Perayaan Isra Mikraj Boleh Sepanjang Tidak Langgar Syariat
Tanggal 27 Rajab merupakan hari penting di dalam kalender Islam. Sebab pada hari itu terjadi peristiwa besar Isra Mikraj yang menghasilkan perintah salat lima waktu. Bagi Muhammadiyah, perayaan itu dibolehkan sepanjang dalam peringatan itu tidak ada ritual atau prosesi yang melanggar syariat.
Dalam peristiwa Isra Mikraj yang diperkirakan terjadi antara tahun 620-621 Masehi, Nabi Muhammad SAW diperjalankan dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha dan diangkat ke Sidratul Muntaha menemui Allah. Alquran mengabadikan momen ini dalam ayat pertama Surat Al-Isra’.
Di berbagai negara mayoritas muslim, peringatan Isra Mikraj dilakukan setiap tahun terutama negara seperti Palestina, Chechnya, hingga negara di kawasan Maghreeb Afrika Utara.
Di Indonesia, masing-masing suku memiliki tradisi peringatan Isra Mikraj sendiri sebagaimana Rejeban Peksi Buraq di Yogyakarata, Nganggung di Bangka Belitung, Rejeban di Cirebon, Nyadran dan lain sebagainya.
Baca:
Muhammadiyah Membolehkan Perayaan Isra Mikraj?
Bagaimana pandangan keagamaan Muhammadiyah sendiri terhadap meramaikan perayaan Isra Mikraj? Jawabannya ternyata sama dengan hukum merayakan maulid Nabi, yaitu boleh dengan catatan.
“Peringatan Isra Mikraj dalam Putusan Muhammadiyah tidak termasuk bidah karena termasuk ibadah muamalah, tapi tentu kalau dalam Muhammadiyah tidak ada ritual-ritual tertentu, hanya sekedar memanfaatkan hari-hari besar agama Islam itu untuk tabligh akbar, mengadakan diskusi, bedah buku dan lain sebagainya mengungkap makna daripada Isra Mikraj,” kata Wakil Ketua Lembaga Dakwah Khusus Pimpinan Pusat Muhammadiyah Agus Tri Sundani seperti dikutip MediaBanten.Com dari web muhammadiyah, Kamis (11/3/2021).
Menurut Agus, kebijakan PP Muhammadiyah itu termaktub dalam model pengembangan dakwah pada dokumen Tanfidz Keputusan Muktamar Satu Abad Muhammadiyah (Muktamar ke-46) di Yogyakarta tahun 2010.
Dalam putusan tersebut memang tercatat poin yang berbunyi, “Melaksanakan pengajian-pengajian umum dalam memperingati hari besar Islam sesuai tema peristiwa baik dengan mubaligh setempat maupun mendatangkan dari Cabang dan Daerah atau lainnya dari lingkungan Persyarikatan.”
“Jadi ya tidak apa-apa selama perayaannya tidak melanggar syari’at tertentu,” tutup Agus. (muhammadiyah.or.id / IN Rosyadi)