Fatwa

Bolehkah Shalat Jumat Secara Online? Ini Fatwa dari Muhammadiyah

Gagasan Shalat Jumat dilakukan secara daring atau online muncul di tengah pandemi Covid 19 yang membatasi berbagai aktivitas masyarakat, termasuk pelaksanaan ibadah yang dilaksanakan bersama di masjid. Gagasan itu sebagai ijtihad dalam pembatasan kerumunan.

Ini fatwa Muhammadiyah dalam merespon gagasan tersebut.

Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah telah mengeluarkan beberapa fatwa berkaitan dengan shalat Jumat, di antaranya adalah fatwa dalam buku Tanya Jawab Agama (TJA) Jilid 1 halaman 64 tentang shalat Zuhur gantinya shalat Jumat. Yakni seseorang yang tidak bisa melaksanakan shalat Jum‘at karena suatu hal maka penggantinya adalah shalat Zuhur.

Pada Maklumat Pimpinan Pusat Muhammadiyah Nomor 01/MLM/I.0/H/2020 tertanggal 14 Maret 2020 tentang Tuntunan Ibadah pada masa Pandemi Covid-19 juga disebutkan kebolehan shalat Jumat di rumah untuk menghindari penyebaran virus corona.

Apabila kondisi dipandang darurat maka pelaksanaan shalat Jum‘at dapat diganti dengan shalat Zuhur di rumah.

Demikian pula Edaran Pimpinan Pusat Muhammadiyah Nomor 05/EDR/I.0/E/2020 tertanggal 4 Juni 2020 tentang Tuntunan dan Panduan Menghadapi Pandemi dan Dampak Covid-19.

Dijelaskan, shalat Jumat dapat dilakukan di masjid, musala, atau tempat lain yang memungkinkan untuk mencegah penularan virus corona dan dapat dilakukan dua gelombang.

Menilisik gagasan shalat Jumat Online adalah khutbah dan shalat Jumat dilaksanakan dalam jaringan (daring) atau online melalui aplikasi telekonferensi video, baik Zoom Clouds Meeting atau fasilitas serupa.

Pelaksanaan itu membutuhkan teknologi informasi berupa perangkat keras Lapotp, Komputer atau gawai, jaringan listrik, jaringan internet dan data yang memadai. Termasuk dalam hal ini, makmum Jumat berimam pada siaran on air radio dan televisi.

Gagasan shalat Jumat online mendasari prinsip at-taysīr (kemudahan) pada situasi darurat pandemi Covid-19. Sebab tidak mungkin dilakukan secara normal dengan mengumpulkan banyak orang di masjid. Salah satu protokol kesehatan terkait pandemi Covid-19 adalah tidak boleh berkerumun atau mengumpulkan banyak orang di suatu tempat.

Jadi, ibadah Jumat online, selanjutnya cukup disebut shalat Jumat online, merupakan persoalan kekininan yang belum pernah dipraktikkan pada masa Nabi. Shalat Jumat online ini termasuk persoalan ijtihad, sehingga memunculkan ragam pendapat dalam memahaminya.

Shalat Jum‘at adalah salah satu bentuk ibadah maḥḍah (ibadah khusus). Yang dimaksud dengan ibadah adalah sebagai berikut,

اَلْعِباَدَةُ هِيَ التَّقَرُّبُ إِلَى اللهِ بِامْتِثاَلِ أَوَامِرِهِ وَاجْتِنَابِ نَوَاهِيْهِ وَاْلعَمَلِ بِماَ أَذِنَ بِهِ الشَّارِعُ، وَهِيَ عَامَّةٌ وَخَاصَّةٌ، فَاْلعَامَّةُ كُلُّ عَمَلٍ أَذِنَ بِهِ الشَّارِعُ، وَاْلخَاصَّةُ ماَ حَدَّدَهُ الشَّارِعُ فِيْهاَ بِجُزْئِيَّاتٍ وَهَيْئَاتٍ وَكَيْفِيَّاتٍ مَخْصُوْصَةٍ.

Artinya: Ibadah ialah bertaqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah dengan jalan menaati segala perintah-Nya, menjauhi larangan-larangan-Nya dan mengamalkan segala yang diizinkan-Nya. Ibadah itu meliputi ibadah umum dan ibadah khusus. Ibadah umum ialah segala amalan yang diizinkan Allah. Ibadah khusus ialah apa yang telah ditetapkan Allah perincian-perinciannya, tingkah dan cara-caranya yang tertentu” [HPT, 2009, I: 278-279].

Shalat Jumat termasuk ibadah khusus (ibadahmaḥḍah), yaitu ibadah yang telah ditentukan rincian tata cara pelaksanaannya baik mengenai kaifiat, perbuatan maupun ucapannya yang harus dibaca.

