Dinilai Sesatkan Publik, Kadis PRKP Diminta Tonton Video Kegiatan Baru Kawasan Banten Lama
Ketua Badak Banten, Firdaus Gozali membantah pernyatan Kepala Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Pemukiman (PRKP), Moh Yanuar yang menyebutkan tidak ada kegiatan baru dalam revitalisasi Kawasan Banten Lama. Pernyataan Kadis PRKP itu dinilai telah menyesatkan publik.
“Bapak Yanuar silah tonton video yang kami buat, terbukti pernyataan itu tidak benar. Begitu banyak kegiatan dan bangunan baru yang tidak sesuai dengan Pasal 80 ayat 1 dan 2 Undang-undang No.11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya,” kata Firdaus Gozali, Ketua Badak Banten dalam siaran persnya yang diterima MediaBanten.Com, Selasa (11/9/2018).
Firdaus menilai, perencanaan yang dibuat dinilai tidak “matang”, tidak berkesinambungan dan hanya bersifat kausal. Terbukti, relokasi para pedagang yang berada di sekitar Masjid Agung Banten Lama ke lokasi sementara. “Kami menilai, pemindahan itu semrawut dan terkesan tak memiliki perencanaan yang baik,” ujarnya.
Menurut data yang diperoleh Badak Banten, jumlah pedagang kaki lima itu sekitar 800 orang. Namun tempat penampungan sementara pedagang itu hanya mampu mengakomodir 600 perdagang. Sisanya, sekitar 200 pedagang hingga kini masih berdagang di sektiar masjid, meski sudah ditertibkan oleh tim.
Mardiyah, salah satu pedagang bakso, gado-gado dan cemilannya membenarkan pernyataan Ketua Badak Banten. “Saya dan ibu saya mendapatkan nomor untuk pindah ke tempat relokasi. Tetapi saya sudah nyari-nyari kios. Ada nomor kios yang kami terima, tetapi kiosnya sudah ada yang menempati. Jadi kami enggak dapat kios Pak. Saya ini berjualan di sini sudah lama, masak di tempat penampungan itu banyak orang baru,” kata Mardiyah.
Baca: Badak Banten: Langgar UU Cagar Budaya, Ada Bangunan Baru Di Zona Inti Kawasan Banten Lama
Sementara itu, toko dan kios permanen yang dibangun dekat benda cagar budaya Gedung Ijo malah dibiarkan kosong dan tidak berpenghuni. Bangunan itu di beberapa bagian sudah terlihat rusak. Jalan pun baru dibangun sebagian. Tidak ada fasilitas listrik, air dan sebagainya di tempat ini.
Revitalisasi bertujuan untuk menumbuhkan kembali nilai-nilai penting dari cagar budaya dengan penyesuaian baru yang tidak bertentangan dengan prinsip pelestarian dan nilai budaya masyarakat. Cagar budaya yang dimaksud jika sudah tidak sesuai dengan sebagaimana bentuk dan fungsi aslinya sehingga bertentangan dengan prinsip pelestarian dan kebudayaan, akan menciptakan nilai-nilai baru yang tidak seharusnya. Nilai baru tersebut juga dapat menghilangkan nilai asli yang dimilki cagar budaya tersebut.
Revitalisasi Bukan Membangun Yang Baru
Sekali lagi, Firdaus Gozali mengingatkan, Revitalisasi sebagai upaya untuk memvitalkan kembali suatu kawasan atau bagian kawasan yang dulunya pernah vital/hidup, akan tetapi kemudian mengalami kemunduran/degradasi. Untuk mengembalikan fungsi itu, dilakukan revitalisasi yang mencakup perbaikan aspek fisik, aspek ekonomi dan aspek sosial. Pendekatan revitalisasi harus mampu mengenali dan memanfaatkan potensi lingkungan (sejarah, makna, keunikan lokasi dan citra tempat).
Revitalisasi pada situs dan kawasan cagar budaya berguna untuk memunculkan potensinya dengan memperhatikan tata ruang, tata letak, fungsi sosial, dan/atau lansekap budaya asli berdasarkan kajian. “Nah, apakah Pemprov Banten sudah memiliki kajian tentang zonasi sebagai dasar revitalisasi? Kajian itu menjadi dasar untuk membuat peraturan daerah (Perda) atau peraturan gubenur (Pergub). Ini kan terbalik-balik. Tiba-tiba muncul SK Gubernur tentang zonasi dan SK Gubernur tentang tim revitalisasi,” katanya.
