Opini

Perempuan Dalam Angka (Politik) Afirmasi

Tahun 2008, Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengeluarkan putusan penting yang membawa perubahan signifikan dalam keterwakilan perempuan dalam Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) serta mendorong kesetaraan gender dalam dunia politik.

OLEH: IDA MIEFTA *)

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22-24 /PUU-VI /2008 menjadi titik balik dalam upaya meningkatkan partisipasi perempuan dalam pengambilan keputusan politik di Indonesia.

Putusan tersebut didasari pertimbangan bahwa tindakan afirmatif dalam UU Nomor 10 Tahun 2008 yang terkandung dalam Pasal 55 ayat (2) dipandang sebagai diskriminatif secara terbalik atau reverse discrimination.

Pasal itu tidak dapat dinyatakan bertentangan dengan konstitusi, namun pada sisi yang berseberangan, pemberlakuan sistem suara terbanyak justru dianggap banyak pihak dapat meredusir upaya afirmatif dalam rangka meningkatkan jumlah keterwakilan kaum perempuan di parlemen.

Sampai saat ini, UU kepemiluan telah mengalami beberapa kali penggantian dan yang terakhir adalah UU No. 7 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No. 1 Tahun 2022 Tentang Perubahan Atas UU No 7 tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum Menjadi Undang-undang.

Di dalam UU tersebut ada 3 pasal yang mengatur kuota 30% perempuan, yakni pengaturan anggota PPK pasal 52 ayat 3, pengaturan anggota Bawaslu pasal 65 ayat 11, dan pengaturan pengurus partai dan calon anggota parlemen pasal 177 ayat 3 huruf d.

Sementara pengaturan kuota 30% perempuan untuk anggota KPU, KPU Provinsi dan KPU Kab/kota diatur dalam PKPU No 4 tahun 2023 Tentang seleksi anggota Komisi Pemilihan Umum Provinsi dan Kabupaten/Kota pasal 35 ayat 3.

Upaya penyetaraan hak politik perempuan yang dilakukan Negara melalui regulasi patut mendapat apresiasi, seiring dengan meningkatnya peran serta perempuan dalam berbagai bidang, termasuk dalam kancah politik, hanya saja yang patut digarisbawahi adalah tingkat pemenuhan kuota tersebut.

Berdasarkan data Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), terdapat 118 perempuan dari total 575 anggota DPR 2019-2024.

Jumlah tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan periode sebelumnya yang hanya 97 perempuan dari total 560 anggota DPR. Jika dihitung, persentase anggota DPR perempuan saat ini 20,5 persen. Masih jauh di bawah angka 30 persen keterwakilan perempuan.

Komposisi Anggota DPR berdasarkan kuota perempuan*)

TahunJumlah Anggota DPRKomposisi Jenis Kelamin
Laki-lakiPerempuan
2004-200955089,3%10,7%
2009-201456082,4%17,6%
2014-201956082,3%17,7%
2019-202357579,5%20,5%
2024-2029580??

Data diolah dari berbagai sumber

Sementara di Banten, persentase perempuan di Parlemen mengalami penurunan dari pemilu sebelumnya, setidaknya tercatat periode 2019-2023, ada 15 perempuan yang menjadi anggota DPRD Provinsi Banten atau 17,65% dari total 85 kursi.

Komposisi Anggota DPRD Provinsi berdasarkan kuota perempuan*)

TahunJumlah Anggota DPRD ProvinsiKomposisi Jenis Kelamin
Laki-lakiPerempuan
2014-20198581%19%
2019-20238582,35%17.65%
2024-2029100??

Data diolah dari berbagai sumber

Beberapa pengamat politik menilai, belum tercapainya target 30% keterwakilan perempuan itu diakibatkan dari sistem pemilu yang dianggap masih liberal dan predatorik.

Dengan sistem proporsional terbuka, perolehan kursi parlemen ditentukan berdasarkan suara terbanyak.

Akibatnya, tak hanya calon anggota legislatif (caleg) perempuan, pimpinan parpol juga banyak yang tersingkir. Tidak sedikit pula pengurus parpol dengan jabatan strategis gagal menjadi anggota parlemen.

Bahkan ada dugaan sistem pemilu sekarang banyak menghasilkan orang-orang kaya masuk parlemen dibandingkan dengan orang-orang yang memiliki kapasitas dan integritas.