Dalam pelaksanaan ibadah khusus (ibadah maḥḍah) itu terdapat ketentuan-ketentuan umum, yaitu harus mengikuti petunjuk Nabi tentang cara-cara dan rincian kaifiatnya dan tidak boleh dibuat-buat, sebagaimana dituntunkan dalam beberapa nas syariah,

أَمْ لَهُمْ شُرَكَآءُ شَرَعُوا لَهُمْ مِّنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللَّهُ].

Artinya:Apakah mereka mempunyai sesembahan selain dari Allah yang mensyariatkan untuk mereka aturan agama yang tidak diizinkan Allah” [Q.S. asy-Syūrā: 21].

عَنْ أَنَسٍ قَالَ … قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا كَانَ شَيْءٌ مِنْ أَمْرِ دُنْيَاكُمْ فَأَنْتُمْ أَعْلَمُ بِهِ فَإِذَا كَانَ مِنْ أَمْرِ دِيْنِكُمْ فَإِلَيَّ [رواه أحمد واللفظ له وابن ماجه وابن حبان وابن خزيمة].

Artinya: “Dari Anas (diriwayatkan) ia berkata: … Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassallam bersabda: Apabila ada suatu urusan duniamu, maka kamu lebih tahu mengenainya, dan apabila ada suatu urusan mengenai agamamu, maka kembali kepadaku” [H.R. Aḥmad, Ibn Mājah, Ibn Ḥibbān, dan Ibn Khuzaimah].

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهاَ قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ [رواه البخاري ومسلم].

Artinya: “Dari ‘Āisyah radhiyallahu anha(diriwayatkan) ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassallam bersabda: Barangsiapa mengada-adakan dalam agama kami ini sesuatu yang tidak termasuk ke dalamnya, maka ditolak” [H.R. al-Bukhārī dan Muslim].

عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ [رواه سلم].

Dari ‘Āisyah (diriwayatkan) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassallam bersabda: Barangsiapa mengamalkan suatu amalan yang tidak berdasarkan kepada perintah kami, maka ditolak [H.R. Muslim].

… صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُوْنِىْ أُصَلِّى [رواه البخاري].

Artinya:… Shalatlah kamu sebagaimana kamu melihat aku melakukan shalat [H.R. al-Bukhārī].

Atas dasar nas-nas di atas para fukaha merumuskan kaidah fikihiah mengenai ibadah sebagai berikut,

اَلْأَصْلُ فِي اْلعِبَادَاتِ التَّحْرِيْمُ حَتَى يَقُوْمَ دَلِيْلٌ عَلَى أَنَّهَا عِبَادَةٌ مَشْرُوْعَةٌ.

Artinya: Pada asasnya ibadah itu dilarang untuk dilakukan kecuali yang terdapat dalil yang menunjukkannya sebagai ibadah yang masyruk.”

اَلْأَصْلُ فِي اْلعِبَادَاتِ التَّوْقِيْفُ فَلاَ يُشْرَعُ مِنْهَا إِلَّا مَا شَرَعَهُ اللهُ.

Artinya: Pada asasnya ibadah itu bersifat taukif, sehingga tidak sah dilakukan, kecuali yang disyariatkan Allah.”

اَلْأَصْلُ فِي اْلعِبَادَاتِ اْلبُطْلَانُ إِلاَّ مَا شَرَعَهُ اللهُ وَرَسُوْلُهُ.

Artinya: “Pada asasnya ibadah itu batal kecuali yang disyariatkan Allah dan Rasul-Nya.”

Untuk memahami berbagai masalah agama (akidah, akhlak, ibadah, dan muamalat dunyawiah) digunakan suatu sistem pemahaman yang disebut Manhaj Tarjih.

Manhaj Tarjih sebagai kegiatan intelektual untuk merespons berbagai persoalan dari sudut pandang agama Islam tidak sekedar bertumpu pada sejumlah prosedur teknis, melainkan juga dilandasi oleh wawasan atau perspektif pemahaman agama yang menjadi karakteristik pemikiran Islam Muhammadiyah. Salah satu wawasan/perspektif dalam Manhaj Tarjih itu adalah wawasan tajdid.

Tajdid mempunyai dua arti, purifikasi atau pemurnian dan dinamisasi. Dalam bidang akidah dan ibadah tajdid bermakna purifikasi atau pemurnian, yakni mengembalikan kepada kemurniannya sesuai dengan Sunah Nabi shallallahu ‘alaihi wassallam.

Sedangkan dalam bidang muamalat duniawiyah tajdid berarti dinamisasi kehidupan masyarakat dengan semangat kreatif dan inovatif sesuai tuntutan zaman. Shalat Jum‘at merupakan bagian dari ibadah, sehingga tajdid dalam persoalan shalat Jum‘at adalah purifikasi, bukan dinamisasi, sehingga harus dikembalikan kepada kemurniannya.

Beberapa ketentuan ibadah shalat Jumat tersebut adalah sebagai berikut,

Hukum Shalat Jum‘at

Shalat Jum‘at hukumnya wajib bagi setiap orang Islam yang telah memenuhi persyaratan, hal ini dijelaskan beberapa dalil berikut,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوآ إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَّوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ.

