SPMB 2025 Kacau, Jalur Domisili SMAN 6 Serang Tuai Protes

Sistem Penerimaan Murid Baru atau SPMB 2025 di Provinsi Banten kembali menuai kritik. Khususnya di Kota Serang.
Sejumlah orang tua siswa menilai mekanisme seleksi, terutama pada jalur domisili, minim transparansi dan sosialisasi.
Akibatnya, banyak calon peserta didik tereliminasi meski tinggal sangat dekat dengan sekolah tujuan.
Salah satunya Amaliah, warga Kecamatan Cipocok, Kota Serang, merupakan satu dari banyak orang tua yang kecewa.
Putrinya gagal masuk ke SMAN 6 Kota Serang meski rumah mereka hanya berjarak sekitar 500 meter dari sekolah tersebut.
Dia mengaku tidak mendapat informasi bahwa nilai akademik ikut dijadikan dasar seleksi dalam jalur domisili.
“Saya daftar lewat domisili karena rumah sangat dekat. Tapi ternyata yang diterima malah yang nilainya lebih tinggi. Saya tidak tahu kalau nilai itu jadi penentu. Tidak ada pemberitahuan soal itu,” ujar Amaliah.
Pernyataan ini menunjukkan lemahnya sosialisasi dari pihak sekolah maupun Dinas Pendidikan Provinsi Banten.
Padahal jalur domisili yang menggantikan jalur zonasi seharusnya menjadi jalur inklusif berbasis jarak tempat tinggal, bukan seleksi terselubung berdasarkan akademik.
Sementara itu, Panitia SPMB SMAN 6 Kota Serang berdalih telah melakukan sosialisasi sejak awal.
Informasi, menurut mereka, telah disebarkan melalui media sosial dan kunjungan ke sekolah-sekolah tingkat SMP.
“Kami sudah sampaikan sejak awal bahwa jalur domisili juga mempertimbangkan nilai rapor dari semester 1 sampai 5,” ujar Ganda Yanuar, panitia PPDB SMAN 6 Kota Serang.
Namun, pernyataan itu bertolak belakang dengan temuan pada situs resmi Pemprov Banten.
Dalam dokumen resmi berjudul Jadwal Pendaftaran dan Juknis SPMB SMA, SMK, dan SKh Negeri Provinsi Banten Tahun Ajaran 2025/2026 yang diterbitkan pada 11 Juni 2025.
Tidak ada satu pun klausul yang mencantumkan nilai akademik sebagai komponen dalam seleksi jalur domisili.
Ironisnya, juknis yang mengacu pada SK Gubernur Banten Nomor 261 Tahun 2025 itu hanya mencantumkan persyaratan usia, domisili, dan kelulusan jenjang SMP, tanpa menyebut penilaian rapor sebagai bagian dari seleksi.
Pihak sekolah menyebut masyarakat belum siap menghadapi sistem baru. Namun yang terjadi sesungguhnya adalah kebijakan yang tidak sinkron antara aturan tertulis dan pelaksanaan di lapangan.
Ketidaksesuaian ini membuat publik kehilangan pegangan, dan sistem PPDB justru tampak diskriminatif.
“Hal ini menimbulkan kegagapan di masyarakat karena sistem baru ini belum dipahami. Antara ketidaksiapan dan ketidaktahuan masyarakat, akhirnya terjadi kegaduhan,” ujar Ganda.
Abdul Hadi