Internasional

Dikritik, Laba Raksasa Minyak Aramco Rp2.497 T Saat Perang Rusia – Ukraina

Di tengah perang Rusia – Ukraina, raksasa minyak Saudi, Aramco mengumumkan kenaikan laba $161,1 miliar atau setara Rp2.497 triliun untuk tahun 2022 atau naik 46,4% di tengah krisis ekonomi global akibat peperangan Rusia – Ukraina.

Keuntungan yang besar dari perusahaan raksasa minyak milik Kerajaan Arab Saudi itu didorong oleh melonjaknya harga energi dan volume yang meningkat akibat perang Rusia – Ukraina sejak Februari 2022 hingga kini tidak diketahui kapan berakhirnya.

Namun BBC.Com yang dikutip MediaBanten.Com, Minggu (12/3/2023) tak hanya melaporkan Aramco yang tertimpa rejeki berlipat-lipat akibat peperangan Rusia – Ukraina.

ExxonMobil Amerika menghasilkan $55,7 miliar atau Rp863,4 trilun dan Shell Inggris melaporkan $39,9 miliar atau Rp618,5 triliun. Keuntungan Shell, perusahaan minyak Inggris ini merupakan yang terbesar selama 115 tahun terakhir.

Aramco juga mengumumkan dividen sebesar $19,5 miliar atau Rp302,2 trilun untuk kuartal Oktober hingga Desember 2022, yang akan dibayarkan pada kuartal pertama tahun ini.

Sebagian besar dari jumlah dividen itu akan masuk ke pemerintah Arab Saudi, yang memiliki hampir 95% saham di perusahaan tersebut.

Minyak mentah Brent, harga patokan minyak, sekarang diperdagangkan sekitar $82 per barel – meskipun harga melebihi $120 atau Rp1,86 juta per barel pada bulan Maret, setelah invasi Rusia, dan Juni.

Tampil Kuat

Keuntungan berlipat yang diterima perusahaan minyak dunia, terutama dari Kerajaan Arab Saudi banyak menui kritik karena di tengah perang Rusi – Ukraina yang mempengaruhi ekonomi global.

“Aramco memanfaatkan gelombang harga energi untuk tidak tampil kuat pada 2022 di tengah peperangan Rusia – Ukraina,” kata Robert Mogielnicki dari Institut Negara Teluk Arab di Washington.

Dalam sebuah pernyataan pada hari Minggu, Aramco mengatakan hasil perusahaan “didukung oleh harga minyak mentah yang lebih kuat, volume penjualan yang lebih tinggi dan peningkatan margin untuk produk olahan”.

Presiden dan CEO Aramco Amin Nasser mengatakan, pihaknya mengantisipasi minyak dan gas akan tetap penting dimasa mendatang. Risiko kurangnya investasi di industri perminyakan memang nyata, termasuk kontribusi terhadap harga energi yang lebih tinggi.

Untuk mengatasi tantangan tersebut, katanya, perusahaan tidak hanya akan berfokus pada perluasan produksi minyak, gas, dan bahan kimia, tetapi juga akan berinvestasi dalam teknologi baru yang lebih rendah karbon.

Aramco – perusahaan paling berharga kedua di dunia setelah Apple Amerika – adalah penghasil utama emisi gas rumah kaca yang berkontribusi terhadap perubahan iklim.

Dikritik Amnesty

Menanggapi pengumuman Aramco, Sekretaris Jenderal Amnesty International Agnès Callamard berkata, “Sangat mengejutkan bagi sebuah perusahaan untuk menghasilkan keuntungan lebih dari $161 miliar dalam satu tahun melalui penjualan bahan bakar fosil – satu-satunya pendorong terbesar dari krisis iklim”.

Dia menambahkan, ini jauh lebih mengejutkan karena surplus ini terkumpul selama krisis biaya hidup global dan dibantu oleh kenaikan harga energi akibat perang agresi Rusia melawan Ukraina.

Arab Saudi adalah produsen terbesar dalam kartel minyak OPEC (Organisasi Negara Pengekspor Minyak).

Tetapi kerajaan Teluk itu telah dituding karena berbagai pelanggaran hak asasi manusia seperti keterlibatannya dalam konflik di negara tetangga Yaman, pembunuhan jurnalis Jamal Khashoggi pada tahun 2018, karena memenjarakan para pembangkang, dan karena penggunaan hukuman mati secara luas. (BBC / INR)

Editor Iman NR

Iman NR

SELENGKAPNYA
Back to top button