Nasib lebih 300 pedagang yang semula berjualan di Kawasan Kesultanan Banten kini tidak menentu sejak revitalisasi atau penataan kawasan tersebut oleh Pemerintah Provinsi (Pemprov) Banten. Mereka tidak bisa menetap berdagang di suatu lokasi, tetapi selalu dipindah-pindah atau istilah mereka diusir-usir.
“Kami sudah tidak punya penghasilan. Karena itu, kami memohon kepada pengelola di sini agar kami bisa berdagang di dekat plataran Keraton Surosowan, dekat kanal selama dua hari saja dalam seminggu. Syukur-syukur dikasih lebih. Kami akan menjamin kebersihan dan ketertibannya,” kata Ali Sabet, pedagang di Kawasan Kesultanan Banten yang ditemui MediaBanten.Com, belum lama ini.
Ali Sabet yang berjualan dodol, emping dan sejenisnya itu mengisahkan, para pedagang mulai tidak menentu nasibnya sejak pemindahan ke penampungan sementara di Sukadiri. “Di sini, banyak dari kami yang sesungguhnya dulu punya tempat, malah tidak mendapatkan tempat di lokasi penampungan. Sedangkan pedagang yang tadinya asongan, tiba-tiba mendapatkan tempat,” kata Ali Sabet.
Ketika dibangun kios-kios oleh Pemerintah Kota (Pemkot) Serang di eks Blok Kebalen, ternyata mereka juga tidak bisa berjualan. Jumlah pedagang mendadak membengkak menjadi 800 orang. Sedangkan kapasitas tempat berjualan itu hanya menampung 500 pedagang. Namun kios-kios itu pun hingga kini belum bisa digunakan karena tidak ada aliran listrik, tidak ada air dan banyak bangunannya yang rusak. Bahkan, banyak roling door yang hilang.
“Terakhir kami ditempatkan di sebuah lapangan di Blok Ciputri. Rangka baja ringan dari bekas tempat penampungan di Sukadiri, dipindahkan ke sana. Kami diminta biaya pemindahan sekitar Rp300.000-an,” katanya.
Baca:
- Akibat Penataan Banten Lama, Petani Keluhkan Kesulitan Buang Air Sawah
- Dibicarakan, Warga Sekitar Kawasan Banten Lama Jangan Jadi “Penonton”
- Firdaus: Pengelolaan Kawasan Banten Lama Tidak Jelas
Tergenang Air
Di Blok Ciputri, nasib pedagang lebih mengenaskan. Daerah ini sering tergenang air hingga 50 cm jika hujan. Selain itu, di block itu tidak ada kendaraan bus mapun pribadi yang parkir. Bus dan mobil pribadi diparkirkan di Kawasan Penunjang Wisata (KPW).
Amarasan, pedagang mengaku sering nekad berdagang di sekitar kanal dekat Keraton Surosowan. Kenekadan itu seringkali berubah menjadi kesialan karena barang dagangan dan tempat berjualannya ditertibkan oleh petugas keamanan di Kawasan Kesultanan Banten. “Mau berdagang dimana lagi, ini tidak boleh, itu tidak boleh. Ada disediakan lokasinya, eh pengunjung tidak melewati pedagang. Ya sepi lah pak,” kata Amarasan.
Selain Terminal Sukadiri dan KPW, terdapat parkiran liar yang dikelola warga baik untuk sepeda motor maupun roda empat. Parkiran tidak resmi itu merupakan tanah warga setempat, diubah menjadi tempat parkir dengan fasilitas seadanya.
Saat ini, kendaraan roda empat yang berkunjung ke Kawasan Kesultanan Banten diarahkan untuk diparkirkan di KPW di daerah eks Kebalen dan Terminal Sukadiri. Bus-bus diparkirkan di KPW. Para penumpang atau penziarah yang turun di daerah itu, disediakan Angkot. Penumpang diwajibkan bayar Rp3.000-Rp4.000 per orang. Penumpang itu diantarkan ke gerbang sebelah selatan Keraton Surosowan, persis di pos penjagaan yang dibangun dalam rangka revitalisasi Kawasan Banten Lama.
Bayar Angkot
Bebeberapa sopir angkot itu mengatakan, mereka harus membayar Rp5.000 setiap kali berangkat mengangkut penumpang dari KPW ke gerbang selatan Keraton Surosowan. Di gerbang itu pun, mereka menyetorkan uang Rp5.000 sekali datang.
“Hitungan saya masih tetap untung Pak. Bensin ya cukup Rp20.000-Rp30.000. Jarak tempuhnya dekat dari eks Kebalen ke Surosowan belakang. Kalau sudah musim mulai Kamis hingga Minggu, ya sehari bisa mengantungi uang Rp200.000-Rp250.00, dipotong bensin, dipotong makan dan dipotong uang ngemel, ya tetap untung banyak,” kata seorang sopir angkot di sana.
Firdaus Gozali, anggota DPRD Kota Serang mengatakan, “kesemrawutan” yang terjadi di Kawasan Kesultanan Banten Lama disebabkan tidak adanya pengelolaan satu atap. “Seharusnya, seluruh urusan di Banten Lama melalui satu tangan, sehingga tidak terjadi tumpang tindah lembaga pemerintahan yang merasa berwenang atau kelompok-kelompok masyarakat yang merasa berhak mengelola kawasan tersebut,” katanya.
Dia mengingatkan agar segera dibentuk suatu badan pengelola yang ditangani oleh para ahli yang berkompeten di bidangnya. Sedangkan pemerintah daerah baik provinsi, kabupaten/kota dan lembaga kemasyarakatan ditampung dalam lembaga itu bukan sebagai eksekutif yang menjalankan pengelolaan Kawasan Kesulanan Banten.
“Yah, kalau di perusahaan sih, mereka itu pemilik saham atas badan pengelola tersebut,” ujar Firdaus. (IN Rosyadi)