Advetorial

Dinkes Banten Ajak Hapuskan Stigma dan Diskrimindasi Kusta

Penyakit kusta adalah penyakit yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium Leprae. Bakteri ini bisa menular dari percikan cairan saluran pernapasan (droplet) atau ludah dan dahak yang keluar ketika batuk.

Namun, penularannya tidak cepat. Seseorang bisa tertular jika terkena droplet secara terus menerus dalam waktu yang lama. Bakteri ini butuh waktu lama untuk berkembang biak di dalam tubuh manusia.

Jadi, seseorang tidak akan tertular penyakit ini hanya karena bersalaman, duduk bersama, bahkan berhubungan seksual.

Berdasarkan Permenkes no 11 tahun 2019 tentang Penanggulangan Kusta, Indonesia merupakan peringkat ke 3 di dunia setelah India dan Brazil dengan kasus kusta terbanyak. Untuk di Provinsi Banten yang terbagi dalam 4 kabupaten dan 4 kota.

Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Banten, dr Dr Ati Pramudji Hastuti menjelaskan, sudah eliminasi penyakit kusta dengan indikator Prevalensi < 1/ 10.000 penduduk.

Pada Triwulan II tahun 2022, Kata Kadinkes, prevalensi penyakit ini di Provinsi Banten 0,6 /10.000 penduduk dengan kasus kusta sebanyak 782 orang, diantaranya kasus anak sebanyak 17 orang.

“Meski sudah eliminasi penyakit ini (PR < 1/10.000 Penduduk), masih banyak ditemukan kasus baru di tahun 2022 yaitu 261 orang. Oleh karena itu diperlukan usaha-usaha untuk mencegah penularan penyakit tersebut seperti dengan menerapkan pola hidup sehat dan bersih, dan melakukan skrining mandiri terhadap ciri-ciri penyakit ini,” ujar Ati, Senin (25/09/2022).

Apabila ditemukan ciri-ciri penyakit tersebut seperti bercak putih/merah, tidak terasa gatal dan tidak sakit, segeralah periksakan ke Puskesmas. Penyakit Kusta dapat disembuhkan dengan menjalani pengobatan 6-12 bulan.

Disampaikan Ati, Diskriminasi sering kali dialami oleh penderita penyakit tersebut di lingkungan sekitar mereka seperti dijauhkan atau dikucilkan karena orang-orang takut tertular.

“Masih banyak yang melabeli penyakit tersebut adalah kutukan, penyakit orang miskin, menjijikkan, dan seterusnya. Stigma-stigma seperti itu memengaruhi fisik, praktik itu juga berdampak ke psikologis, sosial, hingga kesejahteraan ekonomi penderita,” papar Ati.

Akibatnya banyak penderita-penderita penyakit tersebut yang malu untuk berobat, sehingga telat ditangani dan mengakibatkan kecacatan fisik.

Maka dari itu, Kepala Dinkes Banten ini menghimbau agar masyarakat Banten menghapuskan stigma dan diskriminasi pada penderita kusta.

“Kita harus memberikan support pada penderita kusta agar dapat sembuh total dan tidak terjadi kecacatan,” ujar Kadinkes. (Advertorial Dinkes Banten)

SELENGKAPNYA
Back to top button