Badak Jawa di TN Ujung Kulon Ternyata Pemalu dan Sensitif
Badak Jawa atau Rhinoceros sondaicus yang bebadan besar dan hidup di Taman Nasional Ujung Kulon, Kabupaten Pandeglang ternyata bersifat pemalu, sensitif dan cenderung melukai diri sendiri jika keadaan stress.
Sifatnya itu yang menyulitkan untuk mendeteksi dan mendata jumlah sesungguhnya badak bercula satu ini. Pekiraan awal ada 67 badak, namun akhirnya-akhir ini mengemuka angka 71 badak.
Karena itu, rekaman kamera jebak yang dipasang di sejumlah lokasi di Taman Nasional Ujung Kulon yang menunjukan aktivitas anak badak merupakan kabar gembira yang berarti terjadi penambahan jumlah Badak Jawa (Baca: Kabar Gembira, Terekam Anak Badak Jawa di TN Ujung Kulon).
Rekaman itu menunjukan seekor anak badak berucala satu berjenis kelamin betina. Aktivitas anak badak Jawa itu terekam yang diperkirakan antara Juli – September 2023.
Badak Jawa merupakan satu dari dua jenis badak yang habitatnya hanya di Indonesia, dengan sebaran populasi saat ini hanya terbatas di semenanjung barat daya Pulau Jawa, di kawasan TNUK.
Badak bercula satu ini juga merupakan satu dari hanya lima spesies Badak yang tersisa di seluruh duni.
Dikutip dari web Kementrian Lingkungan Hidup, Badak Jawa berstatus Critically Endangered karena sebarannya sempit, jumlahnya kecil dan resiko yang tinggi.
Balai Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK) mengaku banyak kendala melakukan konservasi hewan bercula satu ini karena minimnya penelitian ilmiah yang mempelajari seluruh aspek perilaku Badak Jawa.
Perilaku Badak Jawa yang belum teridentifikasi detail, membuat habituasi dan pengelolaan konservasinya cukup sulit.
Satwa ini memiliki sifat pemalu dan sensitif, sehingga sedikit gangguan saja bisa membuat badak ini terganggu.
Bahkan, menurut Rois Mahmud, perwakilan dari Aliansi Lestari Rimba Terpadu (ALeRT), ada indikasi kecenderungan melukai dirinya sendiri jika mengalami stress.
Kondisi tersebut menjadi tantangan tersendiri bagi para pelaku konservasi dalam menjaga habitat dan populasi hewan besar bercula satu.
Perkawinan Sedarah
“Analisis genetik yang dilakukan bekerjasama dengan IPB menghasilkan kesimpulan jika kepunahan populasi bisa terancam oleh faktor depression in-breeding,” jelas Rois.
Dua haplotype yang berbeda terpisah secara geografis di dalam habitat. Dengan demikian, perkawinan sedarah sangat mungkin terjadi dan menjadi kendala yang cukup rumit.
Perkawinan sedarah pada populasi berpotensi menurunkan kualitas keturunan makhluk hidup. Karenanya perlu intervensi manusia dalam upaya meminimalkan dampak dari risiko tersebut.
Selain persoalan dari individu badak itu sendiri, kendala soal tumbuhan pakan Badak Jawa juga dihadapi TN Ujung Kulon. Keberadaan tumbuhan Langkap mengganggu pertumbuhan tumbuhan pakan badak.
Berbagai upaya telah dilakukan TN Ujung Kulon untuk membasmi tumbuhan Langkap ini, tetapi masih belum menemukan solusi yang tepat karena pertumbuhan Langkap sangat cepat.
TN Ujung Kulon sudah memiliki JRSCA yang kini sudah siap untuk digunakan. Walau begitu, masih ada beberapa bagian JRSCA yang harus disesuaikan dengan perilaku Badak Jawa yang sangat sensitif ini.
Paddock yang harus jauh dari lingkungan masyarakat dan aksesnya perlu diperbaiki lagi.
Direktur Jenderal KSDAE, Prof Satyawan memberikan arahan terkait beberapa hal. Pertama dan terutama adalah arahan terkait intervensi pada variabel-variabel Population Viability Assessment (PVA) yang dapat meningkatkan populasi Badak Jawa.
Prof Satyawan menjelaskan beberapa hal yang juga perlu terus dilakukan, antara lain strategi dan upaya penanganan indikasi perburuan yang sudah dilakukan saat ini perlu ditingkatkan lagi.
Kekurangan personel, minimnya fasilitas kerja serta pembiayaan harus segera tertangani. Eradikasi Invasive Alien Species (IAS) juga harus terus dilakukan agar dapat menjamin ketersediaan kebutuhan pakan badak di dalam habitat alaminya secara memadai.
Metode kerja di JRSCA perlu segera didiskusikan kembali dan ditindaklanjuti secara serius. JRSCA diharapkan dapat segera berfungsi pada tahun 2024. (Dari berbagai sumber / Rosyadi)
Editor Iman NR