HeadlineKeuangan

Disoroti, 39 Pejabat Kemenkeu Rangkap Penghasilan di BUMN

Pejabat Kemenkeu atau Kementrian Keuangan terus disoroti paska penganiayaan MDS, anak pejabat Ditjen Pajak ke David, anak pengurus PB NU hingga koma. Kali ini Fitra dan Ombudsman RI menyoroti rangkap jabatan 39 pejabat kementrian tersebut.

Fitra dan Ombudsman RI berpendapat, rangkap jabatan berarti rangkap penghasilan. Bahkan jabatan yang dirangkap itu jauh lebih besar dibandingkan jabatanya aslinya di Kemenkeu.

Fitra atau Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran dan Ombudsman bersepakat, ke-39 pejabat itu dinilai melanggar aturan serta asa kepatutan.

Fitra mencatat, negara melalui BUMN, secara akumulatif membayar para pejabat yang merangkap jabatan sebagai komisaris setidaknya Rp180 miliar per tahun.

Sebaliknya, Kementerian Keuangan bersikukuh bahwa rangkap jabatan sebagai komisaris adalah “bentuk pengawasan pemerintah sebagai pemegang saham” BUMN, serta “tidak melanggar undang-undang”.

Namun anggota tim Advokasi dan Kampanye Sekretariat Nasional Fitra, Gulfino Guevarrato, menilai “tidak ada urgensi” menempatkan pejabat pemerintah sebagai komisaris. Adapun fungsi pengawasan bisa dilakukan dengan pendekatan lain.

Rangkap jabatan, kata dia, justru dapat menimbulkan konflik kepentingan pada pejabat Kemenkeu yang berperan krusial mengelola anggaran negara.

“Kami justru melihatnya bahwa pendistribusian ASN [aparatur sipil negara] ke komisaris BUMN itu sebagai bagi-bagi jabatan , bagi-bagi kue. Pengawasan itu alasan yang dibuat-buat saja, gimmick saja karena kinerja BUMN tetap compang-camping,” kata Gulfino kepada BBC News Indonesia, dikutip MediaBanten.Com, Sabtu (11/3/2023).

Anggota Ombudsman RI, Yeka Hendra Fatika, mendesak pemerintah segera menindaklanjuti kasus-kasus rangkap jabatan pejabat Kemenkeu yang dia sebut “maladministrasi” ini demi menjaga kepercayaan publik. Apalagi, Kementerian Keuangan kini tengah disorot publik karena memamerkan gaya hidup mewah.

Temuan Fitra?

Menurut Fitra, dari 243 jabatan komisaris yang mereka teliti, terdapat 95 aparatur negara yang merangkap jabatan sebagai komisaris BUMN maupun anak-anak perusahaannya.

Dari 95 orang itu, sebanyak 39 di antara mereka adalah pejabat Kementerian Keuangan dari eselon I dan II. Beberapa di antaranya yakni:

  1. Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara sebagai komisaris PLN
  2. Sekretaris Jenderal Kemenkeu Heru Pambudi sebagai komisaris Pertamina
  3. Direktur Jenderal Anggaran Kemenkeu merangkap sebagai komisaris Telkom
  4. Direktur Jenderal Pajak Suryo Utomo sebagai komisaris PT Sarana Multi Infrastruktur
  5. Direktur Bea dan Cukai Askolani sebagai komisaris BNI
  6. Direktur Jenderal Perbendaharaan Rionald Silaban merangkap komisaris Bank Mandiri
  7. Direktur Jenderal Perbendaharaan Astera Primanto Bhakti merangkap komisaris PT Semen Indonesia Grup
  8. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan Luky Alfirman merangkap komisioner Lembaga Simpan Pinjam (bukan BUMN)
  9. Inspektur Jenderal Kemenkeu Awan Nurmawan Nuh merangkap komisioner PT Penjamin dan Infrastruktur
  10. Kepala Badan Kebijakan Fiskal Febrio Nathan Kacaribu merangkap komisaris PT Pupuk Indonesia
  11. Kepala Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan Andin Hadiyanto merangkap sebagai komisaris Bank Tabungan Negara

Menurut Gulfino, rangkap jabatan berarti mereka juga “rangkap penghasilan”. Fitra mensimulasikan akumulasi jumlah penghasilan atau remunerasi yang didapatkan oleh 12 pejabat Kemenkeu tersebut mencapai setidaknya Rp180 miliar per tahun.

