Kesehatan

Penyakit Kusta Tetap Misteri, Meski Ada Sejak 3.500 Tahun Lalu

Selama 3.500 tahun penyakit kusta telah diketahui keberadaannya. Selama itu pula para ilmuwan masih membentur dinding misteri soal fakta mendasar penyakit tersebut

Memang mereka sudah mengetahui bahwa penyakit ini disebabkan Mycobacterium Leprae, bakteri penyebab kusta yang ditemukan pada trenggiling, hewan yang sering digambarkan dengan moncong panjang, mengenakan baju besi dan berpita sembilan.

Kamala Thiagarajan, wartawan yang menulis di BBC Features menyebutkan, kusta merupakan penyakit kronis menular yang menyerang kulit, saraf, dan selaput lendir, yang kemudian menyebabkan bercak putih, mati rasa, pelemahan otot dan kelumpuhan.

Namun, terlepas dari akibat yang berbahaya dan kasus-kasus yang kemungkinan telah tercatat sejak 1400 SM, hingga hari ini, masih banyak hal tentang penyakit kuno ini yang misterius.

“Tidak ada yang tahu bagaimana kusta muncul, atau mengapa di beberapa bagian dunia penyakit ini lebih menyebar dibanding di tempat lain,” tulis Kamala Thiagarajan yang dikutip MediaBanten.Com, Minggu (26/2/2023).

Para ilmuwan bahkan masih belum tahu pasti bagaimana penyebarannya dan masih belum ada cara mudah untuk memeriksa apakah seseorang mengidapnya.

Contohnya adalah trenggiling. Berasal dari Amerika Selatan, hewan pemakan serangga ini sekarang juga ditemukan di seluruh Amerika Tengah dan Amerika Utara bagian selatan.

Di Brasil, satu dari tiga negara yang menyumbang sebagian besar dari 200.000 kasus kusta baru setiap tahun bersama India dan Indonesia, trenggiling diburu untuk diambil dagingnya.

Dalam sebuah studi, para peneliti menemukan bahwa 62% trenggiling yang dibunuh pemburu terinfeksi M. leprae (survei serupa di AS – di mana ada antara 150-250 kasus baru pada manusia yang dilaporkan setiap tahun – telah menemukan 20% dari hewan yang ada di sana membawa bakteri).

Belum lagi fakta bahwa manusia mungkin telah menularkan penyakit pada hewan-hewan ini pertama kali, ketika orang Eropa membawanya ke Brasil sekitar 500 tahun yang lalu.

“Ini adalah penyakit yang sangat kompleks dan banyak tentang kusta masih menjadi teka-teki yang mencekam, bahkan hingga hari ini,” kata Gangadhar Sunkara, ilmuwan pengembangan obat dan kepala program global di perusahaan farmasi Novartis.

Hidup Bersama Kusta

Terlepas dari kemajuan signifikan dalam mengatasi penyakit ini, hingga tiga juta orang di seluruh dunia masih hidup dengan kusta. Rata-rata 200.000 kasus baru terdeteksi setiap tahun, menurut data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).

Namun, pada tahun 2020, jumlah itu turun menjadi 128.000 kasus, kata Cairns Smith, profesor kesehatan di Universitas Aberdeen.

Secara historis, sudah umum di banyak budaya untuk mengkarantina orang yang terinfeksi kusta di rumah atau rumah sakit khusus. “Mereka belum didiagnosis atau diobati dan berisiko tinggi mengalami kecacatan,” kata Smith.

Yang paling memprihatinkan adalah jumlah anak yang belum terdiagnosis karena gangguan akibat pandemi. Setidaknya 15.000 kasus kusta yang terdeteksi di seluruh dunia setiap tahun menyerang anak-anak.

“Artinya, banyak anak-anak yang terancam terkena penyakit ini. Beberapa negara menunjukkan pemulihan, tetapi deteksi kasus masih rendah di negara-negara seperti Myanmar, Sri Lanka, Filipina,” katanya.

Dunia telah membuat langkah besar dalam pengobatan kusta sepanjang empat dekade terakhir, terutama dengan pengenalan terapi multi-obat WHO untuk mengobati kusta multibasiler pada tahun 1982.

Kusta multibasiler adalah bentuk penyakit yang lebih lanjut, sering ditandai dengan lesi kulit dan kecacatan. Satu pengobatan baru adalah terapi multiobat, (MDT) – kombinasi dari tiga pil, dua di antaranya diminum sebulan sekali dan satu lagi setiap hari.

Pengobatan ini memiliki dampak yang sangat besar dalam menghentikan perkembangan penyakit, membawa sedekat mungkin dengan penyembuhan dan mencegah kecacatan di antara mereka yang terkena dampak.

Tapi cara ini belum bisa menghentikan munculnya kasus baru, jelas Venkata Pemmaraju, Ketua Tim Program Kusta global WHO.

Tantangan lama

Ada sejumlah faktor yang memengaruhi, sehingga penyakit ini suit diobati.

M Leprae bereplikasi sangat lambat, perlu waktu antara 2 – 20 tahun sebelum orang yang terinfeksi menunjukkan gejala penyakit tersebut.

Waktu inkubasi rata-rata (waktu antara paparan bakteri dan gejala pertama kali muncul) untuk penyakit ini adalah lima tahun, dan dalam kasus yang jarang terjadi, pasien mungkin tidak menunjukkan gejala selama dua dekade.

Belum memungkinkan bagi peneliti untuk mengembangkan bakteri penyebab kusta di cawan petri, jadi mereka menggunakan armadillo untuk mempelajarinya “Bakteri ini memiliki waktu inkubasi yang lebih lama,” kata Sunkara.

