Politik praktis Pilkada di Banten mulai menggeliat. Setelah suatu kegiatan di Untirta bicara tentang kepemimpinan perempuan, aktivis di UIN Sultan Maulana Hassanudin menyebut soal korupsi dan dinasti politik.
OLEH: HUDJOLLY *)
Media pun tidak tanggung-tanggung menyemarakan isu sentral dalam diskusi itu sebagai headline dengan font besar: Dinasti Politik.
Memang sebagai wacana diskusi publik tema dinasti politik dan korupsi plus tema kepemimpinan berdasar jenis kelamin nampak masih menarik di Banten.
Tetapi jika mau objektif, cara pandang terhadap dinasti politik, korupsi, kepemimpinan perempuan justru menempatkan publik Banten pada stagnasi wacana diskusi yang itu-itu saja. Karena tiga isu tersebut jelas mengarah pada satu kelompok politik tertentu.
Label dinasti politik paling potensial digoreng sebagai peluru politik untuk black campaign. Tema seputar ini bakal menjadi bahan-bahan utama diskusi kelompok politik khalayak.
Di kelompok lain, ada label kepemimpinan gender yang dinarasikan sebagai kehebatan. Tidak tanggung-tanggung, institusi selevel universitas dan elitnya langsung terjun main di isu ini. Menggelikan sih.
Tentang label korupsi, tentu masih jadi bahasan menarik yang mudah diarahkan ke pihak tertentu. Padahal kisah korupsi di Banten lebih banyak menjerat ASN, pejabat pengadaan terkait pengadaan tanah dan sarpras pendidikan.
Data di Pengadilan Tinggi Banten, sepanjang 2021 ada 35 perkara korupsi di Banten. Bayangkan berapa angka lima tahun ke belakang.
Pemainnya tidak acak tetapi pola fraud korupsi itu dapat diamati, soal kelindan ekonomi-politik di tingkat lokal.
Pemain tidak acak karena yang ada di “segmen” ini para pelaksana teknis urusan pengadaan barang dan jasa, seperti pejabat pembuat komitmen, bendahara, penyedia barang dan jasa plus para makelar yang memperantarai praktik fraud itu.
Gejala ini menandakan praktik fraud yang selama ini berlangsung di Banten tidak bermuara di kepala daerah.
Persoalan korupsi di Banten tidak bisa dipungkiri merupakan kegentingan yang musti diurai sampai pada pola terbentuknya korupsi sektor pemerintahan dan bagaimana jejaring ekonomi politik lokal menyuburkan situasi koruptif.
Jadi, persoalan ancaman praktik korupsi bukan pada tingkat kelompok apalagi orang per orang. APBD Banten bagaikan kue renyah yang dapat dijamah melalui selingkuh rent seeker dan pengelola kebijakan teknis.
Selingkuh ini boleh jadi disusun agar bisa mengkaver logistik politisasi birokrasi yang belum banyak diulas-bongkar oleh para pemerhati.
Mencermati fenomena korupsi yang terjadi di Banten, mengarah pada pola yang sama dan berulang, yang paling seksi soal pengadaan tanah dan belanja sarana prasarana bidang pendidikan.
Bagaimana dengan persoalan kepemimpinan gender?.Saya menghindari penggunaan kata “kepemimpinan perempuan” karena secara hermeneutic penggunaan frasa itu justru menggugah ingatan bahwa perempuan bukanlah pemimpin.
Faktanya, kepemimpinan politik adalah kemampuan mengorganisasikan peran, tujuan, konflik dan fungsi. Kepemimpinan tidak melekat pada gender tetapi pada kepiawaian, bakat, dan satu lagi: komitmen yang kuat terhadap visi.
Keterkejutan pada perempuan yang memimpin punya sejarah panjang dengan kepemimpinan ala Eropa (kolonial) yang terbawa ke negeri jajahan.
Hingga abad 19 awal, di gilda-gilda hak perempuan di Eropa tidak boleh melebih setengah hak gaji kaum pria.
Bolehlah keterkejutan itu disebut nerbula poskolonial yang mengendap di kepala lalu susah move on, yang diperdebatkan soal gender dengan dalil fallacy: pengarus utamaan perempuan.
Secara historic, riwayat di nusantara ini telah menyuguhkan kepemimpinan hebat dari Keumala Hayati, Laksamana Wanita pemimpin armada laut Aceh yang menghalau portugis di laut.
Kita punya kisah kepemimpinan Cut Nyak Dien, Pocut Merah, Dewi Sartika, Nyi Ageng Serang, dan berpuluh pemimpin perempuan di medan politik diplomasi sampai urusan strategi perang.
