Ketua ICMI Orwil Banten, Lili Romli menilai, Pemilihan Presiden (Pilpres) merupakan sebuah kompetisi, bukan peperangan. Karena Pilpres merupakan sebuah mekanisme dari demokrasi dalam memilih pemimpin.
Namun ia mengatakan, kompetisi atau persaingan sendiri harus memiliki makna positif bukan negatif. Artinya dilakukan dengan cara fair, sportif, transparan, dan akuntabel. Sehingga ketika adanya kompetisi yang baik, maka yang akan muncul adalah pertarungan gagasan untuk membangun sebuah negara.
“Kalau mengutip bahasa olahraga, di dalam kompetisi itu harus sportif. Tidak boleh curang, ilegal, dan sebagainya,” kata pria yang merupakan Peneliti LIPI dan Direktur Eksekutif Banten Institute for Regional Development (BIRD) dalam sebuah dialog publik di Makaz ATN, Kota Serang, Kamis (29/11/2018).
Ia juga menuturkan, Pilpres kali ini agar tidak terjadi disintegrasi yang menimbulkan konflik horizontal. Sehingga ketika dalam kompetisi, siapapun yang akan menang dan kalah harus tetap saling menghargai dan menghormati.
“Dalam kompetisi itu harus ada win win solution, artinya yang kalah itu akan menjadi oposisi. Oposisi disini bukanlah sebagai musuh, tetapi sebagai patner pemerintah,” ujarnya.
Baca: Simulasi Pengamanan Pemilu di Mapolres Serang
Lili Romli menilai, peran dari civil society (masyarakat madani) menjadi penting dalam mengawal demokrasi, karena memiliki posisi yang strategis. Ketika masyarakat madani tidak menjadi pelopor demokrasi, maka negara ini akan hancur. Ia juga berpendapat, ditataran kaum menegah disini adalah kaum muda (pemuda dan mahasiswa). Karena secara demografi, keberadaannya tidak hanya di kota. Tetapi di pedesaan pula, dan jumlahnya banyak.
“Oleh karena itu sikap, perilaku, dan tindakan tidak boleh keluar dari zona demokrasi. Karena demokrasi merupakan satu satunya cara dalam menentukan seorang pemimpin,” ujarnya.
Ia menuturkan, para pemuda dan mahasiswa harus bisa menghadirkan nuansa kompetisi yang sehat, bukan terlibat menyebarkan hoax dan menimbulkan ketakutan. Karena itu akan menimbulkan suasana peperangan bukan sebuah kompetisi.
“Kalau kaum muda itu di mobilisasi, atau menjadi komponen mobilisiasi untuk hal-hal yang tidak demokratis. Itu penghianatan, dan tidak menunjukan representasi sebagai civil society,” katanya.
Lili mengatakan, kelas menengah harus bisa memberikan warna manis, bukan warna asem. Jadi jika dianalogikan, kamu menengah ini sebagai ragi. Artinya ketika ragi itu digunakan untuk membuat tape, maka sesuai racikannya. Akan memberi rasa manis atau asem.”Sekarang kaum muda ini ingin memberikan rasa manis atau asem,” ungkapnya.
Ia berharap, kaum kelas menengah menjadi ragi yang menghasilkan tape yang manis. Karena apabila rasanya asem, akan menjadi Pemilu yang berdarah-darah. Ia juga menilai, kelas menengah bukan bagaikan ikan di lautan yang luas. Yang meskipun asin, tidak terssentuh rasanya. Tetapi kaum menengah harus bisa memberikan warna, bukan diwarnai. (Sofi Mahalali)