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman apabila telah diseru untuk melaksanakan shalat pada hari Jum‘at, maka segeralah kamu mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli, yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui [Q.S. al-Jumu‘ah :9].

Ayat ini berisi tentang seruan atau panggilan untuk melaksanakan shalat Jum‘at. Panggilan tersebut berupa azan, artinya apabila muazin telah mengumandangkan azan untuk shalat Jumat maka umat Islam harus bergegas mendengarkan khutbah dan melaksanakan shalat Jumat.

Adapun disebut Jumat artinya berkumpulnya manusia pada hari itu untuk melaksanakan shalat Jum‘at di tempat yang luas dan besar seperti masjid yang dilakukan sekali dalam satu pekan (lihat Ibnu Kaṡir,Tafsīr al-Qur’ān al-‘Aẓim 4/365-367, Wahbah az-Zuhailī, Tafsīr al-Munīr 14/573 dan Muhammad ‘Alī aṣ-Ṣābūnī,Tafsīr Āyāt al-Aḥkām II/569-586).

Selain itu Nabi mempertegas wajibnya shalat Jum‘at dalam sebuah hadis,

عَنْ طَارِقِ بْنِ شِهَابٍ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْجُمُعَةُ حَقٌّ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ فِي جَمَاعَةٍ إِلَّا أَرْبَعَةً عَبْدٌ مَمْلُوكٌ أَوِ امْرَأَةٌ أَوْ صَبِيٌّ أَوْ مَرِيضٌ ]رواه أبو داود[.

Artinya: “Dari Thāriq bin Syihāb(diriwayatkan) dari Nabi shallallahu ‘alaihi wassallam beliau bersabda: Shalat Jumat itu wajib bagi setiap Muslim dengan berjamaah, kecuali empat golongan, yaitu; hamba sahaya, wanita, anak-anak dan orang yang sakit” [H.R. Abū Dāwūd].

Wajibnya melaksanakan shalat Jum‘at ini juga disertai dengan beberapa ancaman Nabi bagi orang yang meninggalkannya, sebagaimana dijelaskan dalam hadis,

عَنْ عَبْدِ اللهِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لِقَوْمٍ يَتَخَلَّفُونَ عَنِ الْجُمُعَةِ: لَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ آمُرَ رَجُلًا يُصَلِّي بِالنَّاسِ، ثُمَّ أُحَرِّقَ عَلَى رِجَالٍ يَتَخَلَّفُونَ عَنِ الْجُمُعَةِ بُيُوتَهُمْ [رواه أحمد].

Artinya: “Darii Abdullāh (diriwayatkan) bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wassallam bersabda kepada kaum yang meninggalkan shalat Jum‘at: Sungguh aku berkeingian untuk memerintahkan kepada salah seorang shalat bersama orang-orang, kemudian aku bakar rumah-rumah dari orang-orang yang meninggalkan (shalat) Jum‘at” [H.R. Aḥmad].

حَدَّثَنِي الْحَكَمُ بْنُ مِينَاءَ أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ وَأَبَا هُرَيْرَةَ حَدَّثَاهُ أَنَّهُمَا سَمِعَا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ عَلَى أَعْوَادِ مِنْبَرِهِ لَيَنْتَهِيَنَّ أَقْوَامٌ عَنْ وَدْعِهِمْ الْجُمُعَاتِ أَوْ لَيَخْتِمَنَّ اللَّهُ عَلَى قُلُوبِهِمْ ثُمَّ لَيَكُونُنَّ مِنْ الْغَافِلِينَ [رواه مسلم].

Artinya: “Telah menceritakan kepadaku al-Ḥakam bin Minā’ bahwa ‘Abdullāh bin ‘Umar dan Abū Hurairah keduanya telah menceritakan kepadanya (diriwayatkan), bahwa keduanya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassallam bersabda di atas mimbarnya: Hendaklah orang yang suka meninggalkan shalat Jum‘at menghentikan perbuatannya, ataukah mereka ingin Allah membutakan hati mereka, dan sesudah itu mereka benar-benar menjadi orang yang lalai” [H.R. Muslim].

عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ تَرَكَ الْجُمُعَةَ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ تَهَاوُنًا بِهَا طَبَعَ اللَّهُ عَلَى قَلْبِهِ [رواه أبو داود والترمذي].

Artinya: “Dari Muḥammad bin ‘Amr (diriwayatkan) ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassallam bersabda: Barangsiapa yang meninggalkan shalat Jum‘at sebanyak tiga kali karena meremehkannya, maka Allah akan menutup hatinya” [H.R. Abū Dāwūd dan at-Tirmidzī].

