Ini Perkembangan Solat Tarawih di Masjid Nabawi Versi Muhammadiyah
Solat tarawih di Masjid Nabawi yang dikenal saat ini tidak sama persis di era Nabi Muhammad Saw. Solat itu mengalami evolusi dan perkembangan yang panjang.
Web muhammadiyah.or.id melansir, salat tarawih pertama kali dikerjakan Nabi Saw pada 23 Ramadan 2 H. Saat itu Rasulullah Saw melaksanakannya di masjid, kadang di rumah.
Hal ini untuk mengajarkan umat Islam bahwa sholat tarawih bukan sesuatu yang wajib dilaksanakan.
Jumlah rakaatnya adlaah 11 rakaat sesuai dengan hadis marfu yang isinya dialog Abu Salama dengan Aisyah tentang bilangan rakaat solat tarawih.
Al-Bukhari sebagai salah seorang rawinya memasukkan hadis ini dalam “Kitab Tarawih” dalam kitab Sahih-nya. Dia tidak memasukkannya dalam kelompok hadis-hadis witir dalam “Kitab Witir”. Jadi pendapat yang menyatakan bahwa hadits ini tentang witir tidaklah tepat.
Bilangan rakaat dalam solat tarawih berlanjut hingga era Umar ra pada tahun 14 H / 6355 H. Solat Tarawih ditertibkan menjadi berjamaah.
Tidak ada riwayat yang menyatakan bahwa Umar pernah mengubah kebijakannya. Bahkan tidak ada riwayat yang sahih bahwa dua khalifah sesudahnya yaitu ‘Usman dan ‘Ali pernah mengubah kebijakan itu.
Karenanya, dapat diduga kuat bahwa selama masa Khulafa Rasyidin solat tarawih di Masjid Nabawi adalah sebelas rakaat.
Salah satu ulama yang menyebut Umar sebagai pelopor sholat tarawih dua puluh rakaat adalah Ibn al-Mulaqqin.
Tetapi ulama dari Mazhab Syafii ini tidak menunjukkan bukti riwayat bahwa ‘Umar pernah mengubahnya dari sebelas menjadi dua puluh.
Ia hanya menyimpulkan dengan memadukan asar Yazid Ibn KhuSaifah dengan asar Muhammad Ibn Yusuf.
Jika memang asar Yazid Ibn Khusaifah (Nas 44-45) itu valid, hal tersebut hanya menunjukkan bahwa beberapa sahabat di zaman Umar melakukan tarawih dua puluh rakaat. Hanya itu.
Itu tidak menunjukkan adanya perintah Umar untuk mengubah salat tarawih secara resmi di Masjid Nabi saw menjadi salat dua puluh rakaat.
Ini artinya, solat tarawih sebelas rakaat berlangsung terus hingga diubah oleh Mu‘awiyah pada akhir masa pemerintahannya (w. 60 H/680 M) atau beberapa tahun sebelum Perang al-Harrah (63 H/683 M).
Sejak itu oleh khalifah pertama Dinasti Umayyah ini, salat tarawih di Masjid Nabawi adalah tiga puluh sembilan rakaat termasuk witir dan ini berlangsung hingga abad ke-4 H.
Pada abad ke-4 H ini, di bawah panglima Jauhar al-Siqily, Dinasti Fatimiyah berhasil menaklukkan Dinasti Iksidiyah (dinasti yang berada di bawah kekuasaan Abbasiyah) sehingga secara otomatis Mekkah, Madinah, dan Jerussalem jatuh ke wilayah kekuasaan mereka.
Dikuasainya tiga kota suci tersebut, kerajaan yang beraliran Syiah ini mengubah salat tarawih di Masjid Nabawi dari tiga puluh sembilan rakaat termasuk witir menjadi dua puluh rakaat.
Saat wilayah Fatimiyah yang luas sedikit demi sedikit menyusut hingga lebih kecil dari wilayah Mesir sekarang, Madinah kembali dikuasai kalangan Sunni terutama Mazhab Maliki.
Pada abad ke-8 H, Hakim Tinggi Madinah Imam al-‘Iraqi (w. 806/1403) kembali mempraktikkan solat tarawih di Masjid Nabawi dengan tiga puluh sembilan rakaat termasuk witir.
Dalam pelaksanaannya dua tahap, dua puluh rakaat pada awal malam (selepas isya) dan enam belas rakaat pada akhir malam (menjelang subuh). Keadaan ini berlangsung hingga berabad-abad lamanya.
Saat Perang Dunia I (1914-1918), penguasa Saudi memutuskan berkoalisi dengan Inggris. Setelah Dinasti Ottoman runtuh dalam Perang Dunia II, Abdulaziz dari kerajaan Arab Saudi menguasai seluruh Najd dan Hijaz, termasuk Makkah dan Madinah tahun 1344 H/1926 M.
Sejak dikuasainya wilayah Masjid Nabawi oleh pemerintahan Saudi hingga sekarang, salat tarawih dilaksanakan dalam formasi dua puluh rakaat.
Begitulah sejarah singkat perjalanan solat tarawih di Masjid Nabawi dari masa ke masa.
Praktik solat tarawih yang mana yang harus dicontoh? Tentu saja praktik Rasulullah Saw. Ini merujuk hadis, “Shollau kama raayatuni usholli”, artinya solatlah kalian sebagaimana kalian melihatku (Nabi Saw) solat.
(Muhammadiyah / Editor: Iman NR)