Meski Pandemi Covid, Seba Baduy Dilakukan Sampaikan Isu Lingkungan
Meski dalam suasana pandemi, tradisi Seba Baduy tahun 2021 tetap digelar di tengah Pandemi Covid-19. Pemerintah Provinsi Banten menggelar Seba Baduy Tahun 2021 secara sederhana. Pada Seba kali ini, Pemprov Banten hanya menerima masyarakat Baduy sebanyak 24 orang sebagai perwakilan. Sebanyak tujuh orang merupakan masyarakat Baduy Dalam, sisanya dari Baduy Luar.
Perwakilan Seba Baduy diterima oleh Gubernur Banten yang diwakili Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Banten, Tabrani. Dalam sambutannya, Tabrani menyampaikan permohonan maaf Gubernur Banten Wahidin Halim (WH) atas pelaksanaan Seba Gede tahun ini yang acaranya dibatasi karena keadaan pandemi Covid-19.
Tabrani menyampaikan permohonan maaf Gubernur Banten Wahidin Halim (WH) atas pelaksanaan Seba Gede tahun ini yang acaranya dibatasi karena keadaan pandemi Covid-19. Dalam kesempatan itu, Tabrani mengajak masyarakat untuk menjadikan masyarakat Baduy sebagai teladan, terutama dalam konsistensi menjaga lingkungan dan alam.
“Mari sama-sama kita jaga lingkungan kita. Lingkungan yang berada di wilayah Baduy tentu ini ada di tangan para kokolot sekalian agar tetap terjaga, agar tetap lestari bersama-sama dengan kita Pemerintah Provinsi Banten,” kata Tabrani di Museum Negeri Banten atau Pendopo Lama Gubernur Banten, Kota Serang, Sabtu (22/5) malam.
Oleh karenanya, imbuh Tabrani, Seba Baduy merupakan sebuah wujud jalinan silaturahmi yang baik antara masyarakat Baduy dengan Pemerintah Provinsi Banten. “Masyarakat Baduy berpesan kepada pemerintah agar bersama-sama menjaga lingkungan untuk terus di lestari kan,” pungkasnya.
Menjaga Kelestarian Alam
Sementara itu, Pemerhati Masyarakat Adat Baduy Uday Suhada mewakili masyarakat Baduy Dalam sambutannya mengatakan, masyarakat Baduy memiliki harapan kepada Pemerintah untuk menjaga alam di wilayah Provinsi Banten.
Pada tradisi Seba Badui tahun 2021, masyarakat Badui meminta perlindungan permohonan kepada bupati dan aparat penegak hukum atas adanya eksploitasi pertambangan emas tanpa izin di kawasan Gunung Liman. Sedangkan, Gunung Liman itu merupakan gunung larangan yang harus dijaga juga titipan dari leluhur.
“Pada malam ini juga ada Ketua DPRD provinsi Banten, yang menyatakan bahwa hutan-hutan di sekeliling Baduy seharusnya dilindungi jangan sampai ada gurandil, jangan sampai ada yang merusak. Mungkin ke depan bisa membuat kebijakan yang mendukung itu,” ucapnya.
Lebih lanjut, Uday juga menyampaikan keinginan masyarakat Baduy agar mengganti narasi Wisata Baduy menjadi Saba Budaya Baduy.
“Jangan menggunakan istilah wisata Baduy, karena wisata bermakna tontonan. Sedangkan saudara-saudara kita ini adalah peradaban. Kalau Saba maknanya silaturahmi saling menjaga, saling melindungi dan saling mengasihi. Jadi mulai dari sekarang dan kedepan kalau ingin silaturahmi ke Kanekes, judulnya Saba Budaya Baduy, bukan Wisata Baduy,” ujarnya.
Dalam berbagai kesempatan, Gubernur Banten Wahidin Halim kerap memberikan pesan kepada seluruh masyarakat Banten agar dapat mencontoh prilaku masyarakat suku baduy dalam menjaga dan melestarikan lingkungan sebagai pusat kehidupan.
“Janganlah kita merusak alam, jangan merusak pantai, jangan merusak gunung-gunung yang memberikan kontribusi bagi kehidupan kita. Alam bagi masyarakat Baduy adalah hal penting dan strategis sebagai sumber kehidupan” kata Wahidin.
Bahkan, Wahidin juga mengapresiasi bagi masyarakat Baduy yang sampai saat ini masih bisa menjaga budaya dan tradisi turun temurun, di tengah hiruk pikuk kehidupan kota yang sudah terjamah oleh perkembangan teknologi komunikasi dan informasi.
Sekadar informasi, Seba Baduy merupakan tradisi adat tahunan masyarakat Baduy dimana ribuan masyarakat Baduy berkunjung dengan berjalan kaki menuju Pendopo Kabupaten Lebak dan Pendopo Gubernur Banten untuk menyerahkan hasil bumi yang dikelola masyarakat Baduy kepada Pemerintah Daerah sebagai bentuk terimakasih kepada Pemerintah Daerah yang memberikan perlindungan kesejahteraan dan keamanan bagi masyarakat Baduy. Tradisi Seba Baduy ini sebelumnya diawali dengan “Kawalu” yakni masyarakat baduy berpuasa selama tiga bulan.
Masyarakat Baduy berpedoman pada filosofi “lojor teu meunang dipotong, pondok teu meunang disambung” yang artinya panjang tidak boleh dipotong, pendek tidak boleh disambung. Hal ini diimplementasikan dalam sistem hukum adat Baduy, bahkan pepatah masyarakat Baduy ini memiliki makna bahwa hidup harus sesuai ketetapan Tuhan, serta menjaga apa yang telah diberikan oleh Tuhan. [Adv-Diskominfo SP]