Dari hadis-hadis di atas dapat dipahami bahwa shalat Jum‘at termasuk perkara penting yang diungkapkan dalam bentuk perintah maupun ancaman. Di antara ancaman tersebut adalah akan ditutup hati orang yang meninggalkan shalat Jum‘at dengan sengaja dan meremehkannya. Imam Malik mengatakan bahwa yang dimaksud meninggalkan Jum‘at dengan sengaja adalah meninggalkan karena malas atau tidak ada uzur yang dibenarkan oleh syariat.

مَنْ تَرَكَ الْجُمُعَةَ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ مِنْ غَيْرِ عُذْرٍ وَلَا عِلَّةٍ طَبَعَ اللَّهُ عَلَى قَلْبِهِ.

Artinya: Barangsiapa meninggalkan Jum‘at tiga kali tanpa ada uzur atau sebab (yang dibenarkan), maka Allah mengunci hatinya” [al-Muntaqā Syarḥu al-Muwaṭṭa’, 1/204].

Ancaman meninggalkan shalat Jumat ini tentunya tidak berlaku bagi mereka yang tidak termasuk golongan yang wajib melaksanakan shalat Jum‘at, seperti hamba sahaya, anak kecil, wanita dan orang sakit.

Ancaman ini juga tidak berlaku bagi orang yang meninggalkan Jum‘at karena sebab yang dibenarkan syariat seperti adanya bencana atau kondisi lainnya yang dapat membahayakan keselamatan jiwa.

Dikaitkan dengan kondisi yang melanda dunia termasuk umat Islam sekarang, yakni pandemi Covid-19 yang dapat membahayakan keselamatan jiwa, maka orang yang meninggalkan shalat Jumat tidak termasuk kategori dalam ancaman hadis ini.

Bagi orang yang tidak dapat melaksanakan shalat Jum‘at karena sebab tersebut, diperbolehkan tidak melaksanakan shalat Jum‘at, tetapi diwajibkan untuk melaksanakan shalat Zuhur sebagai pengganti shalat Jum‘at sebagai hukum asal (azīmah) bagi orang yang tidak melaksanakan shalat Jumat (lihat TJA Jilid 4 halaman 123), dan baginya tetap mendapatkan pahala Jumat.

عن أَبى بُرْدَةَ سَمِعْتُ أَبَا مُوسَى مِرَارًا يَقُولُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا مَرِضَ الْعَبْدُ أَوْ سَافَرَ، كُتِبَ لَهُ مِثْلُ مَا كَانَ يَعْمَلُ مُقِيمًا صَحِيحًا [رواه البخاري].

Artinya: “Dari Abū Burdah (diriwayatkan), aku mendengar Abū Mūsā beberapa kali berkata:Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassallam bersabda: Apabila seorang hamba sakit atau melakukan perjalanan maka dicatat (pahala) baginya seperti apa yang dilakukan orang yang mukim dan sehat” [H.R. al-Bukhārī].

Selain itu shalat Jumat memiliki beberapa keutamaan khusus yang tidak ada pada shalat fardu lainnya, seperti keutamaan mandi janabah menjelang shalat Jum‘at, hadir lebih awal pada shalat Jum‘at, terdapat kafarat dosa antara Jum‘at satu dengan Jum‘at lainnya. Salah satu hadis yang menyebut keutamaan shalat Jum‘at tersebut adalah,

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَنِ اغْتَسَلَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ غُسْلَ الْجَنَابَةِ، ثُمَّ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الْأُولَى، فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَدَنَةً، وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الثَّانِيَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَقَرَةً، وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الثَّالِثَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ كَبْشًا أَقْرَنَ، وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الرَّابِعَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ دَجَاجَةً، وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الْخَامِسَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَيْضَةً، فَإِذَا خَرَجَ الْإِمَامُ حَضَرَتِ الْمَلَائِكَةُ يَسْتَمِعُونَ الذِّكْرَ [رواه مالك].

Artinya: “Dari Abū Hurairah (diriwayatkan), Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassallam bersabda: Barangsiapa mandi janabah pada hari Jum‘at lalu pergi untuk melaksanakan Jum‘at pada waktu pertama seolah-olah ia berkurban unta, barangsiapa datang pada waktu kedua seperti berkurban sapi, barangsiapa datang pada waktu ketiga seperti kurban seekor kibas yang bertanduk, barangsiapa datang pada waktu keempat seperti berkurban ayam dan barangsiapa datang pada waktu kelima seperti berkurban sebutir telur. Apabila imam sudah datang maka para malaikat hadir ikut mendengarkan khutbah” [H.R. Mālik].

Tata Cara Shalat Jumat

Shalat Jum‘at ini merupakan ibadah maḥḍah, sedangkan prinsip ibadah maḥḍah adalah terlarang kecuali ada perintah. Oleh karenanya tata cara shalat Jum‘at harus mengikuti petunjuk dan sesuai dengan tuntunan berdasarkan al-Qur’an dan hadis Nabi. Hal ini didasarkan kepada firman Allah swt,

… وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ.

