Opini

Memberangus Rentenir Berkedok Koperasi

Lintah darat, Rentenir, Riba telah memasyarakat dengan banyak tampilan: bank kredit keliling, bank tanggung renteng, bank emok dan sejenisnya.

OLEH: EKO SUPRIATNO *)

Meluasnya ‘bank keliling’ dengan variasi, wajah, kreasi bagaimanapun tampilannya, telah dibanggakan. Betapa terhormatnya rentenir dan lintah darat di negeri ini.

Bangsa yang konon berbudaya ini, penuh liputan ajaran agama untuk saling melegakan bukan saling menjerat, kini dalam dekap rayu rente berbalut hitung dagang malah ada yang berbalut agama atau syariah.

Berawal dari efek 1 ulama Banten dikeroyok dipukuli oleh 7 orang Kosipa Batak (bank Rentenir). Santri dan warga Pandeglang, Banten (sweeping kosipa batak) mencari pelaku pemukulan.

Sebuah video diduga bank keliling atau anggota koperasi simpan pinjam (kosipa) yang melakukan pemukulan ke nasabah viral di media sosial.

Dalam video berdurasi 24 detik itu diperlihatkan warga yang mengenakan sarung dipukuli sekitar lima orang. Warga tersebut terlihat dipukuli menggunakan helm. Pemukulan itu diduga terjadi di Jalan Serang-Pandeglang di Kecamatan Baros.

Ini pelajaran bahwa mayoritas masyarakat kecil kita belum mendapatkan haknya atas jaminan kesejahteraan dan terjebak oleh jahatnya rentenir atau lintah darat. Dalam konsep ekonomi itu sebenarnya membusukkan dari bawah, akar rumput.

Dalam kasus ini, kita tak usahlah bawa-bawa nama Batak, Jawa, atau suku lainnya. Jangan kita sentuh soal SARA. Yang harus kita lawan adalah rentenirnya, dan rentenir adalah rentenir.

Istilah Bank Keliling

Istilah bank keliling dulu lebih masyhur daripada debt collector. Bank keliling ini biasa berkeliling di kampung-kampung, menawarkan pinjaman dengan cepat dan tanpa administrasi yang ribet, cukup dengan jamiman fotokopi kartu tanda penduduk (KTP).

Penampilan bank keliling nyaris ‘mempunyai ciri khas’ sampai sekarang. Bersepeda motor dan berjaket kulit, bertas slempang, sambil membawa buku kecil daftar tagihan kepada para nasabahnya. Biasanya mereka lebih suka menemui kaum ibu yang bergerombol.

Kampung menjadi tujuan bank keliling beroperasi. Bank keliling ini menawarkan pinjaman uang dengan cara cepat dan tidak berbelit-belit tetapi dengan bunga yang mencekik leher.

Para ibu yang merasa butuh dana atau kesulitan keuangan dengan mudah menerima pinjaman yang berbunga tinggi ini dan dengan demikian masuk menjadi nasabah para ”dajal kredit” itu.

Bank keliling hanya mencari keuntungan dan membuat uangnya beranak pinak.

Mereka tak peduli dengan persoalan tolong-menolong atau orang yang kesusahan. Tak jarang Bank Keliling mengancam hingga menganiaya nasabah jika ada kredit macet. Kaum ibu yang terjerat utang ini sering kali tanpa persetujuan suami, dan berakibat menyalakan keributan di rumah tangga.

Bahkan imbas psikologi sosialnya ada yang sampai bunuh diri akibat tak mampu bayar bunga hutang.

Catatan Kritis

Menurut penulis, setidaknya ada 5 (Lima) catatan kritis dalam tulisan ‘Memberangus Rentenir Berkedok Koperasi’ ini:

Pertama, maraknya praktik bank kredit keliling, bank tanggung renteng, bank emok dan sejenisnya ini, disebabkan lemahnya regulasi baik dari sistem pengawasan hingga penegakan hukum terhadap perusahaan yang curang.

Kedua, faktor lain adalah karena masalah struktural berupa sulitnya akses keuangan dari lembaga formal, seperti bank, dalam menjawab kebutuhan real di masyarakat. Sehingga muncul bank keliling yang menawarkan proses mudah, cepat, dan dalam jumlah besar dan menjawab masyarakat, ditambah literasi keuangan yang belum baik dengan tidak mengerti dampak ditimbulkan.

