Edukasi

Sekolah Pinggir Jalan di Serang: Ketika Pendidikan Tak Lagi Milik Kaum Berstatus

Sekelompok mahasiswa menggelar sekolah pinggir jalan (SPJ) gratis di sudut jalan Ciceri, Kota Serang. Mereka berkumpul dengan tumpukan buku, lembar kertas bergambar dan setumpuk baju bekas yang masih layak pakai.

Aksi para mahasiswa ini bukan sedang berdagang, bukan pula tengah mengerjakan tugas dari kampus. Tetapi mereka sedang resah terhadap sistem pendidikan yang semakin elitis dan mereka mewujudkan ruang belajar alternatif.

Adam, salah satu penggagas Sekolah Pinggir Jalan (SPJ) Gratis, tak ragu melontarkan kritiknya bahwa sistem pendidikan saat ini hanya memprioritaskan mereka yang mampu secara ekonomi, seolah-olah kecerdasan dan kreativitas harus tunduk pada status sosial.

“Kami sudah capek menunggu perubahan dari pemerintah. Berapa kali demonstrasi, hasilnya nihil. Suara kami tak pernah didengar, jadi kami buat jalan sendiri: SPJ”, ungkap Adam kepada MediaBanten.Com, Jumat (2/5/2025).

SPJ bukan sekadar tempat membaca buku atau belajar mengeja. Di sini, anak-anak bisa bebas menggambar, berekspresi, bahkan memilih sendiri apa yang ingin mereka pelajari. Tak ada kurikulum baku, tak ada aturan kaku.

Jika ada yang lebih tertarik menggambar daripada membaca, mereka diberi ruang untuk itu. Selain itu, pakaian bekas yang masih layak juga disediakan untuk mereka yang membutuhkan.

“Sesuai minat anak-anak. Kalau ada yang suka menggambar, silakan. Kalau ingin membaca, kami sediakan buku. Kami cuma ingin mereka tetap belajar, tanpa harus dibatasi dengan institusi dan birokrasi pendidikan,” tambah Adam.

Di tempat yang sama, Sabil Kautsar salah satu relawan lainnya, berharap anak-anak bisa terus tumbuh bersama mereka. Ia ingin SPJ menjadi tempat di mana mereka tak sekadar belajar, tetapi juga menemukan kesenangan dalam belajar, meskipun hal yang dipelajari terkesan sederhana.

“Yang penting mereka tetap belajar. Nggak perlu muluk-muluk, inginnya mereka belajar sesuai keinginan mereka meskipun sepele”, katanya.

Lebih jauh, Sabil menuturkan bahwa semua karya yang dihasilkan anak-anak di SPJ akan mereka kumpulkan.

Suatu hari, ia berharap karya-karya itu bisa dipamerkan ke khalayak luas, sebagai bukti bahwa kreativitas tidak harus dibatasi oleh institusi pendidikan. Tak peduli di mana pun seseorang atau anak berhak untuk belajar.

“Kami cuma sediakan wadah buat mereka berekspresi. Harapannya, karya mereka ini bisa kami pamerkan, entah di mana pun itu,” tutupnya.

Sabil menilai, institusi pendidikan belakangan berubah menjadi industri yang cenderung berorientasi pada keuntungan. Industri tersebut bernama sekolah. Tak hanya sekolah swasta, bahkan sekolah negeri juga masih membebani siswa dengan alasan iuran dari komite sekolah berdasar kesepatan wali siswa.

“Ini memang ironis ditengah kampanye sekolah gratis yang digaungkan oleh pemerintah pusat dan daerah. Tapi pada kenyataannya seluruh iuran tak lebih hanya untuk keuntungan oknum-oknum institusi tersebut,” tandasnya.

Seraya menambahkan, bahwa sekolah kerapkali tidak mampu memaknai hakikat pendidikan yang merupakan tanggung jawab institusi dan pendidik. “Begitu banyak institusi pendidikan hari ini, memandang siswa dan orangtua siswa dengan hukum ekonomi,” tutupnya. (Budi Wahyu Iskandar)

Iman NR

Back to top button