Kematian media cetak yang mencapai puluhan, bahkan ratusan media dalam dekade terakhir, bukan semata soal mempertahankan glory atau kejayaan media tersebut. Kematian itu adalah sinyal yang sangat kuat bergesernya pola pemenuhan kebutuhan atas informasi yang tidak bisa diantisipasi para pengelola media.
Kematian media yang paling terkni adalah Bola, sebuah tabloid yang mengkhususkan pada penyajian informasi tentang sepakbola, sebuah olahraga yang paling digandrungi masyarakat Indonesia. Bola dilahirkan dari sisipan Kompas pada tahun 1983, tumbuh dan menjadi besar setelah berdiri sendiri dan merupakan bagian dari Kelompok Kompas Gramedia atau disingkat KKG. Tabloid Bola berkembang pesat dan menyumbangkan pundi-pundi yang tidak sedikit bagi kelompok ini.
Tentu saja orang menjadi mahfum. KKG memiliki kapital besar dengan ratusan perusahaan yang bernaung di bawahnya, baik perusahaan media maupun di luar media. Dengan kapital besar itu, tentu para pengambil keputusan di KKG tak sulit untuk sekadar mempertahankan Bola, hanya berlandaskan romantisme glory terhadap Bola.
Rupanya pola pemenuhan kebutuhan informasi dengan teknologi yang terus berkembang menjadi alasan yang paling kuat ditutupnya Bola. Betapa tidak, saat ini orang dengan mudah memperoleh informasi tentang sepakbola. Informasi sepakbola bisa diperoleh melalui jari-jari tangan dengan teknologi smartphone (telepon pintar) yang semakin berkembang dan canggih.
Kini orang lebih memilih membeli smartphone dan membeli kuota internet untuk mendapatkan berbagai fasilitas, termasuk memenuhi kebutuhan informasi berbagai hal. Pemenuhan informasi, di antarnaya soal sepakbola didapatkan dengan gratis dengan kemudahan search enggine seperti google, yahoo dan lainnya merangkum potongan berita tersebut. Kelengkapan berita dilanjut ke web-web yang menyajikan berita tersebut.
Baca: Catatan Perancis Vs Kroasia: “Pasukan Galia” Mampu Taklukan “Eks Pasukan Romawi”
Serba Gratis
Semua informasi diperoleh dengan gratis dengan syarat memiliki kuota internet. Bandingkan dengan media cetak. Orang harus membeli media tersebut untuk membaca lebih lanjut. Harganya bervariasi. Jika berlangganan per bulan untuk suratkabar atau koran bisa berkisar Rp50.000-Rp80.000 per bulan. Ada lagi tarif langganan jauh lebih mahal, di atas Rp100.000 per bulan. Bagi orang yang pas-pasan tentu memilih membeli kuota internet. Informasi yang diperoleh bukan hanya dari media tersebut, tetapi berbagai informasi yang lebih variasi dan lengkap.
Perilaku konsumen tersebut sangat berpengaruh terhadap keberlangsungan kehidupan media cetak. Sebab salah satu pendapatannya adalah dari berjualan media, meski pendapatan itu sekadar untuk menutup ongkos cetak. Bahkan, sering ongkos cetak ditutupi dari pendapatan iklan. Pertimbangannya jelas. Konsumen akan memperoleh harga yang lebih murah dan terjangkau, bukan harga sesungguhnya yang tentu akan tinggi akibat kenaikan harga kertas, film, tinta dan sebagainya.
Generasi sekarang ini oleh sejumlah cendikiawan disebut sebagai generasi Z atau generasi milenial yang lahir tahun 1990 sd 2000. Generasi ini lebih asyik dengan pemanfaat teknologi telekomunikasi yang berkembang pesat seperti yang disematkan pada telepon pintar. Media sosial seperti Facebook, Twitter, Whatapps, Google+, Instragram dan sebagainya menjadi langganan untuk diakses setiap hari, bahkan setiap saat, meski di tengah kesibukannya beraktivitas fisik sehar-hari. Sambil berjalan kaki ke tujuan tertentu, generasi milenial ini masih sempat membuka media sosial yang digandrunginya.
Bagi media yang memiliki kapital besar tidak ada kesulitan dalam mengantisipasi dan mentrasformasi media cetak ke bentuk-bentuk virtual alias maya. Tinggal kecerdikan pengelola media untuk menerapkan model bisnis yang pada akhirnya menentukan berapa besar pundi-pundi bisa dipenuhi oleh konsumen. Karakter dari model bisnis di dunia maya ini jauh berbeda dengan karakter model bisnis media cetak yang pada intinya mengandalkan jualan media cetak dan iklan secara konvensional.
Salah satu karakter atau model bisnis di dunia maya adalah diperlukan modal cukup besar pada awal membangun bisnis tersebut. Namun pada operasional sehari-hari, biaya itu jauh lebih rendah dibandingkan dengan bisnis yang dilakukan secara konvensional. Jika modal bukan masalah, maka pengelola bisnis bisa mengawinkan dua karakter dari model bisnis tersebut, yaitu model bisnis dunia maya dan model bisnis konvensional. Hasil perkawinan keduanya diyakini akan menghasilkan revenue yang luar biasa. Pertimbangannya tentu masyarakat Indonesia bukanlah total generasi milenial, tetapi ada sebagian generasi yang masih berkutat dengan cara bisnis konvensional.
Terapi pergeseran pola konsumen yang lebih mengarah ke dunia maya adalah sebuah keniscayaan. Perlahan tetapi pasti, dunia itu akan mendatangi setiap lini kehidupan. Bagi pengelola media yang tidak siap akan hal tersebut, maka kematian alias kebangkrutan adalah kata yang paling diyakini datang ke tempatnya.
Meski dengan keraguan, paperless atau dunia tanpa kertas mulai menampakan wujudnya di kantor-kantor dan mematikan media cetak. (Iman Nur Rosyadi)