Pupuk Kimia: Pembunuh Lahan Subur secara Perlahan

Sejak era Revolusi Hijau di pertengahan abad ke-20, pupuk kimia telah menjadi bagian tak terpisahkan dalam sektor pertanian global.
Pada masa itu, pupuk kimia muncul sebagai solusi instan yang revolusioner untuk meningkatkan hasil panen secara drastis dan mempercepat pertumbuhan tanaman.
Penulis: Fathia Adhifa – Prodi Agribisnis Fakultas Sains dan Teknologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta*)
Dalam jangka pendek, hasil pertanian yang diberi pupuk kimia memang melonjak signifikan, memenuhi kebutuhan pangan yang terus meningkat.
Bahkan, seperti dikutip dari Jurnal Analis Kebijakan, dalam beberapa tahun terakhir, pupuk menyumbang sekitar 20-40% terhadap peningkatan produksi tanaman, menunjukkan peran dominannya.
Tanaman membutuhkan zat makanan yang seimbang atau dikenal sebagai unsur hara, agar dapat tumbuh optimal.
Dilansir dari Risso-Chemical, pupuk adalah pendukung pertumbuhan optimal pada tanaman yang mengandung unsur hara esensial seperti nitrogen (N), fosfor (P), dan kalium (K).
Unsur-unsur ini ditakar sesuai kebutuhan dan diserap langsung oleh akar tanaman, sehingga mempercepat proses pertumbuhan.
Nitrogen secara spesifik membantu mempercepat pertumbuhan daun dan batang, memberikan vigor vegetatif.
Fosfor berperan penting dalam memperkuat sistem perakaran dan mendorong pembentukan bunga serta buah.
Sementara itu, kalium meningkatkan ketahanan tanaman terhadap berbagai penyakit, serangan hama, dan stres lingkungan.
Kombinasi unsur-unsur ini memungkinkan pupuk kimia memberikan dorongan pertumbuhan yang cepat dan terlihat nyata.
Meskipun pupuk kimia yang juga dikenal sebagai pupuk sintetis atau anorganik sangat efektif mempercepat pertumbuhan tanaman, ia menyimpan ancaman tersembunyi terhadap kesuburan tanah dalam jangka panjang.
Di beberapa wilayah di Indonesia, penggunaan berlebihan dari pupuk tersebut telah secara nyata menyebabkan penurunan kualitas tanah.
Penggunaan secara terus-menerus dan berlebihan dapat menyebabkan menurunnya kesuburan dan kerusakan struktur tanah, serta mengganggu keseimbangan mikroorganisme di dalamnya.
Hal ini terjadi karena kandungan nitrogen dan fosfor yang tinggi dalam pupuk kimia dapat menyebabkan perubahan signifikan pada struktur tanah.
Kondisi ini dapat memicu ketimpangan hara atau kekurangan hara lainnya, karena tanaman cenderung menyerap unsur hara yang berlimpah saja.
Lebih jauh, penggunaan berlebihan ini juga menyebabkan menurunnya kandungan bahan organik tanah, padahal bahan organik adalah fondasi vital bagi kesehatan dan kesuburan tanah.
Tanah yang kehilangan bahan organiknya akan menjadi padat, miskin hara, dan kurang mampu menahan air, mirip dengan “tanah yang kelelahan” dan kurang berdaya.
Salah satu dampak yang paling nyata adalah pencemaran air tanah dan permukaan. Ketika sisa pupuk yang tidak terserap tanaman terbawa air hujan ke sungai, danau, atau badan air lainnya.
Kandungan nitrogen dan fosfat yang tinggi di dalamnya dapat memicu pertumbuhan alga secara berlebihan. Fenomena ini dikenal sebagai eutrofikasi.
Pertumbuhan alga yang masif ini menyebabkan kekurangan oksigen (hipoksia) dalam air, yang secara fatal membunuh ikan dan organisme air lainnya.
Ini mengganggu keseimbangan ekosistem perairan secara drastis, mengubah sungai dan danau menjadi “zona mati” biologis.
Selain mencemari air, penggunaan pupuk kimia juga berkontribusi signifikan terhadap perubahan iklim.
Proses pemecahan senyawa nitrogen di dalam tanah yang diuraikan oleh mikroba akan menghasilkan gas rumah kaca berupa nitrous oxide (N₂O). Gas N₂O ini memiliki potensi pemanasan global yang jauh lebih besar dibandingkan karbon dioksida (sekitar 300 kali lebih kuat dalam skala 100 tahun).
Emisi ini mempercepat krisis iklim yang kini tengah dihadapi dunia. Dengan demikian, penggunaan pupuk kimia yang berlebihan tidak hanya mengancam produktivitas pertanian.