Sebagian perempuan caleg yang lolos ke DPR/DPRD merupakan kerabat kepala daerah atau bagian dari dinasti politik.

Selain itu, ada pula kecendrungan representasi perempuan itu saat ini masih dipandang sebagai sebuah posisi, belum beriorentasi pada kebijakan.

Padahal, posisi hanyalah pijakan untuk merealisasikan ide-ide besar yang hendak diperjuangkan, masih berkutat pada eksistensi dan representasi belum menjadi political bargain.

Meskipun upaya peningkatan jumlah keterwakilan perempuan di parlemen merupakan tujuan utama, patut dipertimbangkan pula untuk merumuskan suatu pola/sistem rekrutmen terhadap caleg perempuan oleh partai politik.

Tujuannya untuk meningkatkan kesadaran politik dan kemampuan caleg perempuan, sehingga caleg yang bersangkutan ketika terpilih kelak, dapat memberikan kontribusi dan peran nyata dalam melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai wakil rakyat.

Daya Tawar

Konsep “political bargain” merujuk pada kesepakatan atau perjanjian politik yang melibatkan pihak-pihak yang berkepentingan untuk mencapai tujuan tertentu.

Dalam konteks keterwakilan 30% perempuan dalam politik, istilah ini mengacu pada kesepakatan atau upaya kolaboratif antara berbagai pihak, termasuk partai politik, kelompok perempuan, masyarakat, dan pemerintah, untuk mewujudkan target keterwakilan minimal 30% perempuan dalam lembaga-lembaga politik.

Tujuannya untuk mencapai kesetaraan hak yang lebih baik dalam pengambilan keputusan politik, mengakui kontribusi perempuan, serta mengatasi hambatan historis dan budaya yang menghambat partisipasi perempuan dalam politik.

Karenanya, dibutuhkan perluasan isu yang diperjuangkan, karena selama ini baru sebatas pada isu-isu domestik seperti penghapusan kekerasan seksual atau perlindungan pekerja rumah tangga.

Padahal banyak kebijakan yang dapat diperjuangkan untuk kemudian dibuat menjadi sebuah gerakan politik yang signifikan.

Misalnya isu anggaran yang berbasis gender, perlindungan hak reproduksi, pemberdayaan ekonomi perempuan, dan lain sebagainya.

Dengan mengembangkan wacana politik yang lebih luas, perempuan dapat lebih efektif mendorong perubahan dalam sistem politik melalui isu-isu yang relevan bagi perempuan secara kolektif, membangun aliansi dengan pihak-pihak lain, dan bekerja bersama-sama untuk mencapai tujuan kesetaraan gender yang lebih besar.

Dengan demikian, “political bargain” bukan hanya sekadar tentang mencapai angka keterwakilan, tetapi juga tentang memperkuat pengaruh perempuan dalam mengubah landasan politik dan sosial yang lebih inklusif dan adil.

Kuota 30% perempuan perlu dikuatkan sebagai pondasi politik perempuan, upaya go politics dari kalangan perempuan tidak hanya sebagai kegiatan untuk memasuki proses, mekanisme, lembaga, dan sistem politik (crafting democracy) tapi juga bagaimana representasi politik perempuan mampu memperluas basis konstituen (broadening base).

Setidaknya terdapat dimensi utama dalam konteks di atas, yakni menyangkut upaya untuk mempengaruhi proses-proses pengambilan keputusan publik; dan usaha untuk membangun basis social representasi politik perempuan, baik melalui lembaga-lembaga representasi politik formal maupun informal, termasuk partisipasi langsung (direct democracy).

Perjuangan untuk mencapai keadilan gender dan mewujudkan representasi politik perempuan (yang bukan sekedar warna, tapi turut mewarnai) di negeri ini masih butuh waktu panjang untuk dibuktikan.

Karena ia menyangkut kapabilitas untuk bersaing dan berkontribusi dalam politik praktis secara signifikan, dukungan basis massa yang jelas, pengalaman yang relevan, serta visi misi yang tak hanya sejalan dengan partai politik yang diwakilinya, namun juga harus sebangun dengan harapan dan keprihatinan rakyat. (**)

*) Penulis adalah pemerhati politik yang berkerja di swasta.

Iman NR

Back to top button