Artinya: “Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah, dan bertakwalah kepada Allah, sungguh Allah sangat keras siksa-Nya” [Q.S. al-Ḥasyr: 7].

Prinsip umum tata cara shalat Jumat sama dengan shalat fardu lainnya, yakni dilakukan secara berjamaah, menghadap kiblat, pengaturan shaf dan aturan lainnya dalam ketentuan shalat berjamaah.

Semua ketentuan shalat berjamaah pada shalat lima waktu berlaku pula pada aturan shalat Jumat (lihat Materi Munas Tarjih XXX tahun 2018 di Makassar tentang Tata Cara Shalat Berjamaah hal. 244). Ada beberapa hal penting berkaitan dengan tata cara shalat Jum‘at yang perlu dijelaskan, di antaranya adalah,

  1. Shalat Jum‘at Dilaksanakan di Masjid

Para ulama banyak merumuskan tentang syarat sahnya shalat Jumat, Wahbah az-Zuhailī merumuskan ada sebelas syarat sahnya Jumat di antaranya shalat Jum‘at dilaksanakan di masjid dengan berjamaah (lihat al-Fiqh al-Islāmī wa Adillatuh II/1291, bāb Syurūṭ ṣiḥḥah al-Jumu‘ah: Iḥdā ‘Asyrata).

Dalam kondisi tertentu dibenarkan pelaksanaan shalat Jum‘at tidak di masjid, yakni dapat dilaksanakan di tempat selain masjid. Kebolehan ini bisa disebabkan karena tidak ada masjid yang dapat dipergunakan shalat Jumat seperti di ruang sekolah, kantor atau ruang publik lainnya.

Sebab lain dibolehkan shalat Jumat di luar masjid karena kapasitas masjid tidak dapat menampung banyak jamaah sehingga harus melebar ke ruangan lain di luar masjid (lihat Tanya Jawab Agama jilid II/92 dan III/92).

Sebagai contoh shalat Jum‘at yang dilaksanakan di Masjidil Haram pada musim haji, hampir selalu meluber sampai ke luar masjid seperti halaman masjid, di hotel-hotel sekitarnya hingga ke jalan-jalan.

Dalam keadaan ini, shalat Jumat tetap sah karena masih adanya ketersambungan antara jamaah yang di luar masjid dengan jamaah yang di dalam masjid dan kesatuan tempat antara imam dengan makmum meski terhalang dinding atau yang lain.

Peristiwa seperti ini pernah terjadi pada masa Nabi Muhammad SAW , beliau menjadi imam shalat di balik tabir sedangkan makmum terpisah dengan tabir dan makmum mengikuti imam dari suara Nabi, sebagaimana diterangkan dalam hadis berikut.

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: كَانَتْ لَنَا حَصِيرَةٌ نَبْسُطُهَا بِالنَّهَارِ، وَنَحْتَجِرُهَا بِاللَّيْلِ، فَصَلَّى فِيهَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ لَيْلَةٍ فَسَمِعَ الْمُسْلِمُونَ قِرَاءَتَهُ، فَصَلَّوْا بِصَلَاتِهِ … [رواه أحمد].

Artinya: “Dari ‘Āisyah (diriwayatkan) ia berkata: Kami mempunyai sehelai tikar yang kami bentangkan di siang hari dan kami jadikan dinding di malamnya, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassallam shalat pada suatu malam di tempat yang didindingi tikar itu, seketika kaum muslimin mendengar bacaannya dan mereka pun shalat dengan mengikuti shalatnya Nabi (dari balik tabir) …” [H.R. Aḥmad].

Hal ini juga terjadi pada masa sahabat yang dilakukan oleh Anas bin Malik, peristiwa ini digambarkan dalam riwayat berikut,

عَنْ صَالِحِ بْنِ إِبْرَاهِيمَ قَالَ: رَأَيْتُ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ صَلَّى الْجُمُعَةَ فِي بُيُوتِ حُمَيْدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفِ، فَصَلَّى بِهِمْ بِصَلَاةِ الْإِمَامِ فِي الْمَسْجِدِ، وَبَيْنَ بُيُوتِ حُمَيْدٍ وَالْمَسْجِدِ الطَّرِيقُ [رواه الشافعي].

Artinya: “Dari Shālih bin Ibrāhīm (diriwayatkan) ia berkata: Aku melihat Anas bin Mālik shalat Jum‘at di rumah Humaid bin Abdurraḥmān bin Auf, maka ia shalat bersama mereka mengikuti shalat imam yang berada di masjid, sedangkan di antara rumah-rumah Humaid dan masjid adalah jalan” [H.R. asy-Syāfi‘ī].

Dari kedua riwayat tersebut dapat dipahami bahwa shalat Jumat dapat dilakukan di luar masjid dengan tetap mengikuti induk shalat dan pada kesatuan tempat. Oleh karena itu shalat Jumat yang dilaksanakan mengikuti induk jamaah, meskipun terhalang dinding, ruang, jalan atau sungai, selama masih terkoneksi atau terhubung dengan jamaah induknya, maka shalat Jumatnya tetap sah.

