News

Kontroversi DPR, Tunjangan Mewah di Tengah Kemiskinan Rakyat

Aksi unjuk rasa yang mengguncang sejumlah wilayah pada Jumat (29/8/2025) menjadi bukti betapa dalamnya ketidakpuasan masyarakat terhadap perilaku para anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Dari Jakarta hingga ke kota-kota besar seperti Kota Serang, Bandung, Surabaya, Makassar, hingga Medan, gelombang kemarahan ini tidak hanya disebabkan oleh kebijakan yang merugikan.

Tetapi juga oleh sikap arogan dan ketidakpedulian yang ditunjukkan oleh para wakil rakyat terhadap kondisi masyarakat.

Aksi demo ini dimulai pada Senin (25/8/2025) di Gedung DPR/MPR, yang terkenal dengan simbolisme sejarahnya.

Di balik megahnya bangunan yang kini teridentifikasi dengan kursi kekuasaan tersebut, muncul protes besar-besaran yang melibatkan berbagai lapisan masyarakat mulai dari pelajar, mahasiswa, ojek online, hingga pedagang dan lapisan masyarakat lainnya.

Mereka berkumpul untuk menyuarakan kekecewaan terhadap para anggota DPR, yang semakin terbukti tidak sensitif terhadap situasi sosial-ekonomi yang semakin buruk.

Tuntutan awalnya sederhana namun krusial: penolakan terhadap kebijakan tunjangan mewah yang diberikan kepada anggota DPR, serta permintaan untuk transparansi gaji dan pembatalan rencana kenaikan tunjangan rumah dan gaji yang dianggap tidak realistis di tengah kesulitan hidup rakyat.

Namun, kekecewaan itu berubah menjadi amarah yang meluap ketika para demonstran dipukul mundur dengan kekuatan penuh oleh aparat keamanan.

Tak hanya itu, bentrokan antara polisi dan massa makin menguat saat gas air mata dan water cannon digunakan untuk membubarkan kerumunan.

DPR: Dari Wajah Sejarah ke Pusat Kontroversi

DPR/MPR bukanlah tempat asing bagi gelombang protes. Sejarah mencatat, gedung ini pernah menjadi saksi bisu reformasi 1998 yang menggulingkan Soeharto.

Kendati begitu, aksi protes tahun ini terasa lebih panas dan lebih memuncak, sebab kali ini bukan hanya kebijakan yang disorot, melainkan juga perilaku para anggota dewan yang dinilai semakin jauh dari aspirasi rakyat.

Anggota DPR yang seharusnya menjadi jembatan antara rakyat dan pemerintah, kini justru menjadi simbol ketidakpedulian dan keserakahan.

Kontroversi demi kontroversi mencuat, mulai dari tunjangan mewah yang tidak terbayangkan, rapat-rapat tertutup tanpa melibatkan publik, hingga pernyataan-pernyataan yang menambah perasaan terluka di hati masyarakat.

Salah satu insiden yang memicu kemarahan lebih lanjut adalah pernyataan kasar dari Sahroni, anggota DPR dari Partai NasDem.

Ketika desakan untuk membubarkan DPR semakin kuat, Sahroni malah mencapnya sebagai sikap keliru dan menganggap pandangan tersebut sebagai “mental orang tolol”.

Tak heran jika ungkapan ini memicu amarah rakyat yang merasa telah dihina. Pada akhirnya, Sahroni dicopot dari jabatannya sebagai Wakil Ketua Komisi III DPR, namun itu tak mengubah fakta bahwa perilaku seperti ini semakin memperburuk citra DPR di mata publik.

Tunjangan Mewah di Tengah Kemiskinan

Kemewahan yang dipertontonkan oleh sebagian besar anggota DPR justru semakin memperburuk citra mereka.

Fakta mengenai tunjangan beras sebesar Rp 12 juta per bulan dan tunjangan rumah sebesar Rp 50 juta membuat masyarakat bertanya-tanya: Apakah ini yang pantas diterima oleh wakil rakyat, sementara banyak keluarga di Indonesia yang hidup serba kekurangan?

Bahkan, ada yang tak malu-malu memamerkan kekayaan pribadi mereka. Sebut saja Eko Patrio, yang mengunggah video menunjukkan rumah pribadinya yang bernilai Rp 150 miliar di media sosial.

Dalam suasana ekonomi yang tertekan, perilaku seperti ini hanya menambah kemarahan masyarakat yang merasa dibodohi oleh wakil yang mereka pilih.

Wakil Rakyat atau Wakil Pengusaha?

Sebagian besar anggota DPR, yang seharusnya berjuang untuk kepentingan rakyat, malah kini terkesan lebih seperti pengusaha yang sibuk memperkaya diri sendiri.

Perilaku ini tidak hanya mengundang kemarahan, tetapi juga menambah rasa kecewa yang mendalam.

Masyarakat merasa bahwa para wakil rakyat yang mereka pilih kini lebih sibuk dengan kekayaan pribadi mereka daripada dengan kesejahteraan rakyat yang diwakilinya.

Di tengah semakin melemahnya ekonomi Indonesia, dengan inflasi yang terus meningkat dan daya beli masyarakat yang semakin menurun, kemarahan terhadap kebijakan DPR yang tidak pro-rakyat ini semakin memuncak.

Dalam situasi seperti ini, masyarakat mulai bertanya: Apa lagi yang harus mereka lakukan agar para wakil rakyat ini mendengarkan suara mereka? Sampai kapan DPR akan terus berperilaku seperti ini tanpa ada konsekuensi nyata?

Dalam konteks ini, demo yang berlangsung bukan hanya soal tuntutan kenaikan tunjangan yang tidak wajar, melainkan juga sebagai protes terhadap pola pikir dan perilaku yang semakin tidak peduli terhadap penderitaan rakyat.

Ke depan, akan sangat menarik untuk melihat apakah para anggota DPR ini akan belajar dari kemarahan yang semakin membesar, atau apakah mereka akan tetap terjebak dalam kenyamanan kekuasaan mereka yang terputus dari realitas kehidupan masyarakat Indonesia.

Editor: Abdul Hadi

Abdul Hadi

Back to top button