kebenaran dan kesalahan yang bersifat mutlak.
Rasanya tak pantas menjadi perbedaan antara kita dan mereka sehingga tidak lagi bisa bertemu. Seharusnya perbedaan tafsir dalam suatu informasi menjadi materi diskusi yang saling melengkapi dalam kerangka menggenapi kebenaran yang bisa diterima oleh semua perspektif. (*)
*) ABDUL HADI adalah pegian media sosial (Medsos), generasi Milenial.