Ditulis Oleh: IMAN NUR ROSYADI *)
Colocation server adalah salah satu layanan dari perusahan pengelola data center, yaitu layanan penitipan server. Perusahaan pengelola data center menyediakan keamanan fisik (bukan keamanan data), kesetabilan listrik, flooring, UPS, power generator, air temperature control, kestabilan akses internet, CCTV dan personel keamanan fisik.
Biasanya colocation server mencantumkan fitur layanan dalam penawarannya. Layanannya antara lain case (casing) yang biasanya ukuran rack untuk server yang disimbolkan dengan U1, U2, U3, U4 hingga Tower dan racknya. Power atau daya listrik dalam satuan watt dan umumnya mulai dari 400 watt. IP atau internet protocol address, yaitu jumlah IP addres yang disediakan.
Kemudian, jalur internet yang digunakan. Untuk Indonesia, digunakan kode IIX atau Indonesia Internet Exchange yang berarti dengan jalur ini pengguna tidak perlu berputar-putar ke luar negeri jika tujuannya dari dan ke di Indonesia. Jalur lain yang ditawarkan biasanya berkode INT BW yang berarti jalur internet untuk internasional. Fasilitas lainnya biasanya ditawarkan setup (umumnya free) dan tarif sewa.
Tarif jasa penitipan server itu sangat bervariasi. Jetdino memberikan harga mulai dari Rp1 juta per bulan untuk U1, Rp1,4 juta untuk U2, Rp1,8 juta untuk U4, penyewaan ¼ rack hingga full rack tidak disebutkan harganya hanya diberitahu agar mengontak penyedia jasa itu. Colocation DapurHosting mulai dari Rp950.000 hingga Rp1,35 juta per bulan untuk server jenis tower. TelkomHosting menyediakan tarif Rp1,25 juta untuk 2U hingga Rp6,7 juta per bulan untuk full rack per bulan. TelkomHosting mengenakan biaya setup Rp750.000.
Moratelindo, broadband company milik PT Mora Telematika Indonesia di Graha 9, Jalan Panataran 9 Jakarta tidak mencantum tarif sewa colocation. Moratelindo mencantum data centernya di Medan, Batam, Palembang, Jakarta, Surabaya dan Bali. Konsumen yang berminat untuk menggunakan jasa ini diminta untuk mengontak perusahaan ini ke nomor yang tercantum. Hal yang sama terjadi pada Cybermedia.co.id yang mencantumkan alamat di Gedung Cyber lt 5, Jalan Kuningan Barat No.8, Jakarta Pusat. Salah satu layanannya adalah colocation server, namun tidak mencantumkan tarif colocation server. Pada halaman webnya, disebutkan, CyberMedia lebih menitikberatkan pada layanan solusi membangun aplikasi berbasis web. Pada halaman portofolionya, lebih 10 aplikasi milik Pemprov Banten ada di sini.
Pengelola data center akan menyimpan server-server dari para pelanggan itu dalam sebuah rack server. Rack ini khusus dirancang untuk menempatkan server berserta peralatan jaringan seperti hub, switch dan lainnya. Umumnya, rack server di data center berupa vertikal. Ukurannya sudah disepakati disimbilkan dalam bentuk U. Simbol U1 berarti server itu berukuran 1,75.
Sedangkan harga server bervariasi juga, tergantung merek dan ukurannya (U). Misalnya server IBM system X3250 M4 rackmount U1 dijual dengan harga Rp21,8 juta. Server U1 merek Dell R230 dengan kapasitas 1 terabyte (TB) berharga Rp19,9 juta. Merek Asus dengan berbagai ukuran dan tergantung seri berkisar Rp25 juta hingga Rp120 juta.
Perdebatan Seru
Colocation server menjadi perdebatan seru di kalangan pemerhati teknologi informasi dan komunikasi (TIK) saat berbicara penerapan TIK di lingkungan pemerintahan, terutama pemerintah daerah seperti pemerintah provinsi (Pemprov), pemerintah kota (Pemkot) dan pemerintah kabupaten (Pemkab). Sebab colocation server menjadi model yang ditempuh pejabat yang bertanggungjawab soal E-Government di lingkungan pemerintahan. Dalih yang dikemukakan sangat logis, yaitu pemerintah daerah tidak mampu membangun data center dan tidak mampu menyediakan anggaran untuk keberlangsungan operasional data center tersebut, maka colocation server merupakan pilihannya.
Perdebatan antar pemerhati dalam berbagai kesempatan bertemu informal atau acara resmi bertambah seru ketika disodorkan fakta-fakta yang mengejutkan. Begitu banyak daerah yang memilih model colocation server, tetapi pengelolaan dan “penguasaan” server itu diserahkan kepada pihak ketiga. Bahkan ada registrat domain pemerintahan atas nama perorangan dan emailnya adalah perorangan. Aplikasi-aplikasnya pun “dikuasai” pihak ketiga, bukan dikelola langsung oleh lembaga yang bertanggung jawab menyelenggarakan TIK di lingkungan pemerintahan.
