Eman: Pengibaran Bendera Hanya Topeng Demo Tolak PLTU Jawa 9-10
Akhirnya, Eman Sulaiman, Lurah Suralaya buka suara setelah sekelompok Mahasiswa Pencinta Alam (Mapala) Banten menuding terjadi penolakan dan pengusiran pengibaran bendera Merah Putih di Bukit Kembang Kuning atau Teletabis, Kota Cilegon. Aksi itu bertepatan dengan Hari Kemerdekaan RI.
“Tidak ada yang melarang kegiatan tersebut, seperti yang beberapa hari ini beredar luas di media sosial dan media online. Dan acara itu sebenarnya demo menolak pembangunan PLTU Jawa 9-10, bukan pengibaran bendera untuk membangun nasionalisme sesungguhnya. Pengibaran bendera itu hanya topeng demo,” ujar Eman Sulaiman, Lurah Suralaya kepada wartawan, Rabu (19/8/2020).
Lurah Suralaya membenarkan, warga mencurigai agenda dibalik acara pengibaran Bendra Merah Putih. Kecurigaan itu muncul ketika para mahasiswa itu tidak mau memberikan susunan acara atau untuk apa acara itu, setelah mereka mendirikan tenda untuk bermalam di Bukit Kembang Kuning atau terkenal Bukti Teletubbes.
Selain tidak memberitahukan agenda rinci pengibaran bendera, mahasiswa pun tak menjalankan protokol kesehatan di saat pandemi covid-19 masih menjadi ancaman. “Hal ini meningkatkan kecurigaan warga sekitar, karena tersiar kabar bahwa mahasiswa, selain upacara bendera akan menggelar aksi teaterikal, demo soal lingkungan,” kata Eman.
Baca:
Memprovokasi Warga
Acara itu dinilai bukan hanya pengibaran bendera, tetapi aksi demonstrasi yang memprovokasi warga agar menolak pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Jawa unit 9-10. “Warga di sini tidak pernah menolak proyek strategis pemerintah,” katanya.
“Mereka dari luar daerah ini dan jauh dari Suralaya. Kami meyakini pembangunan PLTU 9-10, justru akan menciptakan lapangan kerja terutama masyarakat Suralaya,” jelas Eman.
Sementara itu, Kapolsek Pulomerak AKP Rifki Seftirian memastikan, tidak ada penolakan atau pengusiran dari aparat kepada Gabungan Mahasiswa Pencinta Alam se-Banten yang hendak mengibarkan bendera raksasa berukuran 16×10 di Bukit Teletubbies, Kelurahan Suralaya.
“Tidak ada aparat yang mengusir, tidak ada aparat di situ baik kepolisian dari Polres Cilegon dan Polsek Pulomerak yang mengusir,” cetusnya.
Rifki justru menyayangan kegiatan para mahasiswa yang tidak sesuai dengan perizinan yang disampaikan. Ia menyebutkan, dalam perizinan yang disampaikan ke pihak kepolisian, mahasiswa hanya akan melakukan pengibaran bendera dengan tujuan membangkitkan nasionalisme. Namun, fakta di lapangan, imbuhnya, para mahasiswa ingin melakukan agenda lain di luar yang tertera pada surat perizinannya.
Baca:
Bukan Polisi
“Jadi yang menolak itu bukan Polisi. Karena warga disekitar situ juga sedang memperingati 17 Agustus-an, jadi warga sedang melaksanakan lomba. Mahasiswa juga tahu yang menolak itu bukan Polisi. Kami sebagai petugas kepolisian akhirnya menyampaikan warga tidak berkenan (dengan aksi demo),” urai Rifki.
Sebelumnya, kelompok yang mengaku Mapala Se-Banten melakukan longmarch dari Bukit Teletabies, Kelurahan Suralaya ke Bukit Ciporong, Kelurahan Tamansari, Kecamatan Pulomerak, Kota Cilegon, tepat pada HUT Kemerdekaan RI, Senin (17/8/2020).
Kelompok ini mengaku membentangkan dan mengarak bendera dengan jalan kaki sejauh 10 kilometer, karena ditolak mengibarkan bendera itu di Bukti Teletabis.
Koordinator Mapala se-Banten Okib mengatakan, aksi longmarch membawa bendera berukuran 16 x 10 meter dilakukan setelah pihak Kelurahan Suralaya tidak menginginkan adanya pengibaran bendera merah putih menggunakan peralatan panjat tebing. Pihak Kelurahan Suralaya hanya membolehkan pengibaran bendera merah putih tanpa peralatan atau dibentangkan di tanah lapang yang ada di bukit bukan di tebingnya.
“Kita dilarang mengibarkan bendera merah putih dengan peralatan yang kita bawa seperti tali, cincin pengaman dan yang lainnya untuk naik di tebing yang curam. Alasannya karena bukitnya curam, hanya boleh dibentangkan saja di tempat yang lapang,” kata Okib kepada wartawan.
Okib mengatakan, pengibaran bendera itu sebagai protes Mapala Se-Banten atas pembangunan PLTU Jawa unit 9-10 di Suralaya. PLTU itu menggunakan bahan bakar batubara, dianggap merusak lingkungan sekitar oleh polusi ataupun sisa-sisa pembakaran bahan baku produksi listrik tersebut. (Anggit Gunadi / IN Rosyadi)