Historia

Panggilan Gus, Konon Buat Anak Raja atau Kiai, Ini Asal Usulnya

Panggilan Gus akhir-akhir diperbincangan. Panggilan ini terutama melekat pada orang-orang dari Nahdlatul Ulama (NU) dan lebih populer di Jawa. Sesungguhnya apa sih Gus tersebut dan bagaimana asal usulnya.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI),Jawa gus merupakan nama julukan atau panggilan kepada anak lelaki yang bermakna bagus, tampan atau pandai.

Di Banten, sebenarnya ada sebutan yang mirip yang konon berasal dari kalangan dalam keraton, yaitu Ratu Bagus yang kemudian disingkat menjadi Tubagus. Tetapi sangat jarang gelar itu hanya diucapkan Gus. Pengucapan biasanya lengkap Tubagus dan gelar itu ditulis Tb di depan nama.

Sedangkan Tempo.Co menulis, panggilan Gus munculnya dari kalangan keraton yang diperuntukkan sebagai nama panggilan anak-anak keluarga raja, yaitu Raden Bagus yang disingkat Den Bagus.

Millatuz Zakiyah, dalam jurnal Antropologi Volume 3 Januari 2018, Makna Sapaan di Pesantren: Kajian Linguistik-Antropologis menyatakan seiring berjalannya waktu, sebutan Den Bagus kemudian digunakan juga oleh golongan priyayi Jawa di luar keraton untuk memanggil anak mereka dengan menghilangkan kata Raden atau Den, sehingga tinggal Bagus atau Gus saja.

Ketika pesantren mulai tumbuh di tanah Jawa, nama Gus kemudian digunakan untuk menyebut putra pemimpin pesantren. Panggilan Gus ini kemudian perlahan menjadi semacam gelar bagi anak-anak kiai terutama di kultur NU.

Lambat laun, penggunaan Gus untuk menyebut putra kiai dikaitkan dengan simbol ketokohan seseorang dari sisi agama, yang khusus di kalangan NU.

Masyarakat NU akan memanggil mereka yang memiliki kedalaman ilmu agama, dengan sebutan Gus kendati mereka bukan keturunan kiai.

Sebutan Gus menjadi kasus unik dalam kajian sosiologi lantaran masuk ke dalam kategori ascribed status dan achieved status.

Ascribed status adalah kedudukan seseorang dalam masyarakat yang diperoleh dengan sendirinya yang disebabkan faktor keturunan, contohnya adalah gelar Gus secara langsung disematkan kepada putra seorang kiai.

Putra kiai biasanya diperlukan secara khusus karena diharapkan menjadi penerus kiai, maka ia diperlakukan khusus. Salah satunya memberi gelar sapaan khusus, yaitu Gus, meski tidak berarti otomatis akan jadi kiai.

Sedangkan achieved status adalah kedudukan seseorang dalam masyarakat yang diperoleh dengan cara disengaja, artinya memperoleh status ini diperlukan perjuangan dan pengorbanan.

Di dalam kalangan santri maupun masyarakat, seseorang harus memiliki ilmu agama Islam yang dalam untuk mendapatkan gelar Gus.

Sedangkan PanjiMas.Com melansir tulisan Kanjeng Senopati KRMH Tommy Agung Hamdiyo dari Kasunan Surakarta Hadiningrat tentang asal usul panggilan Gus.

Katanya, panggilan itu diperuntukan anak raja yang biasanya disebut Gusti atau Gus sebelum era Kemerdekaan Republik Indonesia.

Sapaan itu dimulai pada Pakubuwono IV tahun 1788 -1820 M yang dikenal puncaknya peradaban Keraton Mataram Islam paska Sultan Agung, dikenal Santri Pitu atau “Tujuh Ulama” besar Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat.

Sri Susuhunan Pakubuwono IV adalah raja sekaligus santri, dijuluki Sunan Bagus, karena terkenal sebagai raja berwajah bagus dan tampan, alim, tawadu dan sangat dekat dengan para ulama. Maka putra raja sampai hari ini biasa disapa Gusti atau Den Bagus, Raden Bagus.

Sapaan ini dibawa ke luar oleh kiai keraton yang memanggil anak-anaknya dengan Den Bagus. Seiring waktu, para priyai Jawa di luar keraton, kiai, saudagar memanggil anak mereka dengan Bagus atau Gus.

Menurut Sastrawan Jawa bernama Poerwadarminta dalam bukunya Baoesastra tahun 1939, sapaan Bagus dalam basa jawanya diartikan sebagai bocah lanang sing rada duwur pangkate atau sebutan bagi anak lelaki yang memiliki kedudukan tinggi.

Ketika masa Kamardikan (setelah kemerdekaan) pesantren mulai tumbuh berkembang pesat di tanah Jawa, maka nama sapaan Gus kemudian resmi digunakan untuk menyebut seorang putra Pemimpin Pesantren.

Panggilan Gus ini kemudian perlahan menjadi semacam gelar bagi anak-anak kiai terutama di kalangan NU.

Dalam perkembanganya, tidak semua orang yang dipanggil Gus adalah turunan kiai karena bisa saja dia sebagai seorang tokoh spiritual masyarakat atau mubalig yang bergerak dan berjuang sendiri.

Karena sapaan Gus itu bukan suatu gelar resmi yang tidak pernah ada memiliki sertifikasi resmi seperti umumnya gelar kebangsawanan di kerajaan.

Konsekuensinya memakai sapaan Gus dia harus bisa membawa diri, menjaga kehormatan diri, nama baiknya sendiri atau bisa menjaga attitudenya sikap dan perilakunya yang ditunjukan sehari-hari sebagai seorang yang bereligius, berilmu, beradab jauh dari prilaku yang buruk. (INR)

Editor Iman NR

Iman NR

SELENGKAPNYA
Back to top button