Soroti Hak Asli Orang Papua, Raih Doktor di Universitas Airlangga
Roni Sulistyanto Luhukay, Dosen Fakultas Hukum Universitas Widya Mataram (FH UWM) berhak menyandar gelar Doktor dengan disertasi berjudul Perlindungan Hukum Hak Orang Asli Papua dalam Perspektif Otonomi Khusus.
Raihan itu usai lulus ujian terbuka (Promosi Doktor) di Aula Pancasila, FH Universitas Airlangga Surabaya, Rabu (12/7/2023).
Bertindak sebagai promotor adalah Prof Dr Tatiek Sri Djamiati dan ko promotor Dr Emanuel Sujatmoko.
Sidang terbuka Promovendus dipimpin oleh Dr. Enny Narwati. Dewan penguji terdiri atas Dr. Ghansam Anand, Prof Dr Muchamad Zaidun, Prof Dr Rahmi Jened, Prof Dr L Budi Kagramanto, Dr Sukardi, Dr Rr. Herini Siti Aisyah dan Indria Wahyuni PhD.
Dalam ujian terbuka ini, Promovendus menyampaikan penelitian disertasinya yang berjudul Perlindungan Hukum Hak Orang Asli Papua dalam Perspektif Otonomi Khusus.
Roni, dalam presentasinya menyampaikan bahwa penelitiannya ini memberikan gambaran konsep keberagaman dalam negara kesatuan yang setidaknya memberikan pembangunan otonomi khusus.
Pembangunan itu dalam sistem desentralisasi asimetris, dengan membangun konsep keberagaman yang tergambar dalam Bhineka Tunggal Ika yang setidaknya mampu menjawab berbagai problem yang terjadi.
“Pembentukan Otonomi Khusus Papua tidak lepas dari sejarah pelanggaran HAM, kesenjangan pembangunan, gerakan separatisme kemerdekaan serta pemerintah menyadari adanya perbedaan suku, kultur dan kebiasaan yang menjadi indikasi kuat pembentukan otonomi khusus tersebut,” kata Roni.
Setidaknya berbagai problem berkaitan dengan pilar penting dalam Undang-Undang (UU) Otonomi Khusus (Otsus) seperti pemenuhan hak-hak mendasar orang asli Papua tidak dibarengi dengan penafsiran yang jelas dan detail sehingga berhenti pada tataran impelementasi.
“Hasil penelitian ini menunjukan bahwa kegagalan memaknai enam prinsip yang di tuangkan dalam UU Otsus Papua berdampak pada terjadinya problematikan overlapping peraturan perundang- undangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah,” kata Pembina Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Tae Kwon Do UWM ini.
Karakteristik perlindungan hukum secara preventif dan represif juga mengalami kegagalan. Hal ini dapat di lihat dari turunan UU Otsus belum mampu memberikan eksistensi kepada orang asli Papua.
Hingga hari ini orang asli Papua masih terbelenggu dengan jaminan eksistensi yang diamanahkan Otsus.
Selain itu dalam perlindungan represif belum terbetuknya Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR).
“Problematika pengawasan pengellan otsus dimana adanya pemeliharaan isu keamanan untuk meningkatkan dana otsus dan mereduksi pengawasan masih terjadi hingga saat ini,” tegas Roni. (Siaran Pers Humas UWM)
Editor Iman NR