Internasional

Tewasnya Kawano Miki, Kegagalan UU Anti Penguntitan Jepang

Peristiwa penusukan yang menewaskan Kawano Miki (38) di distrik Hakata, Kota Fukuoka, Jepang pada 16 Januari 2023, seakan menggambarkan kegagalan undang-undang anti penguntitan untuk melindungi dari pembunuhan.

Yamamoto Saori, koresponden mengulas peristiwa tersebut di Nippon Hoso Kyokai (NHK) Jepang yang dikutip MediaBanten.Com, Minggu (5/2/2023).

Dia menulis, meski korban telah beberapa kali melaporkan pelaku kepada polisi dan perintah pembatasan dikeluarkan agar pelaku menjauh, serangan itu tetap tidak bisa dicegah.

Kawano Miki, 38 tahun, tengah menuju ke rumahnya di distrik Hakata saat ia ditusuk hingga tewas. Dua hari setelahnya, polisi menahan mantan kekasihnya, Terauchi Susumu atas dugaan pembunuhan.

Pria berusia 31 tahun yang bekerja di restoran itu diduga menusuk wanita tersebut belasan kali dan telah mengakui pembunuhan tersebut.

Kamera keamanan di dekat tempat kejadian perkara menunjukkan kedua orang itu tengah berjalan dan terlihat sedang berbicara. Terauchi tiba-tiba menarik Kawano, sebelum menusuknya.

Penyidik mengatakan dua orang tersebut berkenalan saat bekerja di restoran dalam grup yang sama. Mereka berkencan selama enam bulan hingga musim gugur lalu.

Kawano beberapa kali membuat laporan ke polisi sejak Oktober tahun lalu. Ia pertama memberi tahu polisi bahwa Terauchi mengambil telepon selulernya dan ingin mengakhiri hubungan dengan pria itu.

Wanita itu kembali meminta pertolongan tiga hari setelahnya. Polisi mengonfirmasi pesan teks dari Terauchi yang mengatakan beberapa hal seperti “saya tidak mau putus dengan kamu” dan “jika kamu membuat saya marah, saya tidak akan memaafkan kamu”.

Polisi memberi peringatan kepada pria itu dan menyarankan Kawano untuk sementara waktu pindah rumah dan ganti pekerjaan. Menurut polisi, pada saat itu Terauchi tampaknya mematuhi peringatan tersebut.

Pada akhir November, Kawano beberapa kali memberi tahu polisi bahwa Terauchi mendatangi tempatnya bekerja dan menekannya untuk memberi penjelasan mengapa ia melaporkan pria itu.

Terauchi juga menghubungi telepon seluler dan tempat kerja Kawano. Polisi kemudian mengeluarkan perintah pembatasan terhadap Terauchi agar menjauh dari Kawano berdasarkan UU antipenguntitan.

Polisi mulai berpatroli di wilayah dekat rumah Kawano dan secara rutin berkomunikasi dengan wanita itu.

Kawano juga diberikan perangkat darurat yang bisa mengirimkan sinyal bahaya kepada polisi dengan menekan sebuah tombol.

Korban diberikan perangkat darurat oleh polisi, tetapi tidak pernah digunakan dan alat ini tidak dibawa pada hari penusukan.

Sepuluh hari sebelum penyerangan, polisi memeriksa kondisi Kawano dan wanita itu mengatakan sudah tidak ada gangguan lagi.

“Situasi tampaknya mungkin telah membaik pada saat itu, tetapi pria itu hanya berpura-pura tidak tertarik untuk mengalihkan perhatian polisi,” kata Kobayakawa Akiko, ketua organisasi yang membantu para korban penguntitan.

Kobayakawa mengatakan kebanyakan penguntit mengubah perilakunya setelah mendapatkan peringatan atau perintah pembatasan, meskipun itu tidak cukup berhasil untuk beberapa pelaku impulsif yang tidak bisa mengontrol diri secara rasional.

“Sewaktu seorang penguntit tidak mengubah perilakunya setelah mendapatkan peringatan atau perintah pembatasan, penting bagi polisi untuk tetap berkomunikasi erat dengan pelaku agar mereka menyadari bahwa mereka tengah diawasi, serta bekerja sama dengan pakar psikologi untuk menyediakan konseling,” katanya.

UU Anti Penguntitan

UU Anti Penguntitan disahkan di Jepang pada 2000 setelah insiden pembunuhan seorang mahasiswi di Kota Okegawa, Provinsi Saitama, dekat Tokyo.

Wanita itu dibunuh oleh seorang pria yang terus-menerus melecehkannya setelah wanita itu menolak untuk berkencan dengannya.

Berdasarkan statistik Badan Kepolisian Nasional, terdapat hampir 20.000 laporan terkait penguntitan pada 2021. Hampir 2.500 orang diinterogasi atau ditahan oleh polisi dalam kasus terkait aturan anti pengutitan atau undang-undang lainnya.

Sebanyak 75 persen pelakunya adalah pria dan lebih dari 45 persen korban menjadi sasaran penguntitan oleh pasangan atau mantan pasangannya.

UU tersebut telah diamendemen beberapa kali, termasuk dengan memperluas cakupan perilakunya, misalnya mengirimkan surel dan berkeliling di lingkungan kediaman korban. Namun, kejahatan ini tetap berlanjut.

Pada 2011, seorang pria membunuh dua orang kerabat mantan kekasihnya di Provinsi Nagasaki. Seorang pelajar SMA di Tokyo dibunuh oleh mantan kekasihnya pada 2013.

Seorang mahasiswi yang juga tampil sebagai penyanyi mengalami luka parah setelah ditusuk oleh seorang penggemar yang terobesi oleh dirinya.

Dalam kasus-kasus tersebut, para korban dan keluarganya telah meminta perlindungan dari otoritas sebelum insiden terjadi.

Perintah pembatasan yang dikeluarkan dalam kasus penusukan terbaru ditujukan untuk melarang terduga pelaku penguntitan mendekati korbannya. Melanggar perintah hukum tersebut bisa mengakibatkan hukuman pidana.

Saat perintah ini diberlakukan, polisi berpatroli di lingkungan kediaman korban dan menyediakan konseling. Perintah ini berlaku selama satu tahun.

UU menyediakan pencegahan dalam tingkat tertentu, namun kegagalan pencegahan sudah terlalu sering terungkap secara tragis. (INR)

Editor: Iman NR

Iman NR

SELENGKAPNYA
Back to top button