Greenpeace: Hati-hati Solusi Palsu Soal Penanganan Sampah Kemasan Plastik
Sebuah laporan yang diinisiasi oleh Greenpeace Amerika Serikat (AS) berjudul Throwing Away the Future: How Companies Still Have It Wrong on Plastic Pollution “Solutions” mendorong konsumen untuk skeptis terhadap solusi yang digaungkan oleh perusahaan multinasional demi menangani krisis sampah plastik.
Pasalnya, perusahaan khususnya yang memproduksi barang kebutuhan sehari-hari (fast moving consumer goods atau FMCG) hanya memberikan solusi palsu, seperti mengubah kemasan produk dari plastik sekali pakai ke kertas, bioplastik, maupun daur ulang kimiawi. Tindakan mereka tidak menyentuh solusi yang seharusnya dijalankan yakni konsep isi ulang (refill) dan penggunaan kembali (reuse).
“Seperti yang diumumkan Nestlé baru-baru ini. Mereka mengenalkan sedotan berbahan kertas, ini adalah kebijakan yang sesat karena bisa memicu deforestasi,” ujar Muharram Atha Rasyadi, Jurukampanye Urban Greenpeace Indonesia dalam siaran pers yang diterima MediaBanten.Com, Selasa (1/10/2019).
“Perusahaan seharusnya bisa melakukan upaya lebih baik demi mengurai krisis plastik, dan tindakan nyata harus dilakukan segera mengingat Nestlé termasuk salah satu produsen yang sampah plastiknya banyak ditemukan berdasarkan kegiatan audit merek tahun lalu,” katanya.
Baca:
- Mbok Jumi, Pemungut Sampah Plastik Di Pantai Muara Lebak
- Dicari Pengganti Kantong Plastik Yang “Ramah” Usaha
- Wagub: Banten Akan Terbitkan Perda Pengurangan Penggunaan Plastik
Kajian Ilmiah
“Terlepas dari meningkatnya kajian ilmiah tentang dampak sampah plastik terhadap lingkungan dan masyarakat yang sulit dipulihkan, produksi plastik diproyeksikan tetap meningkat secara signifikan di tahun-tahun mendatang,” kata Spesialis Riset Senior Greenpeace AS Ivy Schlegel, yang menulis laporan tersebut.
“Produsen barang konsumen multinasional terus mempromosikan yang mereka sebut sebagai alternatif berkelanjutan yang justru akan memberikan tekanan besar pada sumber daya alam seperti hutan dan lahan pertanian, yang telah dieksploitasi secara berlebihan.”
Banyak perusahaan FMCG berskala global, termasuk Nestlé, Unilever, PepsiCo, dan Procter & Gamble, telah mengisyaratkan niat mereka untuk membuat kemasan plastik lebih dapat didaur ulang, dapat digunakan kembali, lebih mudah terurai, atau dari konten daur ulang. Tapi di sisi lain, mereka berniat untuk melanjutkan, dan bahkan meningkatkan, pembuatan produk yang dibungkus dengan plastik sekali pakai atau kemasan sekali pakai yang terbuat dari bahan lain.
Menurut Yayasan Ellen MacArthur seperti termuat dalam laporan, sampai saat ini, tidak ada perusahaan FMCG besar yang berkomitmen mengurangi volume total atau jumlah unit kemasan sekali pakai yang dijualnya, atau untuk berinvestasi secara signifikan dalam sistem pengiriman yang dapat digunakan kembali dan diisi ulang, dan hanya segelintir perusahaan yang sudah mengungkapkan jejak plastik mereka.
Laporan juga mengemukan, perusahaan berinvestasi dalam teknologi “daur ulang” dengan bahan kimia yang berisiko, yang menawarkan harapan palsu dan tetap tidak mengubah permintaan untuk kemasan plastik. Perusahaan telah mencoba menutupi dampak sebenarnya dari kemasan dengan istilah pemasaran yang membingungkan, bahasa keberlanjutan, dan aliansi industri, dengan harapan konsumen akan terus percaya janji palsu bahwa kemasan plastik dapat ditingkatkan. Klaim kemasan produk mudah terurai dan bermanfaat bagi tanah, dapat terurai secara alami, atau terbuat dari tanaman, tidak berarti kemasan baik untuk lingkungan atau akan mengurangi polusi plastik.
Krisis Polusi Plastik
“Karena kekhawatiran publik tentang krisis polusi plastik di seluruh dunia, kami menyaksikan parade perusahaan yang berebut untuk terlihat lebih hijau dengan mengedepankan solusi palsu untuk membenarkan ketergantungan mereka pada kemasan sekali pakai,” kata Pemimpin Kampanye Plastik Global Greenpeace AS Graham Forbes.
“Beralih ke bioplastik, kertas, 100% kemasan ‘dapat didaur ulang’, insinerasi, dan daur ulang bahan kimia, akan menyebabkan krisis lingkungan menjadi lebih buruk. Dan konsumen perlu waspada terhadap kelompok-kelompok dengan nama-nama mencolok seperti Alliance to End Plastic Waste – terdiri dari perusahaan minyak, produsen plastik, dan perusahaan multinasional – yang telah muncul untuk menjaga ketergantungan dunia pada plastik. Kita hanya akan melihat perubahan nyata ketika perusahaan seperti Nestlé, Unilever, Coca-Cola, dan PepsiCo, yang mendapat untung dari model sekali pakai, menghentikan ketergantungan pada plastik dan berinvestasi besar-besaran dalam sistem yang mengutamakan penggunaan kembali.”
Akhir 2019, secara global, produksi dan pembakaran plastik akan memancarkan karbon setara dengan 189 pembangkit listrik tenaga batu bara. Dan diperkirakan pada tahun 2050, akan ada 12 miliar ton sampah plastik di lingkungan. Ketika perusahaan mengenali ancaman plastik, Greenpeace menuntut agar mereka tidak hanya melakukan perbaikan cepat yang malah membahayakan bumi di sisi lain.
Hingga saat ini, lebih dari 4 juta orang di seluruh dunia telah menuntut agar perusahaan mengambil tindakan untuk mengakhiri krisis polusi plastik dengan menandatangani petisi internasional Greenpeace.
“Demi mengatasi krisis sampah plastik, Greenpeace mendorong produsen serta peritel untuk: mengurangi ketergantungannya terhadap kemasan plastik sekali pakai, segera menerapkan sistem pengantaran alternatif, dan transparan akan volume serta komposisi plastik sekali pakai yang digunakan sebagai kemasan,” kata Atha. (IN Rosyadi)