“Diperlukan waktu sekitar 14 hari bagi satu bakteri untuk membelah menjadi dua di dalam tubuh, dibandingkan dengan bakteri penyebab penyakit lain yang dapat berlipat ganda dalam hitungan menit,” katanya.

Waktu inkubasi yang lama tidak hanya menjadi masalah bagi pasien, tetapi juga orang-orang di sekitarnya. Selama ini, pasien yang tidak tahu bahwa dirinya telah terinfeksi dapat menularkankan kepada orang lain, terutama kepada kontak dekat seperti anggota keluarga.

Masalah lainnya adalah resistensi antibiotik. Pengobatan asli kusta adalah antibiotik dapson, yang ditemukan efektif melawan bakteri pada tahun 1940-an. Namun, pada 1960-an, obat ini menjadi kurang efektif.

Pendekatan modern yang menggunakan beberapa antibiotik secara bersama-sama untuk mencegah perkembangannya kembali resistensi, tetapi ini tetap menjadi perhatian yang berkelanjutan.

Di sisi lain, dengan diagnosis dan pengobatan dini, kusta jauh lebih mudah untuk dihilangkan. Sayangnya, mendiagnosis kusta sangat sulit. Saat ini, metode standarnya adalah melakukan biopsi.

Dengan teknik ini, sayatan kecil dibuat pada lesi kulit, di mana darah diambil dan cairan jaringan serta pulp dikumpulkan untuk diuji di bawah mikroskop. Tetapi metode ini melelahkan dan mahal, membutuhkan keahlian laboratorium dan teknis.

Cara ini sangat menantang di daerah pedesaan, di mana fasilitas laboratorium tidak selalu tersedia, serta di negara berpenghasilan rendah di mana kusta lazim dan sumber daya terbatas. “Akibatnya, banyak pasien didiagnosis terlambat ketika kerusakan saraf dan kulit telah terjadi,” kata Sunkara.

Masalah ini diperparah oleh fakta bahwa para ilmuwan masih belum mengetahui dengan pasti bagaimana kusta menyebar.

Baru-baru ini para ilmuwan juga menemukan bakteri kusta ini pada tupai merah yang tinggal di Inggris, tetapi meskipun telah dilakukan upaya ekstensif, belum ada pembawa hewan lain yang ditemukan.

Bahkan ada anggapan bahwa tupai merah mungkin bertanggung jawab atas penyebaran penyakit di Eropa Abad Pertengahan.

Kemungkinan lain reservoir alami lain untuk bakteri tersebut mungkin ada dan bahkan ditemukan bertahan hidup di tanah menurut sampel yang dianalisis dari Inggris, Bangladesh, dan India.

Namun, seperti halnya trenggiling atau armadillo, tidak jelas bagaimana kumpulan kusta liar ini dapat mempengaruhi penularannya pada manusia.

“Untuk mencegah penyebaran kusta, pada tahun 2018, WHO memperkenalkan intervensi yang signifikan – kontak dekat pasien kusta dilacak dan diberi rifampisin dosis tunggal,” kata Pemmaraju.

Cara ini memiliki efek perlindungan sekitar 55-60%. Namun, karena pandemi mengganggu upaya untuk mendeteksinya, sebanyak 140.000 kasus tidak terlacak di seluruh dunia, yang berdampak pada penyebaran kusta.

“Dengan asumsi setiap pasien kusta memiliki 10 kontak, itu lebih dari 1,5 juta orang yang berisiko terkena kusta karena mereka belum dapat menggunakan rifampisin dosis tunggal,” kata Smith.

Pengobatan rifampisin memiliki dampak yang signifikan di negara-negara seperti Ghana, kata Benedict Quao, yang memimpin Program Pengendalian Kusta Nasional di Ghana, yang merupakan anggota Kemitraan Global untuk Bebas Kusta.

Untuk mempelajari penyakit dan perkembangannya serta mengembangkan tes diagnostik, para ilmuwan seringkali perlu menyuntikkan M. leprae ke trenggiling, sebuah teknik yang pertama kali dicoba pada tahun 1971.

Cakrawala baru

Sejak tahun 2000, Yayasan Novartis telah bermitra dengan WHO, memasok obat-obatan gratis secara global untuk terapi multi-obat.

Pada Februari 2022, mereka bermitra dengan Fiocruz untuk penelitian yang menggunakan kecerdasan buatan (AI) dalam mempercepat diagnosis kusta. “Saya menyebutnya menerapkan teknologi canggih untuk penyakit kuno,” kata Sunkara.

Setidaknya ada 20-30 penyakit kulit lain yang memunculkan bercak putih di kulit, kata Sunkara.

Menggunakan algoritma kecerdasan buatan (AI) untuk menganalisis cara cahaya memantulkan secara berbeda dari permukaan setiap penyakit kulit, memungkinkan untuk mengidentifikasi kusta, membedakannya dari kondisi serupa lainnya dengan jauh lebih akurat.

Studi mereka, yang diterbitkan di Lancet Regional Health, mematok akurasi sebesar 90% – tetapi dengan 1.229 gambar kulit, kumpulan data saat ini masih kecil.

Jika berhasil dalam skala yang lebih besar, suatu hari nanti mungkin akan menjadi alat yang berguna untuk membantu mempercepat diagnosis dan pengobatan. (BBC Indonesia / INR)

Editor Iman NR

Iman NR

SELENGKAPNYA
Back to top button