Mengenal Karoshi, Budaya Kerja yang Bisa Berujung Kematian
Fenomena ‘karoshi’ atau kematian akibat bekerja yang terjadi di Jepang menjadi perbincangan hangat publik internasional.
‘Karoshi’ juga sering disebut aktivitas seorang karyawan yang bekerja sampai mati, karena sang karyawan terlalu banyak bekerja dengan jam kerja yang relatif terlalu panjang.
Selain itu, para karyawan di Jepang kebanyakan memiliki ikatan terlalu besar dengan pekerjaan. Hal inilah yang membuat mereka rela sering bekerja sampai lembur.
Fenomena ini menjadi isu yang hangat, hingga membuat Jepang mendapatkan julukan sebagai negara dengan penduduk yang gila kerja dan rela menghabiskan waktu untuk bekerja.
Sayangnya, kebiasaan gila kerja ini kerap kali menyebabkan kematian karena kelelahan. Kasus kematian karena terlalu banyak kerja inilah yang disebut sebagai ‘karoshi’.
‘Karoshi’ Pertama di Jepang
Di Jepang, karoshi pertama kali terjadi pada tahun 1969. Hal ini terjadi pada pria berusia 29 tahun yang pada saat itu bekerja di departemen pengiriman surat kabar di Jepang.
Ketika di kantor, pria tersebut mendadak terserang stroke dan dinyatakan meninggal karena terlalu berlebihan bekerja.
Sejak kejadian tersebut, fenomena ‘karoshi’ terus terjadi di Jepang karena para pegawai takut akan dipecat apabila kerja mereka tidak maksimal.
Mereka juga berharap bisa segera naik pangkat atau naik gaji dengan menunjukkan hasil kerja yang maksimal di hadapan atasan.
Sayangnya, kerja yang berlebihan ini terkadang membuat para pekerja di Jepang jatuh sakit.
Budaya Kerja yang Ketat
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) bersama-sama mengungkapkan bahwa pada tahun 2021, sekitar 750.000 kematian akibat karoshi secara global.
Penyebab kematian tersebut yaitu akibat stroke dan penyakit jantung sebagai akibat langsung dari bekerja selama 55 jam dalam satu minggu.
Fenomena ini mendapat perhatian yang nyata karena implikasinya terhadap kesehatan masyarakat dan kebijakan tempat kerja.
Faktor yang dinilai publik tentang fenomena karoshi ini di antaranya, jam kerja yang panjang, tekanan pekerjaan yang kuat, dan prosedur kerja yang tidak seimbang.
Oleh sebab itu, penting untuk mengenali tanda-tanda ‘karoshi’ dan mengambil langkah-langkah untuk mengatasi masalah yang memengaruhi kesehatan di tempat kerja.
Kebijakan Pembatasan Jam Kerja di Jepang
Pembatasan jam kerja membantu memastikan keselamatan dan kesehatan di tempat kerja, memberikan istirahat yang cukup di antara shift, dan memungkinkan pekerja untuk menyeimbangkan tanggung jawab keluarga dan pekerjaan.
Sosiolog Universitas Keio Junko Kitanaka mengatakan bahwa budaya Jepang yang suka bekerja sampai mati telah mendapatkan perhatian besar dalam dunia kerja secara internasional.
“Pada tahun 1990-an, cerita-cerita tentang pengusaha yang bekerja berjam-jam hingga akhirnya meninggal dunia, atau memilih mengakhiri hidup daripada kembali ke kantor, adalah fenomena budaya yang aneh,” kata Kitanaka di hadapan khalayak akademis di Eropa dan Amerika Utara, pada tahun 2021.
Kitanaka mengatakan mereka tidak memahami mentalitas orang-orang yang tidak mau pergi ke psikiater dan yang rela mati demi pekerjaan.
Selain itu, Kitanaka menyoroti Undang-Undang (UU) Reformasi Gaya Kerja yang diresmikan Presiden Jepang Shinzo Abe pada tahun 2018.
Dalam UU Reformasi Gaya Kerja di Jepang itu memberikan kebijakan bagi pengusaha agar memaksa karyawannya mengambil cuti, dengan 50 persen penggunaan cuti berbayar.
Namun, celah lain dalam undang-undang yang memungkinkan kerja berlebihan dibiarkan berlanjut.
Untuk pertama kalinya, pembatasan diberlakukan pada lembur kerja, namun yang ditetapkan sangat tinggi, yaitu 80 jam sebulan.
Artinya, pembatasan itu berlaku untuk yang perusahaan yang memberlakukan jam kerja di atas delapan jam sehari, dan lembur selama 60 jam seminggu.
Kebijakan Fleksibilitas Kerja di Indonesia
Berdasarkan penelitian Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) dan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), mengungkapkan bahwa arah dari UU Cipta Kerja ini menuju ke fleksibilitas kerja yang ditawarkan pada turunan UU Cipta Kerja.
Tepatnya, fleksibilitas kerja itu tercantum dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 35 tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja.
“Waktu kerja lembur adalah waktu kerja yang melebihi 7 jam dalam sehari dan 40 jam dalam satu minggu untuk 6 hari kerja dalam satu minggu.
Atau 8 jam dalam sehari dan 40 jam dalam satu minggu atau Waktu kerja pada hari istirahat mingguan dan/atau pada hari libur resmi yang ditetapkan pemerintah,” sebagaimana yang tercantum dalam PP Nomor 35 Tahun 2021 Pasal 1 Ayat 7.
Fleksibilitas kerja tersebut dinilai tidak memberikan perlindungan bagi pekerja, dan membuat pekerja terjebak dalam pola kerja yang eksploitatif.
Selain itu, penelitian ini membahas terkait sosialisasi Peraturan Pemerintah mengenai Waktu kerja dan istirahat karyawan dalam UU No. 13 Tahun 2013.
Hasil penelitian itu menunjukkan bahwa sebagian besar responden sudah mengetahuinya. Sedangkan masih ada responden yang mengaku belum mengetahui karena tidak pernah mencari tahu dan membaca mengenai aturan kerja, serta tidak pernah mendapatkan pemberian informasi maupun sosialisasi dari pemerintah dan perusahaan.
Implementasi Undang-undang Cipta Kerja diharapkan dapat semakin memberikan perlindungan terhadap masyarakat, khususnya terhadap pekerja.
Terkait dengan fleksibilitas kerja ini, perusahaan harus tetap memperhatikan porsi jam kerja. Sebab, jam kerja yang panjang dan beban kerja berlebih dapat berdampak pada kesehatan fisik dan mental pekerja.