Sesungguhnya terlalu biasa mencatat berbagai peristiwa besar di sekitar kita. Terlebih Banten, dengan rentang waktu yang panjang, pastilah peristiwa dramatik atau heroik yang masih terekam dalam ingatan, mewarnai narasi kolektif Banten (sejarah lokal).
Oleh: Moh. Ali Fadilah *)
Penting memang, namun belum tentu dari perspektif lain. Tetapi di akhir tahun 2012, ada dua momentum substantif, jika tak layak disebut extra-ordinary, dalam berkebudayaan di kalangan pendidik.
Pertama, pada awal September, Ikatan Guru Indonesia (IGI) Wilayah Banten bersarasehan mengusung tema “Membangun pendidikan karakter bangsa melalui budaya dan kearifan lokal” di Kota Tangerang.
Ada yang menarik untuk diingat, ternyata pesertanya bukan cuma guru, tetapi juga dosen, budayawan, seniman dan juga pengusaha turut mengkaji pentingnya sejarah lokal sebagai acuan identitas daerah.
Pada sarasehan itu, Dr. Winarno, dari Universitas Multimedia Nusantara mengangkat isu betapa pentingnya kearifan lokal bagi pembangunan karakter bangsa, namun masih banyak kendala untuk meningkatkan kinerja pembelajaran kearifan lokal.
Maka, aplikasi teknologi informasi dan komunikasi dipromosikan sebagai terobosan untuk menjembatani kesenjangan pengetahuan sejarah dan budaya lokal. Setidaknya antara pendidik dan peserta didik, juga antara pakar dan awam.
Kedua, pada 13 November 2012 bertempat di Kota Serang, Majelis Guru Mata Pelajaran (MGMP) Sejarah se-Provinsi Banten difasilitasi oleh Dinas Pendidikan Provinsi Banten menggelar Seminar Pendidikan Sejarah bertajuk “Mengintegrasikan Sejarah Lokal Banten dalam Pembelajaran Sejarah di Sekolah”.
Patut juga dicatat sebagai peristiwa bersejarah, karena untuk pertama kalinya saya mengikuti seminar sejarah yang dihadiri oleh sekitar 200 guru (SMA dan SMP) mewakili kabupaten / kota di Provinsi Banten, dengan narasumber yang interdisipliner: ilmu pendidikan dan ilmu sejarah.
Dalam presentasi Prof. Dadang Supardan dari UPI Bandung saat seminar terungkap bahwa kepentingan sejarah lokal terletak pada betapa potensialnya kearifan lokal dalam keseluruhan sejarah Banten.
Oleh karenanya, berdasarkan pandangan akademis itu, perlu mengusulkan model pembelajaran bermakna untuk menyempurnakan pendekatan konstekstual dan transfer pengetahuan dalam pendidikan karakter.
Pada kesempatan itu, Prof. Nana Supriatna dari kampus yang sama, juga menggambarkan kearifan lokal masyarakat Baduy dengan contoh aplikasinya dalam Pendidikan IPS di tingkat sekolah mengengah.
Mencermati dua peristiwa di atas timbul pertanyaan, jika para guru telah terbekali model-model pembelajaran kearifan lokal yang dapat diaplikasikan dalam proses belajar-mengajar, lantas apa yang dilakukan oleh sejarawan untuk mengkontribusikan hasil pengkajian dan penelitian sejarah, serta elaborasinya bagi dunia pendidikan di Provinsi Banten, setidaknya bagi para guru yang memerlukan informasi kesejarahan lokal?
Kemudian, bagaimana dengan kelangkaan sumber sejarah, belum mapannya struktur historiografi Banten, dan kesulitan menemukan referensi sejarah lokal bagi pendidikan menengah?
Pertanyaan di atas, biarlah dulu mengendap dalam memori kita, karena yang lebih penting saat ini bagaimana mengapresiasi kinerja guru memainkan peran signifikan dalam mengharumkan nafas kebudayaan daerah.
Dengan semangatnya itu, tidak dapat disangkal, guru adalah juga sebuah faktor dalam sistem budaya, terutama dalam proses tumbuhnya culture tree. Intinya, mereka juga aktor utama dalam menggali dan mengembangkan jati diri dan identitas justru dimulai dari usia sekolah.
Dari perspektif itu, guru adalah kelompok yang sadar, sekaligus trend-setter dalam mengukuhkan pentingnya educated awareness.
Motivasi untuk memperjuangkan pendidikan karakter demikian kuat, karena kesadaran konstruktif guru berangkat dari rasa galau melihat fenomena usia sekolah yang cenderung berada di track lain dari tujuan pendidikan, menjauh dari performance tiga matra pendidikan: cerdas, terampil dan berkepribadian.
Kegelisahan seorang pendidik dengan begitu patut mendapat tempat dalam cita pikir kita, karena hingga kini pembelajaran sejarah masih bergantung pada historiografi konvensional, keberpihakan pada tradisi besar, dan formalitas naratif sejarah.