Dalam kondisi tertentu untuk membantu ketertiban shalat Jum‘at berjamaah dapat pula digunakan alat penghubung antara imam dan makmum berupa media layar yang menampilkan gambar seperti LCD/LED dan media lain dalam bentuk suara seperti loud speaker atau lainnya.

Kesatuan tempat antara imam shalat Jumat beserta makmumnya merupakan bagian dari syarat sah shalat Jumat. Hal ini dilakukan secara hakiki (nyata), bukan dalam bentuk lainnya, yakni seorang imam shalat di bagian depan dan makmum shalat di sudut lainnya di dalam masjid atau seorang shalat di luar masjid dengan tetap mengikuti imam di dalam masjid, maka sah shalat Jumatnya. (lihat al-Hāwī al-Kabīr II/343, al-Fiqh al-Islamī wa Adillatuh II/1299)

Imam shalat Jumat hendaklah memperhatikan makmum sebelum memulai shalat dengan memastikan kesiapan makmum dalam mengikuti shalat berjamaah seperti lurus dan rapatnya shaf serta penuhnya shaf depan lebih dahulu baru kemudian shaf berikutnya. Dalil yang menjelaskan hal ini adalah hadis-hadis berikut.

عَنْ أَنَسٍ قَالَ: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُقْبِلُ عَلَيْنَا بِوَجْهِهِ، قَبْلَ أَنْ يُكَبِّرَ فَيَقُولُ: تَرَاصُّوا، وَاعْتَدِلُوا [رواه أحمد].

Artinya: “Dari Anas (diriwayatkan) ia berkata: Adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassallam menghadapkan wajahnya kepada kami sebelum bertakbir, lalu beliau berkata: Luruskan dan rapatkan” [H.R. Aḥmad].

Kemudian Rasulullah SAW juga bersabda mengenai kerapatan shaf dan kewajiban memenuhi shaf yang ada.

عَنْ أَنَسٍ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: أَتِمُّوا الصَّفَّ الْأَوَّلَ وَالَّذِي يَلِيهِ، فَإِنْ كَانَ نَقْصٌ فَلْيَكُنْ فِي الصَّفِّ الْآخِرِ [رواه أحمد].

Artinya: “Dari Anas (diriwayatkan), Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassallam bersabda: Penuhilah shafpertama kemudian shafberikutnya, jika ada kurang maka jadikanlah pada shafakhir” [H.R. Aḥmad].

Makmum yang berjumlah lebih dari satu posisinya berada di belakang imam, berdasarkan hadis Nabi SAW berikut ini.

عَنْ جَابِرٍ بْنِ عَبْدِ اللهِ قَالَ: قَامَ النَّبِىُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّى الْمَغْرِبَ فَجِئْتُ فَقُمْتُ عَنْ يَسَارِهِ فَنَهَانِى فَجَعَلَنِى عَنْ يَمِيْنِهِ ثُمَّ جَاءَ صَاحِبٌ لِى فَصَفَفْنَا خَلْفَهُ [رواه أبو داود].

Artinya: “Dari Jābir bin ‘Abdullāh ia berkata, [diriwayatkan] bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wassallam berdiri untuk melakukan shalat maghrib, lalu aku datang dan berdiri di sebelah kirinya,maka beliau mencegah aku dan menjadikan aku di sebelah kanannya. Setelah itu datang seorang temanku, lalu kami berdiri (bershaf) di belakang Nabi” [H.R. Abū Dāwūd].

Dalam shalat berjamaah seorang makmum dituntut juga mengetahui beberapa hal tentang kondisi imam, seperti batal atau tidaknya imam, mengetahui dan mengikuti gerakan shalat imam juga seorang makmum tidak mendahului imam. Para ulama mengharuskan adanya keselarasan gerak antara imam dan makmum adalah berdasarkan hadis Nabi SAW:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّمَا جُعِلَ الإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ، فَإِذَا كَبَّرَ فَكَبِّرُوا، وَإِذَا رَكَعَ فَارْكَعُوا [رواه البخاري].

Artinya: “Dari Abū Hurairah (diriwayatkan) ia berkata: Nabi shallallahu ‘alaihi wassallam bersabda: Sesungguhnya dijadikan imam itu untuk diikuti, apabila imam takbir maka makmum ikut bertakbir dan apabila imam rukuk maka makmum pun ikut rukuk” [H.R. al-Bukhārī].

Hadis ini dipahami sebagai dalil keharusan mengikuti gerakan shalat imam seperti gerakan rukun shalat maupun intiqāl (perpindahan). Makmum wajib mengikuti gerakan imam dengan cara melihat langsung gerakan imam, melihat gerakan makmum yang ada di belakang imam atau memperhatikan suara imam (lihat TJA Jilid 2 halaman 92).