Tetapi juga memperburuk kerusakan lingkungan dalam skala yang jauh lebih luas dan global.
Demi menjaga kelanjutan sektor pertanian dan memulihkan kesuburan tanah yang terus menurun, kini saatnya kita bergeser dari pola pertanian yang sangat bergantung pada bahan kimia.
Kita perlu beralih ke pendekatan yang jauh lebih ramah lingkungan. Berbagai alternatif telah berhasil diterapkan di banyak wilayah, membuktikan bahwa kita bisa tetap produktif sembari melindungi ekosistem tanah yang sangat vital.
Salah satu fondasi utama transisi ini adalah penggunaan pupuk alami atau organik, seperti kompos, pupuk kandang, dan limbah hijau.
Pupuk jenis ini tak hanya menyediakan nutrisi lengkap, tapi juga berperan besar dalam memperbaiki struktur tanah. Ini berarti daya serap air tanah akan meningkat, dan lingkungan menjadi lebih ideal untuk pertumbuhan mikroba tanah yang bermanfaat.
Kehadiran mikroba ini sangat penting untuk menjaga kesehatan tanah dan memastikan siklus nutrisi alami berjalan dengan baik.
Pendekatan menjanjikan lainnya adalah implementasi sistem pertanian terpadu. Sistem ini mengintegrasikan berbagai elemen, misalnya pengolahan limbah ternak dan ikan, untuk dijadikan sumber nutrisi bagi tanaman.
Dengan siklus alami ini, ketergantungan pada pupuk kimia bisa ditekan. Selain itu, praktik rotasi tanaman dan penanaman tanaman penutup sangat efektif.
Rotasi tanaman membantu menjaga keseimbangan nutrisi tanah dan mencegah hama/penyakit, sementara tanaman penutup menstabilkan struktur tanah, mencegah erosi, dan bahkan meningkatkan kandungan nitrogen melalui fiksasi biologis.
Tak kalah penting adalah pupuk hayati yang mengandung mikroorganisme bermanfaat, seperti bakteri pelarut fosfat dan fiksator nitrogen.
Mikroorganisme ini bekerja sama dengan akar tanaman untuk mengoptimalkan penyerapan nutrisi dan meningkatkan daya tahan tanaman terhadap kondisi ekstrem seperti kekeringan atau penyakit, membuat tanaman lebih kuat dan adaptif.
Di Indonesia, banyak contoh nyata yang menunjukkan keberhasilan pergeseran menuju pertanian berkelanjutan ini.
Gerakan petani organik di Bali, yang diinisiasi oleh Yayasan IDEP Selaras Alam, terus berlanjut dengan praktik pertanian tanpa kimia, memanfaatkan kompos dan pupuk kandang untuk kesuburan tanah, seperti yang dilansir dari artikel Mongabay.
Selain itu, pengembangan dan penggunaan pupuk hayati oleh Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) telah menunjukkan hasil signifikan dalam meningkatkan produksi padi.
Hal itu termasuk melalui kolaborasi dengan BULOG di wilayah seperti Bekasi dan Karawang, yang dilaporkan oleh Kabar Bisnis menunjukkan peningkatan produksi padi hingga 67% dengan adopsi teknologi pupuk hayati.
Dengan menggabungkan berbagai alternatif ini dalam satu sistem pertanian, kita tidak hanya dapat mengurangi ketergantungan terhadap pupuk kimia, tetapi juga membangun pertanian yang jauh lebih tangguh, efisien, dan berkelanjutan.
Solusi ini tentu saja tidak bisa berdiri sendiri dan harus didukung oleh edukasi intensif kepada para petani, memastikan mereka memiliki pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk menerapkan praktik-praktik baru ini.
Selain itu, dukungan kebijakan dari pemerintah juga krusial baik dalam bentuk insentif maupun regulasi yang mempromosikan pertanian berkelanjutan.
Terakhir, inovasi teknologi lokal yang mudah diakses dan diterapkan oleh petani menjadi kunci sukses.
Masa depan pertanian tidak bisa lagi hanya bertumpu pada kepraktisan jangka pendek. Diperlukan perubahan paradigma menuju sistem yang mengedepankan keberlanjutan, keseimbangan ekosistem, dan kemandirian petani.
Berbagai alternatif seperti pupuk organik, hayati, dan pendekatan pertanian terpadu harus mulai dijadikan prioritas dalam kebijakan dan praktik lapangan.
Dengan demikian, kita tidak hanya menjaga produktivitas pangan hari ini, tetapi juga mewariskan tanah yang sehat dan produktif bagi generasi mendatang.
Editor: Abdul Hadi