Angka itu didapat dari perhitungan remunerasi yang berasal dari honorarium, tunjangan, asuransi, serta tantiem yang nilainya “sangat timpang” dengan gaji dan tunjangan sebagai ASN.

Jabatan komisaris PLN misalnya, bisa mendapatkan remunerasi rata-rata sebesar Rp2,1 miliar per bulan. Jabatan sebagai komisaris Pertamina bisa mendapatkan renumerasi sebesar Rp2,8 miliar, komisaris Telkom sebesar Rp1,8 miliar, komisaris PT SMI sebesar Rp2,8 miliar, komisaris BNI sebesar Rp1 miliar, dan komisaris Bank Mandiri sebesar Rp1,7 miliar per bulan.

“Itu tidak sebanding dengan gaji dan tunjangan kinerja yang didapatkan di Kementerian Keuangan,” kata Gulfino.

Data menunjukkan bahwa gaji dan tunjangan yang diterima oleh wakil menteri keuangan adalah sebesar Rp121 juta, direktur jenderal pajak sebesar Rp123 juta, dan direktur lainnya sebesar Rp90 juta.

“Kami khawatir di sini, karena nilai [remunerasi]-nya jauh lebih besar, aparatur negara yang memiliki tugas penting justru lebih fokus ke BUMN-nya, bukan pada tugas mengelola keuangan negara,” jelas Gulfino.

Dia juga menyatakan bahwa situasi rangkap jabatan ini juga terjadi di “hampir seluruh kementerian dan lembaga”.

Temuan Ombudsman

Temuan Ombudsman yang dirilis pada 2020 menunjukkan bahwa hingga tahun 2019, terdapat 397 komisaris di BUMN dan 167 komisaris di anak perusahaan BUMN yang diisi oleh pejabat rangkap jabatan.

Pasal 33 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN pun menyebutkan bahwa anggota komisaris dilarang merangkap jabatan lain yang dapat menimbulkan konflik kepentingan atau jabatan lainnya sesuatu peraturan perundang-undangan.

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 80/PUU-XVII/2019 telah menegaskan bahwa larangan rangkap jabatan juga berlaku pada wakil menteri, tidak hanya pada menteri. Namun saat ini, wakil menteri keuangan termasuk salah satu pejabat yang merangkap jabatan sebagai komisaris.

Jawaban Stafsus Menkeu

Ketika dikonfirmasi terkait hal ini, Staf Khusus Menteri Keuangan Yustinus Prastowo mengatakan rangkap jabatan telah terjadi sejak dulu karena “Undang-Undang BUMN mengamanatkan itu”.

“Kalau yang di kami, bendahara negara adalah salah satu ultimate shareholders, pemegang saham utama karena memegang otoritas fiskal. Maka menempatkan perwakilan di sana, menugaskan para pejabatnya untuk menjadi komisaris dalam rangka pengawasan karena di situ ada tanggung jawab,” kata Yustinus yang dilansir BBC News Indonesia, Rabu (8/3/2023).

“Kenapa pejabat? Karena di dalam dirinya melekat tanggung jawab dan dalam koordinasinya lebih mudah secara hierarkis karena dia punya jabatan, sehingga bisa menjalankan sesuai portofolionya, kalau ada masalah bisa menyelesaikan, mengundang rapat, bahkan mengubah kebijakan,” sambung dia.

Dia bersikukuh bahwa rangkap jabatan ini “tidak melanggar” dan “tidak dilarang undang-undang”.

“Justru dalam rangka pengawasan, kita sepakat bahwa ini justru pengawasan,” tutur dia.

Di dalam UU BUMN, pasal 6 memang menyebutkan bahwa pengawasan BUMN salah satunya dilakukan oleh komisaris. Namun tidak ada pasal yang secara spesifik menyebutkan bahwa pejabat negara sebagai shareholder berhak menjadi komisaris dalam rangka pengawasan.

Pasal 33, seperti yang dinyatakan oleh Fitra dan Ombudsman sebelumnya, justru melarang adanya rangkap jabatan komisaris.

Meski Undang-Undang BUMN menyebut bahwa penetapan komisaris diatur lebih lanjut berdasarkan keputusan menteri, Gulfino mengatakan keputusan menteri pun seharusnya mengacu pada undang-undang, sebagai aturan yang lebih tinggi. (Berbagai Sumber / INR)

Editor Iman NR

Iman NR

Back to top button