Lima dugaan korupsi di lingkungan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Banten dengan potensi kerugian negara Rp41,81 miliar dilaporkan Aliansi Independen Peduli Publik (Alipp) ke Komisi Pemberantan Korupsi (KPK), Kamis (20/12/2018). Demikian siaran pers Alipp yang diterima MediaBanten.Com.
Kelima dugaan korupsi itu adalah pengadaan lahan di 9 lokasi untuk unit sekolah baru SMK dan SMA pada tahun 2017, pengadaan komputer ujian nasional berbasis komputer (UNBK) tahun 2017, pengadaan komputer UNBK tahun 2018, pembangunan jalan dan jembatan di Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) tahun 2018 dan penataan kawasan Banten Lama yang dikelola Dinas Perumahan dan Permukiman Rakyat (PRKP).
Direktur Eksekutif Alipp, Uday Suhada mengemukakan, untuk pengadaan lahan, Pemprov Banten telah membelanjakan Rp39,9 miliar yang terdiri dari belanja lahan Rp38,8 miliar dan biaya operasional Rp1,06 miliar. Di luar anggaran itu, terdapat belanja barang dan jasa Rp852,1 juta yang terdiri Rp426,4 juta jasa konsultasi feasibility study dan Rp425,7 juta untuk jasa apraisal.
“Yang paling menonjol dalam dugaan korupsi pengadaan tanah untuk SMKN 7 Tangerang Selatan dan SMAN 1 Bojongmanik di Lebak,” kata Uday Suhada.
Pada kasus tanah SMKN 7, tanah seluas 16.000 m2 di Keluarahan Rengas, Kecamatan Ciputat Timur, Tangerang Selatan itu tidak memiliki akses jalan karena seluruh penjuru anginnya tertutup oleh lahan milik warga dan perumahan. Uang pembelian tanah Rp17,9 milar ditransfer ke rekening atas nama AK, bukan ke rekening pemilik tanah Sofia M Sujudi Rasat. Namun AK hanya menerima Rp10,58 miliar, meskipun dalam surat perintah pencarian dana (SP2D) Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Dindik) Banten tercantum angka Rp17,9 miliar.
Baca: Polres Cilegon Tangkap Pelaku Pengeroyokan di Terminal Merak
“Ada selisih Rp7,3 miliar antara uang yang diperintahkan keluar dari kas daerah Pemprov Banten dengan uang yang diterima AK. Kemana tuh uang?” kata Uday.
Sedangkan kasus tanah untuk SMAN 1 Bojongmanik ternyata Pemprov Banten membeli tanah yang sudah menjadi asetnya sendiri. Tanah seluas 15.000 m2 itu sudah dibeli Pemkab Lebak untuk SMAN 1 pada tahun 2013. Karena kewenangan pendidikan dilimpahkan ke Pemprov, maka Pemkab Lebak menyerahkan aset itu ke Pemprov Banten. Namun Dindikbud Banten membeli tanah itu kepada MK, Kades Bojongmanik dengan harga Rp60.000/m2. MK mengaku hanya menerima Rp20.000/m2, bukan Rp60.000.
Dugaan korupsi pengadaan komputer UNBK dimulai tahun 2017. Awalnya, Dana Alokasi Khusus (DAK) mengalokasikan Rp25 miliar di anggaran murni untuk 2.500 komputer. Namun DAK itu tidak digunakan. Pengadaan komputer itu muncul di APBD perubahan 2017 dengan nilai Rp40 miliar. Jumlah komputer yang diadakan menjadi 3.200 unit dengan spesifikasi yang sama dan diduga dilakukan markup harga.
“Luar biasanya komputer yang dibeli melalui E-Catalog itu ternyata tidak dilengkapi dengan keyboard dan mouse, tidak ada setting komputer dan pelatihan untuk UNBK. Ketika pesanan via e-catalog dilakukan, ternyata barang terlambat datang. Ironisnya, ada surat dari kuasa pengguna anggaran bahwa komputer dititipkan di PT BM sebagai penyedia barang, bukan di gudang dindik,” kata Uday.
Hal yang sama terjadi pada pengadaan komputer UNBK tahun 2018 untuk 2.000 unit komputer merk Asus senilai Rp25 miliar. Pengadaan barang itu terjadi pada bulan Februari 2018, tetapi dana dari Pemprov Banten baru tersedia pada bulan April 2018. “Hebatnya, uang ini ditransfer tanggal 8 November 2018 atas perintah penguna anggaran (PA). Seharusnya, perintah pembayaran oleh kuasa pengguna anggaran,” katanya.
Permendagri No.13 tahun 2006 telah diatur mekanisme pembayaran dimaksud. Yang berwenang untuk mencairkan / membayarkan adalah KPA (bukan PA). PA hanya bisa melakukan pembayaran apabila KPA berhalangan tetap. (IN Rosyadi)