Perumda NKR Tangerang Bantah Abaikan HAM Pedagang Pasar Kutabumi
Perusahaan Umum Daerah Pasar Niaga Kerta Raharja (Perumda NKR) membantah telah mengabaikan hak asasi manusia atau HAM pedagang dalam revitalisasi Pasar Kutabumi, Kecamatan Pasarkemis, Kabupaten Tangerang.
Perumda NKR Tangerang menilai pernyataan Haris Azhar, aktivis HAM tidak adil dan tidak masuk akal.
Pernyataan Perumda NKR Tangerang itu dikemukakan kuasa hukumnya, Deden Syukron, belum lama ini untuk mengklarifikasi pernyataan Haris Azhar soal pengabaian HAM pedagang Pasar Kutabumi (Baca: Haris Azhar: Pemkab Tangerang Abaikan HAM Pedagang Pasar Kutabumi).
Sebaliknya, Perumda NKR, BUMD milik Pemkab Tangerang yang bergerak menaungi pasar rakyat itu menyatakan bahwa para pedagang yang menolak revitalisasi yang telah abai dan melanggar kewajibannya terhadap negara yang kedudukannya dilaksanakan oleh Pemkab Tangerang.
“Jangan-jangan bukan pengabaian atau pelanggaran HAM. (Tapi) pelanggaran terhadap kewajiban dia (Pedagang) terhadap negara. Coba bayangkan ya, apakah kalau pengabaian HAM, mereka (Pedagang) berhak tinggal di situ terus-menerus begitu,” kata Deden.
Alasan Deden menuturkan hal itu, antara lain karena telah habisnya perjanjian masa pemanfaatan Pasar Kutabumi oleh sebagian pedagang yang berhimpun di Koperasi Jasa Pedagang Pasar Taman atau Kopastam.
Diketahui Kopastam merupakan pihak yang vokal menolak program revitalisasi Pasar Kutabumi. “Bagaimana negara bisa memperbaiki atau negara bisa melakukan revitalisasi di tanah milik negara yang telah disertakan modal kepada Perumda NKR?,” ujarnya.
Deden mencontohkan pemanfaatan Pasar Kutabumi ini, sama halnya seperti sebuah bangunan rumah kontrakan milik Perumda NKR dengan legalitas bukti kepemilikannya berupa sertifikat Penyertaan Modal Daerah atau PMD dari Pemkab Tangerang.
Bangunan itu sempat disewa yang salah satu pihaknya adalah Kopastam dan kini masa kontrak pemanfaatannya telah habis. Sehingga, otoritas pengelolaannya pun kini dalam kendali se-empunya alias Perumda NKR yang hendak merevitalisasi pasar di bawah naungannya itu.
“Masa kontraknya sudah habis, tapi anda gak boleh mengontrakan kepada pihak lain atau anda tidak boleh merevitalisasi kontrakan atau bangunan yang anda miliki. “Kan itu imposible kan, absurd dan tidak fair,” ungkapnya.
Haris: Walfare State
Haris Azhar sebelumnya mengkritik Pemkab Tangerang yang dinilai mengenyampingkan hak Pedagang Pasar Kutabumi dengan upaya mengambil alih secara sepihak melalui Perumda NKR.
Dia mensinyalir, Pemkab Tangerang membiarkan mobilisasi preman bayaran oleh kepala pasar sertanya dengan status negara membuat laporan polisi yang berujung pemidanaan tiga pedagang, di antaranya sempat ditahan selama 40 hari.
Kata Haris, Pemkab Tangerang sebagai wujud negara ini yang menganut konsep negara kesejahteraan atau walfare state, semestinya melindungi dan menjamin hak ekonomi Pedagang Pasar Kutabumi.
Di samping itu mereka adalah bagian daripada pedagang yang sempat mengalami serangan oleh ratusan preman dari Ormas bayaran dan disinyalir dimobolisasi kepala pasar setempat.
Saat itu, puluhan mengalami luka, kios atau lapaknya rusak, barang dagangan dijarah dan bahkan salah satu pedagang sempat diculik.
“Pasar Kutabumi itu soal bagaimana otoritas negara atau Pemda termasuk pihak swasta dalam memperlakukan para Pedagang yang sudah berjualan lama di sana. Nah saya pikir ini kan bukan tanah kosong, sudah ada para pedagang yang sejak lama di sana yang juga membeli. Hak ekonomi mereka itu harus dijaga,” kata Haris.
Direktur Lokataru ini menyebut, Pemkab Tangerang sebagai fasilitator mustinya mendahulukan kepentingan Pedagang. Maka dalam menangani konflik, yang mestinya didorong adalah bagaimana proses mediasi dan dialog disana berjalan. Sembari memastikan bahwa hak asasi para pedagang itu, hak ekonominya dilindungi.
Dalam pengamatan Haris, di masa lalu para Pedagang itu telah berjasa dalam membangun Pasar Kutabumi untuk memanfaatkan ruang dan dibukanya fasilitas umum publik berupa pasar.
“Ada proses panjang para Pedagang yang sudah menghidupkan perekonomian dengan aktivitas perdagangan di pasar. Jadi hak pedagang, gak bisa maen diambil alih atau diganti dengan kios yang baru, itu gak bisa,” jelasnya.
Haris juga menyoroti adanya pemidanaan dalam proses tarik-ulur revitalisasi di pasar ini. Menurutnya dalam konteks HAM merupakan tindakan sewenang-wenang. Tindakan yang dimaksud itu salah satu salah satu unsurnya adalah motivasi.
“Jadi proses hukum pidana itu dijalankan dalam rangka urusan-urusan keperdataan. Maka itu patut dikatakan sebagai penahanan sewenang-wenang. Dan pedagang yang terjerat itu, harus dilepas jerat pemidanannya,” kata Haris.(Iqbal Kurnia)
Editor Iman NR