Sebagian ulama juga memahami bahwa hadis ini tidak sekedar keharusan mengikuti imam tetapi juga keharusan adanya kesatuan tempat antara imam dan makmum. Artinya, imam dan makmum harus berada pada satu tempat, posisi makmum tidak boleh berada di depan posisi imam, karena yang demikian menjadikan tidak sah shalatnya, demikian pandangan dari mazhab Syafii (lihat Syarḥ Ibnu Baṭal 3/389).

Kesatuan tempat serta ketersambungan imam dan makmum menjadi penting dalam shalat berjamaah termasuk pada shalat Jum‘at. Oleh karena itu seorang laki-laki atau perempuan, kuat atau lemah, sendiri maupun banyak tidak diperbolehkan melaksanakan shalat dari rumah sementara imam shalat berada di masjid.

Pelaksanaan seperti ini juga tidak boleh dilakukan baik pada shalat fardu, sunah, Jum‘at maupun shalat lainnya, baik rumahnya berada di depan maupun belakang dari posisi imam shalat, karena pada prinsipnya shalat berjamaah dilakukan pada kesatuan tempat seperti di masjid dan ketersambungan imam dan makmum (lihat Fatawā Lajnah ad-Dāimah lil-Buḥuṡ ‘Alamiyyah wal-Iftā’, 10/206).

Problematika Shalat Jum‘at Online

Dari uraian tentang hukum dan tata cara shalat Jum‘at di atas, dapat diketahui bahwa shalat Jum‘at yang dilakukan secara online ternyata mengandung beberapa problematika, di antaranya adalah,

Pertama, shalat Jum‘at adalah ibadah yang bersifat ta‘abbudī dan termasuk dalam kelompok ibadah yang khās (khusus) atau maḥḍah, sehingga perincian-perinciannya telah ditetapkan oleh nas al-Qur’an dan Sunah.

Sebab itu dalam shalat Jum‘at tidak diperkenankan adanya kreasi selain apa yang telah dituntunkan. Meng-online-kan shalat Jumat termasuk kreasi yang sejatinya tidak diperkenankan.

Ini berbeda dengan akad nikah misalnya, yang merupakan bentuk ibadah muamalat, sehingga memungkinkan adanya kreasi seperti akad nikah dengan bahasa selain bahasa Arab, akad nikah melalui surat atau pun akad nikah secaraonline.

Kedua, shalat Jumat online tidak sesuai dengan tuntunan shalat Jumat, khususnya tentang kesatuan tempat secara hakiki (nyata), bukan virtual, ketersambungan jamaah, posisi imam dan makmum serta beberapa keutamaan shalat jamaah.

Dalam shalat Jumat online, tentu kesatuan tempat secara hakiki (nyata) tidak tercapai, karena jamaah shalat Jumat online bisa berada di mana pun sesuai dengan keberadaan masing-masing jamaah.

Ketersambungan jamaah juga tidak bisa dicapai karena jamaah ada di berbilang tempat dan lokasi. Demikian pula posisi imam dan makmum menjadi tidak jelas siapa yang di depan dan siapa yang di belakang serta tidak berlaku lagi ketentuan lurusnya shaf shalat.

Ketiga, rukhsah untuk ditinggalkannya shalat Jum‘at adalah diganti dengan shalat Zuhur. Hal ini, selain memang sudah diterangkan dalam hadis Nabi SAW pada penjelasan di atas, mengambil shalat Zuhur sebagai rukhsah juga sebagai jalan memilih hal yang lebih mudah. Nabi SAW menuntunkan bahwa ketika memilih di antara dua perkara, maka dipilihlah yang paling mudah dilakukan, sebagaimana diriwayatkan dalam hadis berikut,

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّهَا قَالَتْ مَا خُيِّرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ أَمْرَيْنِ إِلَّا أَخَذَ أَيْسَرَهُمَا مَا لَمْ يَكُنْ إِثْمًا [رواه البخاري].

Artinya: “Dari ‘Āisyah radhiyallahu anha (diriwayatkan) bahwa ia berkata, tidaklah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassallam memilih di antara dua perkara kecuali beliau mengambil yang paling mudah di antara keduanya, selama tidak ada dosa” [H.R. al-Bukhārī].

Shalat Jum‘at secara online sudah tentu menggunakan serangkaian perangkat untuk bisa dilaksanakan, baik perangkat untuk online berupa paket data internet, perangkat keras berupa laptop misalnya, perangkat lunak yang dalam hal ini menggunakan aplikasi telekonferensi video Zoom Clouds Meeting, maupun kebutuhan listrik untuk menghidupkan perangkat-perangkat tersebut. Oleh sebab itu, shalat Jum‘at online sangat bergantung pada ketersediaan perangkat-perangkat tersebut. Seandainya perangkat-perangkat yang digunakan mengalami masalah, apakah karena ada gangguan suplai listrik, gangguan sinyal dan lain sebagainya, maka pelaksanaan shalat menjadi terganggu atau bahkan batal dilaksanakan. Hal ini tentu menyulitkan bagi jamaah shalat Jum‘at online tersebut.