Ketiga, kelalaian pribadi dengan menampilkan nomor induk kependudukan dan kartu keluarga secara sembarangan. Literasi keuangan yang rendah menyebabkan individu maupun rumah tangga meminjam secara berlebihan dan cenderung memilih kredit dengan biaya lebih tinggi. Akibatnya bank keliling menjadi salah satu penyumbang pertumbuhan utang rumah tangga di Indonesia.

Keempat, kebutuhan ekonomi serba sulit yang menyebabkan penghasilan tidak menentu. ditambah konsumsi yang berlebihan masyarakat.

Kelima, terakhir adalah kearifan sosial yang bergeser sehingga yang bersangkutan memilih pinjaman bank keliling dibandingkan dengan dari keluarga atau teman dekat.

Solusi Konkrit

Pertama, persoalan mindset. Yang dibutuhkan masyarakat hari ini sesungguhnya bukan sekadar larangan bank keliling masuk kampung, tetapi menumbuhkan semangat kreatif dan mengurangi gaya hidup berutang kepada para rentenir.

Penanaman pengertian harus sampai pada kesadaran sesungguhnya riba itu berbeda dengan jual beli yang berprinsip mendapat keuntungan dari pihak lain.

Utang piutang adalah perkara sosial ekonomi yang tak bisa dihindari namun akan lebih bijak jika bisa menghindari bank keliling.

Industri kreatif jangan hanya berpusat di kota tetapi juga harus digerakkan ke desa-desa, tentu harus disertai penempatan sumber daya manusia unggul di tengah masyarakat desa untuk menggerakkan mereka.

Kedua, perlunya inovasi program. Pemerintah tak boleh lupa mengadakan program padat karya untuk penduduk desa. Kalau pemerintah hanya terfokus pada program pemberian bantuan langsung yang sifatnya sementara, dalam jangka panjang hanya akan membentuk manusia Indonesia menjadi bermental pengemis.

Mereka hanya melulu ingin disubsidi, padahal uang bantuan yang diberikan itu kadang tidak digunakan untuk kebutuhan yang tepat. Sebagian membelanjakan uang bantuan itu untuk membeli hp dan gadget baru atau melunasi utang ke bank keliling.

Misalnya pemerintah kabupaten mencari solusi agar masyarakat bisa pinjam uang tanpa harus ada persyaratan jaminan. Akses permodalan dipermudah, namun bukan sekedar menghadirkan pihak ketiga.

Sebagai contoh, pemerintah daerah mengefektifkan Unit Pengelola Dana Bergulir (UPDB) untuk kesejahteraan masyarakatnya desa dengan cara meminjamkan tanpa ada jaminan. Bukankah anggaran pemkab besar, skema UPDB atau bagi hasil desa yang sumbernya dari APBD saja dibesarkan dan fokus pada persolan kemiskinan.

Ketiga, BI dan OJK perlu membangun sistem pengawasan dan penegakan aturan yang efektif untuk meningkatkan kepatuhan pelaku usaha.

Lalu, pemerintah perlu membangun dan memperkuat sistem informasi debitur yang terintegrasi untuk memastikan bahwa penyaluran kredit dan pinjaman dilakukan dengan memperhatikan riwayat utang serta kemampuan bayar nasabah untuk memitigasi risiko kredit macet dan gagal bayar.

Keempat, Diskop dan UKM harus ‘gasspolll’ melakukan penyisiran dan menginventarisir, koperasi mana saja yang benar-benar menjalankan fungsi koperasi dan koperasi manasaja yang melanggar ketentuan dalam perkoperasian.

Yuk! Lawan rentenir, mereka perusak masa depan ekonomi kita. Selamatkan umat! (**)

*) EKO SUPRIATNO tercatat sebagai Bidang Pendidikan dan Kebudayaan Gerakan Rakyat Indonesia Bersatu (GRIB) Jaya DPC Pandeglang, Bidang Media Publikasi Perkumpulan Urang Banten (PUB) Kabupaten Pandeglang, Dosen Fakultas Hukum dan Sosial UNMA Banten.

Iman NR

Back to top button