Klitih Yogyakarta Jadi Viral, Kejahatan Anak Di Bawah Umur Meresahkan

Kata klitih menjadi viral. Hingga Selasa siang (5/4/2022), tercatat 50.000 orang mencari kata tersebut di mesin pencariaan Google. Sedangkan di twitter sudah mencapai 18.600 cuitan.
Viralnya kata tersebut berkaitan dengan tagar #YogyaTidakAman, #SriSultanYogyaDaruratKlitih dan lainnya. Jadi kata yang viral itu ternyata berkaitan dengan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
Dari penelusuran kata tersebut, ternyata terjadi perdebatan dalam memaknai dan menafsirkan kata Klitih. Ada seorang bupati yang menyebut kata tersebut sebagai kreativitas anak muda.
Pernyataan bupati itu langsung dibalas “Klitih = Kreativitas Anak, Seng di bacok uwong Bu, Sanes Debok!,” kata @TitipanMafia.
Web HukumOnline juga urun rembug soal klitih di Yogyakarta yang dinilai sudah meresahkan.
“Kami turut prihatin atas aksi Klitih di Jogja yg masih marak terjadi dan memakan korban jiwa. Aksi klitih dalam hukum pidana bisa dikategorikan sebagai tindak pidana penganiayaan atau pengeroyokan. Pelaku klitih bisa dijerat Pasal 351 KUHP,” papar akun @KlinikHukum
Jika pelaku klitih masih berusia anak yaitu telah berumur 12 tahun, belum berumur 18 tahun, maka pemrosesan perkara harus tunduk pada UU Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA) yg mengedepankan keadilan restoratif (restorative justice).
Web Detik.Com dalam postingan menyebutkan, kata yang sedang biral tersebut berkaitan dengan perilaku agresivitas yang dilakukan dengan sengaja untuk melukai seseorang.
Dalam konteks kenakalan remaja, nglitih adalah kegiatan sekelompok pelajar berkeliling menggunakan kendaraan dengan maksud mencari pelajar sekolah lain yang dianggap sebagai musuh.
Klitih awalnya diartikan kegiatan jalan-jalan atau keliling kota biasa tanpa tujuan jelas. Istilah kata tersebut dulu di Yogyakarta lebih pada keluyuran, punya ruang waktu yag banyak dan rileks.
Seiring waktu, makna kata tersebut berubah menjadi negatif. kata tersebut disalahgunakan untuk “membungkus” tindakan perusakan atau melukai orang lain.
Pembungkusan tindakan kejahatan itu dilakukan karena sebagian besar orang-orang yang terlibat tersebut merupakan anak-anak yang masih di bawah umur, setidaknya di bawah 18 tahun.
Pemerhati kriminologi, Aroma Elmina Martha menuturkan, data mendapati tersangka klitih mayoritas usia remaja yang mengenyam pendidikan formal, sementara korbannya acak.
“Dari statistik menunjukkan, kebanyakan pelakunya adalah para pelajar yang bersekolah formal. Jadi mereka itu memiliki keterikatan grup di sekolah, semacam kelompok atau katakanlah geng,” kata Aroma.
“Salah satu yang disyaratkan untuk masuk geng itu sebenarnya bukan bertujuan untuk membuat orang lain kehilangan nyawa, tapi hanya untuk sekedar menyerang atau merusak,” imbuhnya. (Dari berbagai sumber / Editor: Iman NR)