Maka wajar apabila ada kegamangan dalam mentransfer pengetahuan sejarah, karena peserta didik hanya “mampu menghafal tetapi tidak nalar”. Terlebih lagi, komponen utama dalam pembelajaran sejarah: guru, siswa, bahan ajar, media, dan metode tidak lagi korehen satu dan lainnya dalam sistem pengajaran sejarah.
Demikian pula bagi peserta didik, pelajaran sejarah ibarat produk kadaluwarsa, selalu bermula dari peristiwa yang pernah terjadi di masa lalu, sudah tentu tidak mengundang selera dan bahkan tidak membangkitkan kreativitas untuk berinovasi, sehingga kandungan nilai, pengetahuan dan substansi sosio-kultural dari berbagai peristiwa sejarah jauh dari kebermaknaan.
Implikasinya, pelajaran sejarah tetap bertahan sebagai kisah kronologis yang kaku, dipaksa terpisah antar satuan waktu oleh kinerja disiplin sejarah naratif.
Dalam kondisi disparitas ruang sejarah dan pendidikan ini, kesadaran terdidik dari profesi guru karenanya patut dihargai, sebab bagi mereka pengabdian tidak cuma mengajar dan mendidik, tetapi berdampak ganda, khususnya mengacu pada proses afektif dan psikomotorik bagi peserta didik; generasi yang akan merawat kontinuitas kebudayaan dalam konteks bermasyarakat dan berbangsa.
Dengan mengusung tema kearifan lokal, semangat profesional guru telah menunjukkan betapa kebudayaan etnik dipandang sebagai faktor penting dalam pengayaan identitas dan penguatan jati diri.
Gerakannya memang perlahan, namun terus mengalir memberi darah segar untuk membentuk cabang dan ranting budaya daerah, karena dinamikanya berpangkal dari gerakan pembelajaran bermatra “kelokalan” pada level pendidikan menengah, apakah melalui slogan local genius ataupun local wisdom.
Tetapi kedua isu itu mengisyaratkan perlunya pembelajaran “sejarah lokal” bagi generasi kini dan mendatang.
Sadar atau tidak, gerakan kelompok intelektual guru pada penggalian nilai kelokalan itu sedang menuju komitmen massal, karena di kalangan mereka kini telah tertanam anggapan bahwa kebudayaan merupakan faktor dominan dalam pembangunan karakter bangsa.
Terkait atau tidak, metaphor “If culture stops, the nation is lost and the world dies” tampaknya mulai dipahami sebagai cultural early warning system menghadapi mesin giling global yang mengubah semangat dari kesetaraan menuju daya saing.
Tingginya frekuensi aktivitas berkebudayaan di kalangan guru mesti dilihat sebagai bentuk cultural resistance dalam domain sejarah yang didedikasikan bagi dunia pendidikan.
Mengingat itu, dalam retrospektif saya terasa bahwa denyut nadi kebudayaan kini mulai nampak ritmenya, bersumber dari akar tradisi yang menyejarah, dan merambat pada sebuah batang pohon budaya sendiri.
Tetapi mungkinkah, rancang bangun local culture tree itu akan terwujud dalam bentuknya yang khas?
Bergantung pada semangat dari trend-setters pendidikan: guru, dosen, peneliti dan juga lembaga pendidikan tinggi yang berkomitmen menghasilkan tenaga pengajar di bidang pendidikan sejarah, untuk terus memasok energi pembelajaran sejarah lokal dalam proses pencapaian kemajuan peradaban di Provinsi Banten.
Lantas apa yang ada dalam benak kita untuk menjawab tantangan global yang menginspirasi setiap penataran, sarasehan, dan seminar sejarah lokal?
Apalagi di awal Milenium III ini, sudah dicanangkan kurikulum berbasis ‘Merdeka Belajar Kampus Merdeka’ (MBKM), mestinya muatan Sejarah Lokal memberi posisi tawar bagi setiap Perguruan Tinggi atau universitas di Banten untuk berkontribusi, setidaknya menawarkan pengetahuan sejarah lokal dalam jangkauan nasional dan internasional.
Argumentasi logis ini bisa jadi mengafirmasi bahwa perubahan paradigma dalam pembelajaran sejarah menjadi keharusan.
Kata kuncinya ada pada inovasi, dimana sejarah lokal sebagai salah satu komponen dalam subsistem pendidikan karakter.
Dengan aliran inovasi yang triple helix (pengajar, siswa, dan media), pengajaran sejarah harus dilandasi semangat mengintegrasikan kajian sejarah lokal di satu sisi dan pembelajaran sejarah di sisi lain.
Dimensi obyektivitas dan subyektivitas sejarah dalam kerangka sistem itu dapat dipertemukan dalam ruang ekstra-komunikatif antara pakar selaku penyedia pengetahuan, guru atau dosen sebagai intermediasi pembelajaran, dan peserta didik sebagai pengguna pengetahuan sejarah.
Harapan kita, interaksi antar ketiganya akan membawa seluruh komponen pendidikan menuju dinamika kebermaknaan dalam pembelajaran sejarah lokal. (***)
*) MOH. ALI FADILAH adalah Dosen Prodi Pendidikan Sejarah FKIP Untirta