Waduh! 26,6 % Dari Sejuta Balita di Banten Menderita Stunting
Sebanyak 26,6 persen dari sekitar 1 juta bayi di bawah lima tahun (Balita) di Banten menderita stunting. Salah satu penyebabnya, kekurangan gizi dan pemberian susu kental manis (SKM) oleh orang tuanya. Wilayah tertingi penderita stunting ada di Kabupaten Lebak dan Pandeglang.
Gejala stunting antara lain anak berbadan lebih pendek untuk anak seusianya, proporsi tubuh cenderung normal tetapi anak tampak lebih muda atau kecil untuk usianya, berat badan rendah untuk anak seusianya dan pertumbuhan tulang tertunda.
“Bahwa masyarakat memberikan MP (makanan pendamping) ASI pada anak-anak dengan macem-macem, tidak berkualitas, buhur campur kecap, susu formula salah satunya SKM,” kata Tiara Luthfie, Kasie Kesehatan Keluarga dan Gizi, pada Dinkes Banten di Akbid Aisyiyah , Kramatwatu, Kabupaten Serang, Banten, Selasa (30/04/2019).
Jika dibandingkan tahun 2017, maka penderita stunting di Banten menurun dari 29,6 persen menjadi 26,6 persen. Penurunan ini disebabkan pola penanganan yang menyeluruh, di antaranya memberikan makanan tambahan pada Balita dan ibu hamil selama tiga bulan.
Baca: Restu Dari Unyur Divonis Dokter Sebagai Penderita Gizi Buruk
“Saya sangat tidak menganjurkan anak dibawah 2 tahun (diberikan SKM), karena kandungan gulanya sangat tinggi,” terangnya.
Berbagai merek SKM, sudah ada yang masuk ke Indonesia sejak tahun 1922. Mereka masuk menggunakan branding sebagai susu yang bergizi.
Faktanya, kandungan gula mencapai 50 persen. Sedangkan nutrisinya dibawah 1 persen. Ditambah, mereka mengiklankan diri sebagai minumam bergizi, bernutrisi dan menyehatkan.
“Di label mereka rubah menjadi creamer, pemanis sebagainya. Tapi sosialisasi di bawah, mereka mengiklankan sebagai susu. Padahal SKM itu bukan susu,” kata Arief Hidayat, Ketua Yayasan Abhopraya Insan Cendekia Indonesia (YAICI).
SKM sejatinya merupakan bukan susu dan bukan minuman bergizi, melainkan untuk pemanis makanan dan minuman. Sesuai Keputusan BPOM dan Kementrian Kesehatan (Kemenkes). “Iklannya minum susu, bernutrisi. SKM itu justru untuk toping,” ujarnya.
Sedangkan menurut Majelis Kesehatan (MK) pimpinan pusat Aisyiyah, masyarakat Indonesia bisa dengan mudah dan murah mendapatkan protein. Pendidikan gizi dan pola hidup sehat harus dilakukan oleh semua pihak, tidak hanya tugas pemerintah.
“Gizi bisa dari tahu, tempe, yang sudah menjadi budaya di kita. Tidak harus daging dan ikan kalau mahal. SKM itu tidak untuk memenuhi gizi bayi,” kata Chaerunnisa, Ketua MK Pimpinan Pusat Aishiyah. (Adityawarman)