Tentu saja ini mengejutkan. Para pemerhati tiba-tiba membayangkan data milik negara (pemerintah daerah) berada di pihak ketiga. Belum lagi sistem pemerintahan yang berbasis TIK dikuasai pihak ketiga. Secara teknis dan ekstrem, mudah sekali “menyabot” dan memanfaatkan seluruh data dan operasional penyelenggaraan pemerintahan di daerah yang memiliki model seperti ini. Tiba-tiba saja membayangkan penyelenggaraan pemerintahan daerah menjadi lumpuh, tak berdaya.
Para pemerhati TIK tidak mengharamkan model colocation server untuk penerapan TIK di lingkungan pemerintahan, terutama pemerintah daerah yang anggarannya sangat minim. Tetapi model colocation server itu adalah langsung antara lembaga yang bertanggung jawab TIK dengan pengelola data center, bukan melalui pihak ketiga. Aplikasi-aplikasi yang dibuat juga boleh saja dipihakketigakan, tetapi aplikasi itu harus utuh diserahkan dan dikelola lembaga tersebut. Setelah operasional, pihak ketiga itu tidak bisa masuk dan menguasai sistem dan aplikasi tersebut.
Selain itu, lokasi server yang dititipkan di data center bisa dijangkau secara cepat oleh aparatur sipil negara (ASN), jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan pada server. Bisa dibayangkan, jika lokasi server ada di Surabaya, Batam atau Bali, harus berapa lama ASN harus datang dan memperbaiki hal tersebut. Atau betapa repotnya ketika akan memindahkan lokasi server dari data center yang satu ke data center yang lainnya.
Banten Satu Data
Gubernur Banten, Wahidin Halim dan Wakil Gubernur Banten, Andika Hazrumy memancangkan Banten Satu Data untuk membangun pemerintahan elektronik atau digital (E-Government) atau penyelenggaraan pemerintahan berbasis TIK. Dalam konteks itu, colocation server dan pengelolaan yang dipihakketigakan sangat tidak cocok dengan Banten Satu Data. Mengapa begitu?
Banten Satu Data membutuhkan intranet (bukan internet) untuk mengoperasionalkan aplikasi-aplikas yang bersifat internal pemerintahan seperti Sistem Informasi Kepegawaian (Simpeg), Simral, E-Office dan sebagainya. Aplikasi yang bersifat internal itu tidak perlu dijalankan melalui internet, tetapi intranet melalui jaringan fiber optik (FO) yang membentuk local area network (LAN) antara Organisasi Perangkat Daerah (OPD). LAN itu dibangun di area Kawasan Pusat Pemerintahan Provinsi Banten (KP3B) di Curug yang luasnya berkisar 60 hektar.
Banten Satu Data membutuhkan data center, bukan ruangan server (room server). Sebab pelaksanaan pemerintahan berbasis TIK akan menghasilkan Big Data seperti yang dilansir Wakil Gubenur Banten, Andika Hazrumy ketika menutup acara Forum Komunikasi Mitra Praja Utama (FK-MPU) di Bandarlampung, belum lama ini. Big Data membutuhkan penanganan khusus untuk dimanfaatkan secara maksimal dan disodorkan sebagai bahan masukan bagi kepala daerah untuk mengambil keputusan yang akurat dalam berbagai persoalan.
Banten Satu Data menjadi sumber daya untuk menyelenggarakan Command Center, menerapkan Smart Province serta menopang Smart City yang diselenggarakan oleh pemerintah kabupaten dan kota di Banten. Banten Satu Data juga bisa menjadi pendorong bagi penyelenggaraan pemerintahan berbasis TIK di kabupaten dan kota.
Dengan anggaran pendapatan belanja daerah (APBD) Banten yang berbunyi triliun rupiah per tahun, sesungguh tidak alasan bagi Pemprov Banten untuk berdalih bahwa pembangunan data center dan jaringan FO untuk LAN KP3B sangat mahal. Sebab pengambil keputusan tidak boleh hanya mempertimbangkan input (biaya modal / investasi TIK), tetapi harus mempertimbangkan output dan outcome berupa loncatan kinerja, kesejahteraan ASN, pelayanan dan pemabangunan publik yang jauh lebih besar daripada biaya untuk internal pemerintah.
Ambil contoh, penererapan e-Office. Saat berkerja di kantor, 6.000 ASN tidak perlu menggunakan kertas untu membuat nota dinas, disposisi, telaah staf, surat-menyurat di lingkungan internal, membuat KAK, membuat proposal dan seterusnya. Selama ini biaya-biaya ATK jika dijumlahkan untuk seluruh OPD, maka bernilai ratusan miliar. Denga penerpatan e-Office, bisa jadi hanya dibutuhkan 20 persen dari yang sekarang. Tugas-tugas ASN itu dikerjakan melalui e-Office yang hasilnya disimpan dalam sebuah server di Data Center Banten Satu Data. Ketika butuh, file itu tinggal “dipanggil” melalui Intranet berjaringan FO.
Padal akhirnya, dalam mewujudkan hal itu, kepala daerah (Gubernur dan Wakil Gubernur) harus pandai menempatkan pejabat yang memahami tugas, fungsi dan kewenangannya dalam menjalankan penerapan pemerintahan berbasis TIK. Semoga. (*)
*) IMAN NUR ROSYADI adalah pemerhati TIK dan pengelola MediaBanten.Com