Menurut Firdau, revitalisasi ini dilakukan dengan menata kembali fungsi ruang, nilai budaya, dan penguatan informasi tentang cagar budaya, sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang cagar budaya pada pasal 80 ayat (1) dan (2). Mengikuti prinsip pengembangan pada umumnya, revitalisasi harus memberi manfaat untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Dalam Revitalisasi yang menjadi landasan utama untuk dapat dilakukan revitalisasi adalah kesiapan cagar budaya itu sendiri untuk direvitalisasi.
“Dibutuhkan penanganan dan pengamatan terhadap kesiapannya, jika belum siap maka akan dilakukan tahap pendahuluan, seperti konservasi atau pemugaran jika diperlukan. Jika mengatakan siap, apa buktinya kalau Pemprov sudah siap,” ujarnya.
Kegiatan konservasi bisa berbentuk preservasi dan pada saat yang sama melakukan pembangunan atau pengembangan, restorasi, replikasi, reskontruksi, revitalisasi dan atau penggunaan untuk fungsi baru suatu aset masa lalu. Untuk melakukannya perlu upaya lintas sektoral, multidimensi dan disiplin serta berkelanjutan. Kegiatan revitalisasi dapat dilakukan dari aspek keunikan lokasi dan tempat bersejarah. Demikian juga, revitalisasi juga dilakukan dalam rangka untuk mengubah citra suatu kawasan.
Bangunan cagar budaya dalam tindakan revitalisasi membutuhkan suatu kajian fisik. Kajian fisik ini yang dimaksud ialah mempelajari tentang fisik yang terlihat maupun yang memiliki makna sosial di dalam daerah tertentu, fungsinya, sejarah, atau bahkan dari namanya. Hal ini akan mengulas tentang persoalan bentuk yang terlihat dan diambil bahwa dalam bentuk desain yang sebenarnya harus digunakan untuk memperkuat makna dan tidak meniadakan sesuatu makna yang sudah ada sebelumnya.
Firdau mengingatkan, sebagai sebuah kegiatan yang sangat kompleks, revitalisasi terjadi melalui beberapa tahapan dan membutuhkan kurun waktu tertentu serta meliputi hal-hal seperti intervensi fisik, Rehabilitasi ekonomi dan Revitalisasi sosial/institusional. Intervensi Fisik erat kaitannya dengan kondisi visual kawasan khususnya dalam menarik kegiatan dan pengunjung, intervensi fisik ini perlu dilakukan. Intervensi fisik mengawali kegiatan fisik revitalisasi dan dilakukan secara bertahap, meliputi perbaikan dan peningkatan kualitas dan kondisi fisik bangunan, tata hijau, sistem penghubung, system tanda/reklame dan ruang terbuka kawasan (urban realm). Isu lingkungan (environmental sustainability) pun menjadi penting, sehingga intervensi fisik pun sudah semestinya memperhatikan konteks lingkungan. Perencanaan fisik tetap harus dilandasi pemikiran jangka panjang.
Rehabilitasi ekonomi merupakan upaya mengakomodasi kegiatan ekonomi informal dan formal (local economic development), sehingga mampu memberikan nilai tambah bagi kawasan. Revitalisasi yang diawali dengan proses peremajaan harus mendukung proses rehabilitasi kegiatan ekonomi. Dalam konteks revitalisasi perlu dikembangkan fungsi campuran yang bisa mendorong terjadinya aktivitas ekonomi dan sosial (vitalitas baru).
Revitalisasi sebuah bangunan akan terukur bila mampu menciptakan lingkungan yang menarik (interesting), jadi bukan sekedar membuat beautiful place. Kegiatan tersebut harus berdampak positif serta dapat meningkatkan dinamika dan kehidupan sosial masyarakat/warga (public realms). Kegiatan perancangan dan pembangunan situs/kawasan untuk menciptakan lingkungan sosial yang berjati diri (place making) dan hal ini pun selanjutnya perlu didukung oleh suatu pengembangan institusi yang baik.
“Pada dasarnya revitalisasi merupakan tata cara pengelolaan atau penanganan terhadap cagar budaya secara jangka panjang. Mulai dari permasalahan keterawatan hingga pemanfaatan yang memberi kesejahteraan kepada masyarakat. Selain itu, diperoleh data-data dampak potensial terhadap pengembangan (adaptasi dan revitalisasi) sebuah Cagar Budaya sehingga diperoleh rekomendasi agar setiap upaya pengembangan Cagar Budaya dapat terkendali dan sesuai aturan Undang-Undang,” katanya. (Siaran Pers Badak Banten)