Kemajuan teknologi harus diakui sebagai berkah yang besar. Di bidang medis, kemajuan teknologi mampu menyelamatkan puluhan juta manusia untuk bertahan hidup. Di bidang komunikasi, orang dapat bertemu dan berkomunikasi di ruang virtual (maya). Tetapi teknologi jangan sampai melakukan mekanisasi terhadap kehidupan manusia, sehingga hidup manusia di bawah kendali mesin-mesin yang menyebabkan ruang pribadi dan ruang spiritual manusia menjadi kehilangan makna. Tidak semua kehidupan manusia dapat dimasuki oleh kemajuan teknologi.

Pada bidang ibadah, kemajuan teknologi harus dibatasi, karena ibadah merupakan komunikasi manusia dengan Tuhan secara langsung. Seandainya kemajuan teknologi masuk dalam bidang ibadah, misalnya azan, mengimami shalat atau berkhutbah dilakukan oleh robot, maka proses ibadah menjadi bukan lagi proses manusiawi, tetapi proses mekanisasi. Artinya, satu dimensi kehidupan manusia yang sangat penting sudah tergerus oleh mesin-mesin yang diciptakan manusia sendiri. Jadi, penerimaan kemajuan teknologi dalam bidang ibadah tetap harus dibatasi, termasuk dalam ibadah shalat Jum‘at ini, shalat dilakukan sebagaimana adanya.

Keempat, sungguh pun shalat Jum‘at online adalah masalah ijtihādī, namun secara realitas telah menimbulkan kontroversi di masyarakat. Oleh sebab itu, sesuatu hal yang menimbulkan kontroversi sebaiknya ditinggalkan, sebagaimana kaidah fikihiah berikut ini,

الخُرُوجُ مِنَ الْخِلَافِ مُسْتَحَبٌّ.

Artinya: “Keluar dari khilaf (kontroversi) itu disukai.”

Adapun jalan keluar yang paling ideal dari sebuah kontroversi adalah kembali kepada nas, yaitu rukhsah shalat Jum‘at yang tidak dapat dilaksanakan adalah diganti dengan shalat Zuhur. Hal ini mengacu pada al-Qur’an surah an-Nisā’: 59,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنكُمْ ۖ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا.

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul(Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Quran) dan Rasul (sunahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.(QS: an-Nisā’: 59)

Kesimpulan

Berdasarkan penjelasan di atas, Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah berpandangan bahwa,

  1. Shalat Jumat adalah ibadah maḥḍah yang wajib dilaksanakan sesuai ketentuan yang dituntunkan oleh Nabi Muhammad. Segala sesuatu dalam ibadah maḥḍah yang dilakukan di luar tuntunan Nabi tidak dapat dibenarkan. Shalat Jumat hukumnya wajib dikerjakan, sehingga apabila terjadi suatu kondisi yang mengakibatkan tidak dapat terlaksananya shalat Jum‘at, maka kewajiban shalat Jum‘at menjadi gugur dan diganti dengan shalat Zuhur. Dalam keadaan darurat karena pandemi Covid-19 ini, jika hendak mendirikan shalat Jum‘at, maka dapat dilaksanakan secara terbatas di rumah atau tempat lainnya selain masjid atau dapat melaksanakan shalat Jum‘at di masjid secara bergantian (gelombang) dengan tetap menjaga protokol kesehatan secara sangat ketat.
  2. Praktik shalat Jum‘at secaraonline, walaupun itu persoalan ijtihādī, namun ada ketentuan shalat Jum‘at yang tidak dapat tercapai dalam praktik shalat Jum‘at secara online, yaitu adanya kesatuan tempat secara hakiki (nyata), ketersambungan jamaah, pengaturan posisi imam dan makmum yang sesuai dengan ketentuan shalat jamaah (makmum berada di belakang imam) serta keutamaan-keutamaan shalat Jum‘at. Di samping itu, shalat Jum‘at yang dilakukan secara online justru lebih memberi kesulitan baru karena mengharuskan ketersediaan serangkaian perangkat online daripada menggantinya dengan shalat Zuhur.
  3. Sejauh penelusuran terhadap berbagai literatur, Majelis Tarjih dan Tajdid belum menemukan dalil atau alasan yang kuat untuk mengganti shalat Jum‘at dengan shalat Jum‘at secara online. Oleh karena itu, dengan tanpa mengurangi rasa hormat terhadap pendapat yang berbeda, Majelis Tarjih dan Tajdid belum dapat menerima pelaksanaan shalat Jum‘at secara online . (*)

Tulisan ini dikutip utuh dari web mumhammadiyah.or.id, lihat tulisan asilinya KLIK DI SINI.

Iman NR

SELENGKAPNYA
Back to top button