Opini

Metaverse: Ketika Manusia Zaman Batu Membuli Pj Gubernur

Ketika SD, sekitar tahun 1983-an, alm. Halwani Michrob, arkeolog Banten yang tinggal dekat rumahku bercerita tentang suku Asmat. Suku di Irian Jaya (sekarang Papua) yang sangat tertinggal. Hingga tahun 1960-an, sebagian besar suku Asmat masih hidup di zaman batu atau megalitikum.

Oleh: Ucu Nur Arief Jauhar *)

Walau pun suku Asmat pertama ditemukan tahun 1904, secara keseluruhan baru diketahui hingga tahun 1980-an. Karena begitu luas areal yang ditempatinya. Ini berdampak terjadi banyak perbedaan budaya di antara sesama suku Asmat itu sendiri.

Entah bercanda atau tidak, menurut alm Halwani Michrob, ada suku Asmat menggambarkan kendaraan dewa berbentuk pesawat Cessna. Pesawat terbang kecil berpenumpang 2-6 orang.

Halwani menjelaskan, sekitar tahun 60-70-an, arkeolog barat dan misionaris sudah banyak yang menjelajahi Papua. Karena jalan darat kurang bagus, umumnya mereka menggunakan pesawat kecil. Pesawat Cessna itu.

Pesawat Cessna yang berseliweran di angkasa itu terlihat oleh beberapa kampung suku Asmat. Disebut burung juga tidak masuk akal mereka. Terlebih terlihat ada penumpangnya.

Karena keterbatasan pengetahuannya, maka disimpulkan mereka, pesawat Cessna itu kendaraan para dewa untuk wara-wiri kesana-kemari.

Entah kenapa saat membaca riuh-rendah SMA Metaverse yang dicanangkan PJ Guburnur Al Muktabar, daku jadi teringat cerita ini.

“Solusinya kita akan melakukan (pembelajaran) SMA secara online, digitalisasi yang endingnya kita sebut metaverse ke depan,” kata Al Muktabar dikutip dari Kompas.com 6 Juli 2022.

Perkataan Al Muktabar itu sangat jelas. Pemprov Banten tidak menyelenggarakan SMA Metaverse, tapi SMA online atau SMA Digitalisasi.

SMA online ini secara bertahap menjadi SMA Metaverse. Entah setahun kemudian atau 10 tahun kemudian. Jadi yang bakal dibuat itu SMA Online, bukan SMA Metaverse.

Anehnya, perkataan Al Muktabar ini jadi berubah diparagraf berikutnya dan berita-berita selebihnya. Seperti dipastikan yang bakal dibuat adalah SMA Metaverse.

Terlebih kemudian Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Dindikbud) Banten juga mengamini. Bahkan menyebutkan ada sekitar 12 SMA Metaverse yg bakal dilaunching tahun ini.

Heboh lah dunia pendidikan. Bukan hanya di Banten, tapi hingga nasional. Semua terkekeh-kekeh dan cenderung membuli, Banten yang dinilai terbelakang dalam teknologi informasi mau bikin SMA Metaverse.

Seperti Ikaros putra Daidalos mimpi terbang menggapai matahari. PJ Gubernur pun jadi bahan bulian disela-sela ngopi.

Tapi sebenarnya, mampukah Banten bikin SMA Metaverse? Apa sih metaverse itu?

Ketika akan menjelaskan apa itu metaverse, daku teringat kisah suku Asmat dan pesawat Cessna tadi. Apakah pengetahuan yang minta penjelasan itu sudah mencukupi atau masih tertinggal di zaman batu (megalitikum)?

Bisa repot menjelaskannya pada orang zaman batu. Sama repotnya menjelaskan pesawat Cessna kepada suku Asmat yang sudah memvonis sebagai kendaraan para dewa. Bisa-bisa daku dihujat kafir dan menghina kepercayaan orang lain.

Metaverse atau dialihkan ke bahasa Indonesia menjadi Metamesta atau Meta Semesta adalah bagian dari internet atau dunia maya yang dibuat semirip mungkin dengan dunia nyata. Atau kerennya disebut Realitas Virtual (VR/Virtual Reality). Namanya juga dibuat semirip mungkin, bisa jadi tidak mirip sama sekali.