Menyoal kepemimpinan perempuan itu seperti membincangkan rasa manis pada gula. Ya, hal lazim yang tidak perlu diperdebatkan. Di tingkat menteri sampai tingkat kepala daerah sudah banyak kok dipegang perempuan, dan mereka berhasil.
Kepemimpinan adalah kepemimpinan, mau lelaki ataupun perempuan itu sama saja yang membedakan tentu kepiawaian memimpin.
Bicara tentang dinasti politik barulah agak seru. Karena bahasan ini di Banten lebih banyak mengandung unsur mitos politik, kesalahpahaman dan mudah digunakan sebagai sarana membangun black campaign. Usaha paling simple untuk membunuh karakter seorang aktor politik.
Dinasti politik itu sendiri suatu system reproduksi kekuasaan yang dilakukan secara primitive, mengandalkan darah keturunan dari beberapa orang.
Praktik dinasti politik mengasumsikan adanya praktik politik minus proses politik yang panjang nan kompleks. Dalam dinasti politik itu tidak ada individu yang memiliki kehendak, free will semua driven by dinasti. Hal semacam itu jelas tidak diketemukan di Banten.
Dinasti politik berarti melihat fenomena politik dengan paradigm bahwa sikluas kekuasan bergantung pada orang per orang, bukan pada system.
Ketidakpercayaan pada system yang di dalamnya ada kemerdekaan orang untuk memilih, berkontentasi dan ada pula institusi politik yang saling berdialektik.
Di Banten, kemerdekaan individual dalam berpolitik, baik untuk memilih ataupun untuk tidak memilih masih terjamin penuh secara cultural maupun oleh konstitusi.
Melihat skala politik lokal, terdapat banyak jenis kuasa seperti lokal strongman, kelompok invisible hand alias tidak nampak di permukaan tetapi pengaruhnya kuat dan nyata. Ada pula kelompok power cube yang menjadi simpul-simpul kuasa di masyarakat. Tiga jenis ini memiliki manfaat positif.
Dalam konstelasi relasi politik pusat-daerah, ketika misalnya muncul satu kelompok keluarga yang dikenal luas dan berpengaruh di masyarakat maka akan menjelma sebagai keunggulan relasional. Sebab dominasi politik pusat akan tertangguhkan dengan adanya local strongman, invisible hand ataupun power cube yang berjejaring.
Kita ingat di era orde baru ketika dominasi politik pusat, tidak bisa disanggah oleh daerah. Siapapun yang dipasang sebagai pemimpin, masyarakat di daerah itu harus menerima.
Praktik sentralisasi pemerintahan memang telah berakhir berganti desentralisasi. Tetapi relasi politik pusat-daerah tidak banyak berubah, politik daerah harus mendapat restu dari pusat. Apalagi jika strategi koalisi permanen bakal diterapkan.
Konfigurasi politik daerah harus equivalent dengan formasi pusat. Dalam konteks ini, kehadiran orang kuat di tingkat lokal membuka ruang bargain, bahwa konfigurasi politik boleh jadi sama tetapi aktor politik tetap dapat dimunculkan dari bawah.
Konsep koalisi permanen di pusat menandakan bahwa mesin politik akan lebih mengambil peran dibandingkan dengan kerja politik organis. Mesin partai menentukan proses rekruitmen, pasangan kontestan pilkada dan semua itu terukur pasti.
Jika keadaan politik di daerah tidak terdapat orang kuat lokal, maka koalisi permanen berpotensi mendatangkan aktor politik untuk mengatur kontelasi politik di daerah-daerah.
Fenomena penunjukan penjabat kepala daerah sementara oleh pemerintah pusat di daerah yeng menjelang Pilkada telah menandai kembalinya dominasi politik pusat atas politik daerah.
Penjabat daerah itu harus mengarahkan loyalitasnya pada pusat dan melayani kehendak pusat daripada memperhatikan pemajuan, efesiensi anggaran di daerah.
Di Banten, kehadiran local strongman yang mengarah pada keluarga tertentu memberi angin segar karena dapat berperan sebagai penyeimbang dari dari hasrat kuasa pusat untuk lebih mengkontrol, menentukan tiket calon kepala-kepala daerah.
Jika menghendaki suasana kontestasi yang lebih fair tentu saja publik Banten harus menggubah paradigm dari kebiasaan dimobillisasi untuk mendukung para aktor politik, berubah menjadi partisipasi mengontrol perilaku para aktor politik.
Maka jangan lagi mau di mobilisasi dalam politik, namun bangunlah untuk berpartisipasi dalam politik. Untuk Banten yang lebih baik dan semakin baik. (**)
*) Penulis adalah pendiri LingkaR Studi Masyarakat dan Hukum (RUSH) dan Pengajar Filsasat Politik PPKN Untirta