Akhirnya, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI mengesahkan Rancangan Undang-undang (RUU) Tidak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) menjadi UU rapat paripurna di Gedung DPR RI, Jakarta, Selasa (12/4/2022).
RUU ini telah 6 tahun dibahas dan menjadi polemik berkepanjangan di antara politisi di Senayan dan elemen masyarakat.
“Kami minta persetujuan rapat paripurna untuk ini bisa disahkan di tingkat luas sebagai undang-undang,” kata Willy Aditya, Ketua Panitia Kerja (Panja) RUU TPKS.
RUU ini digambarkan sebagai penantian panjang korban, penantian perempuan Indonesia, kaum disablitas dan anak-anak Indonesia agar dilindungi dari para predator seksual yang bergentayangan.
Fraksi-fraksi di DPR aklamasi menyetujui pengesahaan RUU TPKS dengan ditandai ketukan palu dari Puan Maharani, Ketua DPR RI.
Willy menjelaskan UU TPKS ini merupakan undang-undang yang berpihak kepada korban. Melalui undang-undang ini pula “aparat penegak hukum akhirnya memiliki payung hukum atau legal standing yang selama ini belum ada” untuk menangani setiap jenis kasus kekerasan seksual.
“Rancangan undang-undang ini juga memuat tentang victim trust fund atau dana bantuan korban. Ini adalah sebuah langkah yang maju bagaimana kita hadir dalam memberikan perlindungan bagi warga negara Indonesia,” ujar Willy.
UU TPKS terdiri dari 8 BAB dan 93 pasal. Dalam proses penyusunannya, DPR dan pemerintah juga melibatkan 120 kelompok masyarakat sipil.
UU TPKS memasukkan sembilan bentuk tindak pidana kekerasan seksual, yaitu pelecehan seksual non-fisik, pelecehan seksual fisik, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan sterilisasi, pemaksaan perkawinan, kekerasan seksual berbasis elektronik, penyiksaan seksual, eksploitasi seksual dan perbudakan seksual.
Dibandingkan dengan usulan awal, ada dua poin yang dihapus, yaitu pemerkosaan dan aborsi.
Dalam pembahasannya, para pendamping korban kekerasan seksual mengeluhkan hal tersebut karena menurut mereka hingga kini tidak ada layanan dan prosedur aborsi aman bagi korban pemerkosaan, walaupun aturan aborsi sudah ada di Undang-Undang Kesehatan.
Willy Aditya mengatakan, keputusan itu diambil karena pidana pemerkosaan akan diatur dalam RKUHP dan aborsi telah ada dalam Undang-Undang Kesehatan.
“Kan tidak boleh dua norma hukum itu bertabrakan, jadi kita menggunakan undang-undang yang sudah existing.
“Kebetulan kita kan yang mewakili pemerintah juga, dalam hal ini Wamenkumham juga yang bertanggung jawab terhadap RKUHP pemerkosaan memang tidak dimasukkan karena penjelasan beliau ada di RKUHP dan yang kedua aborsi itu ada di Undang-Undang Kesehatan,” kata Willy.
Undang-undang terkait kekerasan seksual pertama kali diinisiasi Komnas Perempuan pada 2012, dengan nama awal RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS). Namun, baru meminta naskah akademiknya pada 2016, empat tahun setelahnya.
Di tahun yang sama DPR sepakat memasukkannya ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas. Presiden Joko Widodo pun menyatakannya dukungannya.
Pada 2017, DPR sempat menyepakati RUU PKS sebagai RUU inisiatif DPR. Namun, pada 2018, DPR memutuskan menunda pembahasan RUU yang dinilai kontroversial itu hingga Pemilu 2019 selesai.
Pembahasan RUU PKS pun tidak selesai di masa periode 2014-2019 dan akhirnya dilanjutkan ke DPR periode 2019-2024.
Sampai 2020, pro dan kontra masih mewarnai perjalanan RUU tersebut. Bahkan empat fraksi di DPR masih tidak mendukung RUU PKS masuk dalam Prolegnas 2021, hanya lima fraksi saja yang mendukung.
Fraksi yang keras menolak adalah PKS, sementara PPP, PAN, dan Demokrat, tidak secara tegas menyatakan diri mendukung RUU PKS. (Sumber: BBC / Editor: Iman NR)