Gambaran paling simpel adalah Game Online. Game dengan banyak pemain atau disebut Game Multiplayer. Umumnya disebut game bergenre MMO.

Setiap pemain login dengan mengunakan avatar dan bertemu dalam dunia virtual dengan pemain lain dari berbagai belahan dunia. Dan bisa berinteraksi secara langsung (real time).

Baik itu ngobrol via text (chat), via suara, video call, dan berdagang. Nah, kalau ada sekolah menolak Game Online, pasti gak paham Metaverse.

Contoh yang mirip dengan dunia kita adalah game online Second Life, There Con. Sedangkan yang tidak mirip dunia kita atau disebut genre fantasi lebih banyak. Ada The Last War, Gaje Of Thrones. Bahkan ada yang khusus 18+.

Ini semua berbasiskan 3D terkeren. Karakter manusia sudah mirip banget tampilannya.

Sedangkan 3D yang jauh dari kemiripan dengan kita ada Roblox, Mincecraft yang bentuk karakternya mirip permainan Lego.

Untuk tampilan 2D sendiri banyak. Ada Legua of Angel, Three Kingdoms, Tale of Pirates dan lainnya.

Kalau metaverse 3D dan 2D ada, apakah ada yang 1D? Nah… Ini yang repot dijelaskan pada manusia megalitikum.

Metaverse pertama dikembangkan berbasiskan teks yang disebut MUDs dan MOOs. The Metaverse sendiri dikembangkan oleh Steve Jackson tahun 1978 dimilis BBS dan Illuminati Online. Tetap berbasis teks alias 1D.

Penjelasan ini pasti memumetkan SMA yang menolak Game Online dan tentu memusingkin manusia-manusia di zaman Megalitikum.

Jadi bisakah Banten membuat SMA Metaverse? Tergantung dari versi metaverse itu sendiri. Apakah mau 3D, 2D atau 1D? Apakah mau termasuk VR, AR, AI, econimic mod atau lainnya.

Lalu kita lihat sarana dan prasarananya. Pemprov Banten sudah punya 26 server. Ini tidak termasuk yang ada di BKD, Bapenda, BPKAD, LPSE dan Kependudukan.

Katanya juga masih ada juga beberapa OPD mengoperasikan servernya sendiri. So, jumlah server di Pemprov Banten bisa lebih dari 36-an unit. Dipakai buat apa aja? Kan gak jelas.

Belum soal bandwidth dan lainnya. Peralatan di Diskominfo Banten itu sudah melebihi tingkat ISP. Bahkan sudah layak jadi NAT. Artinya, dari sarana dan prasarana sudah sangat memungkinkan.

Balik lagi pada pertanyaan semula, mampukah Banten bikin SMA Metaverse? Jelas mampu. Bahkan super mampu. Tapi tidak bisa sekaligus dan terburu-buru seperti goreng cireng.

Ada tahapan yang harus dilalui. Bukan saja membuat Metaverse pendidikan itu butuh waktu, tapi mekanisme peraturan juga harus dilalui.

Ini mah Dindikbud Banten, entah Kadisnya, entah Sekdisnya, entah Kabidnya… udah kayak suku Asmat lihat pesawat Cessna aja.

Begitu denger bakal dianggarkan Rp20 miliar diperubahan, langsung aja dijadikan dewa itu metaverse. Disembah-sembah sebagai solusi. Tapi enggak ngerti apa itu metaverse dan mengabaikan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Makanya ditolak pusat.

Bahkan ketika SMA Metaverse sudah resmi dibatalkan, entah Kadis, entah Sekdis, entah Kabid, merubah seenaknya jadi SMA Terbuka. Jelas mengabaikan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Bagi suku Asmat yang di tahun 1960-an menganggap pesawat Cessna sebagai kendaraan para dewa, maka apa bedanya dengan pejabat zaman batu yang menganggap SMA Metaverse sebagai kendaraan nguasai APBD Rp20 miliar. Duit adalah dewa sebenarnya bagi Megalitikum Modern.

So, mem-buli SMA Metaverse hanya membuktikan pengetahuan kita baru sampai di zaman Megalitikum. (***)

*) Penulis adalah Ketua IESPA Banten, aktivis dan pengamat multi bidang.

Ucu Nur Arif Jauhar

Back to top button