HeadlineIkhsan Ahmad

Perubahan Politik dan Kebohongan Penguasa

Tahapan awal menuju Pemilu serentak 2024 baru saja dimulai. Di beberapa daerah, kepala daerah mulai digantikan oleh pejabat kepala daerah. Perubahan politik sudah dimulai, sirkulasi udara sementara telah dipasang dalam ruang demokrasi.

Perubahan politik yang diharapkan bisa jadi tidak berkorelasi dengan perubahan ekonomi (keberpihakan kepada masyarakat), perubahan mentalitas dan perubahan budaya politik.

Oleh: IKHSAN AHMAD *)

Pengangkatan pejabat kepala daerah adalah diskresi demokrasi yang disepakati sebagai konsensus bersama menuju perubahan.

Sayangnya, sedari awal perubahan yang terjadi adalah perubahan struktural dan perubahan perangkat birokrasi.

Perubahan mentalitas penyelenggara struktur organisasi untuk berpihak kepada kepentingan masyarakat secara utuh dan perubahan mentalitas birokrasinya masih gelap, segelap malam tanpa cahaya.

Bisakah pejabat gubernur diangkat tanpa kepentingan politik dan campur tangan partai politik?

Kalau tidak percaya hal itu terjadi, maka berdoalah untuk berumur panjang agar harapan itu terwujud. Kalau percaya, maka kenalilah realitas saat ini.

Intervensi parpol untuk mendudukkan seorang pejabat gubernur pasti ada, karena berkorelasi kuat dengan kepentingan pemilu 2024.

Kepentingan yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya birokrasi untuk mengatur semua proses pemenangan pemilu melalui berbagai program pembangunan dan intervensi terhadap daya guna dan fungsi penganggaran negara.

Kamuflase perubahan inilah yang akan terjadi. Sayangnya kamuflase ini tidak akan dikenali jika tidak dicermati secara mendalam.

Apalagi menjelang pemilu, bisa jadi semua pengelolaan pembiayaan negara ditujukan untuk masyarakat, tetapi auranya akan terasa, akan ada seleksi dan pesan tersamar, kepada masyarakat yang mana?

Tentu saja bukan untuk masyarakat yang tidak mendukung kepentingan politik yang diusung.

Intervensi partai politik menjadi wajar dalam sebuah peristiwa politik, dimana pengangkatan pejabat sementara kepala daerah merupakan peristiwa politik.

Namun kemampuan integritas kekuasaan inilah yang kemudian membuat banyak pertanyaan harus diajukan untuk mengusung kepentingan politik perubahan masyarakat ke depan.

Tentu saja ada beban partai yang dipikul oleh pejabat kepala daerah ketika ia terpilih. Persoalannya adalah seberapa besar kadar beban tersebut? Tak ada pilihan untuk menjawabnya, pasti besar.

Jadi kebohongan pertama yang dilakukan oleh kepala daerah “sementara” adalah mengatakan bahwa dirinya tidak memiliki beban karena terpilih atas sistem dan proses administrasi kepangkatan semata.

Kebohongan yang kedua adalah akselerasi pengaturan organisasi pemerintahan yang bisa dipastikan dipermukaan akan tampak “smooth”. Padahal ia mempunyai fokus pada pemenangan politik tertentu.

Kebohongan yang ketiga adalah penyanderaan kepentingan masyarakat, yakni pemenuhan pelayanan dasar masyarakat yang berbasis program senyap politik.

Sebaiknya pemimpin – pemimpin organisasi yang memiliki akses terhadap pergerakan mahasiswa dan masyarakat mau melek mata dan tegak lurus memperhatikan semua dinamika politik yang akan berjalan pada arus kebijakan dibelakang panggung politik.

Tegak lurus untuk memastikan perjalanan menuju pemilu 2024 adalah perjalanan perubahan yang berkorelasi dengan kepentingan masyarakat dan perubahan mentalitas birokrasi dan penguasa.

Krisis kepemimpinan yang terjadi saat ini tidak boleh membuat kita terbuai dengan narasi politik yang dibangun hanya dengan optimisme standar berbalut normativisme. (*)

*) Penulis adalah Pengamat Kebijakan Publik yang sehari-hari Dosen FISIP Untirta Banten.

Ikhsan Ahmad

Back to top button