EkonomiHeadlineHukum

Alipp Gelar Diskusi Panel Carut Marut Proses Tender Proyek APBD Banten

Aliansi Lembaga Independen Peduli Publik (Alipp) menggelar diskusi di Hotel Abadi, Kota Serang, Sabtu (4/8/2018). Diskusi ini akan menyoroti soal “kebijakan” yang diterapkan unit layanan pengadaan (ULP) yang merupakan bagian dari Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) justru membuat “sesak” para pengusaha kecil dan menengah di Banten.

Diskusi ini akan menampilkan pembicara Ade Irawan (penggiat anti korupsi ICW), Ade Mulya Syarif (Ketua AJKI Banten) dan Uday Suhada (Direktur Eksekutif Alipp). Diskusi akan digelar pukul 09.00 WIB di Aula Hotel Abadi. Diskusi ini bertema “Carut Marut Proses Tender Proyek APBD Banten”.

Direktur Eksekutif Alipp, Uday Suhada dalam siaran pers Alipp yang diterima MediaBanten.Com, Jumat (3/8/2018) mengatakan, sejatinya mekanisme LPSE diterapkan untuk menjamin transparansi, akuntabel, professional, efisien dan mempermudah semua pihak terbebas dari unsur-unsur Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN).

Namun penerapan LPSE sejak 2014 hingga saat ini, justru melahirkan persoalan lain. Di antaranya “kebijakan” yang diterapkan justru sangat membebani para pengusaha, terutama pengusaha kecil dan menengah di Banten. “Faktanya pungli tetap berlaku. Broker atau calo proyek bergentayangan di semua OPD dan Pokja ULP,” kata Uday Suhada.

Baca: Kawan Lama Retail Buka Toko di Cilegon Center Mall

Uday menegaskan, di era sebelumnya, pengusaha kecil menengah mengeluarkan biaya di sekitar 25-30%, mereka mendapatkan kepastian mendapatkan proyek. Kini mereka tetap mengeluarkan 1,5% dari nilai proyek yang ditenderkan, tetapi tidak menjamin dapat proyek tersebut. Jika pengusaha menang proyek itu, tetap mengeluarkan 25%. Akibatnya, kuaitas pembangunan di Banten tetap buruk.

“Pengusaha Banten kini benar-benar berspekulasi untuk mendapatkan tender. Mereka seperti sedang berjudi. Sebab proyek yang nilainya milyaran rupiah sudah menjadi rahasia umum memiliki “Bin” atau punya penganten,” katanya.

Uday mencontohkan, proyek undur-undur senilai Rp10 miliar. Proyek itu sudah dimiliki seseorang, misalnya Bin Uday, berarti milik Uday. Pengusaha bisa memenangkan tender itu jika memiliki hubungan dengan Bin Uday yang diyakini memilki power tertentu. “Sejauh ini, proyek bin fulan atau fulanah itu diamini oleh pengusaha-pengusaha yang di Banten,” kata Uday.

Uday Suhada mengurai persoalan tender proyek di Banten sebagai berikut;

  1. Proses Persiapan Tender. Pengusaha yang tidak dapat menyiapkan dokumen, maka di Pokja ULP ada yang bisa menyiapkan dokumen tersebut, dengan imbalan kisaran Rp.5 juta.
  2. Masih dalam tahap persiapan, pengusaha juga wajib memiliki rekening koran di bank. Nilainya minimal 10% dari nilai proyek yang ditenderkan. Faktanya, hanya segelintir pengusaha saja yang memiliki modal sebesar itu. Maka ada cara yang diduga merupakan bentuk kredit fiktif. Contohnya, sebuah proyek senilai Rp6 miliar. Maka seorang pengusaha harus membayar biaya administrasi, provisi 1/2% dan bunga 1,4%, yang diakumulasi sekitar Rp. 39.400.000. Setelah terbit, maka sesungguhnya uang 10% dari nilai proyek yang tertera dalam rekening koran bank tersebut adalah fiktif. Selain tidak bisa diambil, masa berlakunya hanya untuk formalitas proses tender (sebulan).
  3. Perusahaan dengan contoh tadi pun harus memiliki sertifikat Tenaga Ahli, S2, S1, SKT. Tentu seperti biasa sudah siap biro jasa penyedia Sertifikat TA. Sertifikat S2 dibandrol 5 juta; Tiga sertifikat S1 bernilai @Rp.3 juta; Empat sertifikat SKT @Rp.1,5 juta. Dijumlah-jambleh menjadi Rp.20 juta. Pemilik Sertifikat itu hanya bertugas untuk datang pada saat Pembuktian Dokumen di Pokja ULP, selebihnya tak ada. Itu belum termasuk biaya untuk mendapatkam Surat Dukungan Bank dan Surat Jaminan Penawaran, sekitar Rp.3 juta (untuk proyek yang nilainya diatas Rp.5 milyar).
  4. Jika syarat dokumen sudah terpenuhi, maka penawaran pun disampaikan ke Pokja ULP. Disini babak kedua dilalui. Jika ia mendapatkan “bintang” (pemenang tender), maka koceknya harus dirogoh sebesar 3% dari nilai kontrak.
  5. Setelah berkas di Pokja ULP rampung, pengusaha bergeser ke Pejabat Pembuat Komitmen – PPK di Organisasi Perangkat Daerah – OPD / Dinas. Diakui oleh sejumlah informan (pengusaha) bahwa disana mereka merogoh koceknya lagi sebesar 5% dari nilai kontrak.
  6. Jika menjadi pemenang tender itu murni tanpa persekongkolan dengab Broker/calo atau Pihak Ketiga (meminjam bahasa Gubernur Wahidin Halim), maka pengusaha akan leluasa melaksanakan tugasnya. Namun jika tidak, maka ia harus menyobek kantongnya lagi di kisaran 7% untuk Broker/Pihak Ketiga atau si “Bin” itu.
  7. Dalam melaksanakan pekerjaan, pengusaha akan mengeluarkan biaya tenaga kerja, sekitar 10%. Kemudian biaya Peralatan 10% (jika harus sewa lagi, maka akan membengkan menjadi 15%).
  8. Sebagai pengusaha, tentu ia harus mendapatkan keuntungan, di kisaran 10%.
  9. Itu belum termasuk biaya tidak terduga di lapangan. Resiko yang harus dihadapi pengusaha adalah banyaknya “oray kadut” di lapangan yang meminta “japrem”. Berbagai oknum berseliweran sepanjang pelaksanaan proyek.
  10. Mari kita hitung prosentase dan segala tetek-bengeknya yang diurai di atas. Maka uang rakyat yang akan riil nempel di lapangan hanya tersisa maksimal 45%. Itu jika tidak disubkon lagi. Jika disubkon, maka prosentase yang riil semakin mengecil.

(Siaran Pers ALIPP)

Iman NR

Back to top button