Menyoal Kebolehan Shalat Jamak di Arafah dan Muzdalifah

Para ulama fiqih bersepakat soal kebolehan melakukan shalat jamak antara shalat zhuhur dengan ashar yang dikerjakan di waktu zhuhur di Arafah adalah diberi hukum sunah. Hukum sunah juga dikenakan pada shalat jamak antara maghrib dengan isya yang dikerjakan di waktu isya di Muzdalifah.
Namun mereka berbeda pendapat di selain dua tempat tersebut. Jumhur ulama membolehkannya meski di antara mereka terdapat perbedaan pendapat di manakah tempat-tempat bolehnya menjamak shalat dan dimanakah tidak diperbolehkannya menjamak shalat. Sedangkan Abu Hanifah tidak membolehkan jamak di selain Arafah dan Muzdalifah secara mutlak.
Masalah shalat jamak itu mengemuka dalam pengajian rutin di Ponpes Al Fathaniyah, Tengkele, Kelurahan Tembong, Kota Serang yang digelar setiap Senin malam. Pengajian tersebut dengan muqri, KH Matin Syarkowi dan kitab yang dibahas adalah Bidayatul Mujtahid karya Ibnu Rusyd.
KH Matin Syarkowi mengatakan, sebab perbedaan pendapat para ulama itu antara lain
Pertama: perbedaan dalam menakwilkan berbagai riwayat tentang jamak serta cara pengambilan dalil atas bolehnya menjamak shalat.
Sebab seluruh riwayat yang ada dalam masalah jamak adalah praktik (perbutan Rasulullah SAW), bukan sabda, di samping itu dalil praktis bisa memunculkan berbagai kemungkinan jauh lebih banyak dari kemungkinan yang muncul dari teks riwayat.
Kedua, perbedaan mereka dalam penshahihan beberapa riwayat yang ada pada masalah jamak.
Ketiga, perbedaan mereka dalam bolehnya memberlakukan qiyas pada jamak, yaitu ada tiga hal sebagaimana yang diketahui.
Adapun dalil-dalil yang penakwilannya diperselisihkan, di antaranya adalah: Hadits Anas yang dikeluarkan oleh Al Bukhari dan Muslim, bahwa ia berkata, “Rasulullah SAW mengakhirkan Zhuhur sampai (tiba) waktu Ashar ketika bepergian sebelum matahari condong, kemudian beliau berhenti dan menjamak keduanya, tapi jika matahari telah condong, (beliau SAW) shalat Zhuhur dahulu kemudian berangkat
Hadits Ibnu Umar yang dikeluarkan oleh Al Bukhari dan Muslim bahwa Ibnu Umar berkata, “Aku pernah melihat Rasulullah SAW ketika menyegerakan perjalanan, beliau mengakhirkan Maghrib hingga menjamaknya dengan Isya’.
Hadits selanjutnya bersumber dari Ibnu Abbas yang dikeluarkan oleh Malik dan Muslim, dimana lbnu Abbas berkata, “Rasulullah SAW pernah shalat Zhuhur dan Ashar dengan menjamak, dan Maghrib serta Isya’ dengan menjamak pada saat tidak khawatir dan (bukan dalam) perjalanan.”
Bagi mereka yang mengatakan bolehnya jamak sesuai beberapa riwayat tersebut, maka penakwilannya adalah Rasulullah SAW mengakhirkan Zhuhur pada waktu Ashar kemudian menjamak keduanya.
Pendapat ulama Kufah mengatakan, Rasulullah SAW melaksanakan shalat Zhuhur di akhir waktu dan melaksanakan shalat Ashar di awal waktu, sebagaimana yang disebutkan dalam sebuah hadits mengenai pengimaman Jibril.
Mereka mengatakan berdasarkan hadits ini bahwa sah-sah saja menakwilkan hadits Ibnu Abbas sebab ada ijma’ tidak bolehnya menjamak bagi yang tidak bepergian dan tidak memiliki udzur.
Mereka juga berhujjah dengan hadits Ibnu Mas’ud RA, ia berkata, “Demi Dzat yang tiada Ilah yang berhak diibadahi dengan benar selain- Nya, tidakah Rasulullah SAW melakukan shalat kecuali pada waktunya kecuali dua shalat: menjamak antara Zhuhur dan Ashar di Arafah dan antara Maghrib dan Isya’ di Muzdalifah.”
Mereka juga mengatakan bahwa -riwayat-riwayat tersebut kemungkinan seperti yang kami takwilkan dan yang kalian takwikan. Penjelasan tentang waktu shalat tidak bisa dirubah. Karena itu, hukum asal tidak bisa dirubah dengan sesuatu yang masih menyimpan berbagai kemungkinan.
Adapun dalil yang kesahihannya diperdebatkan adalah: Riwayat Malik yang bersumber dari hadits Mu’adz bin Jabal: “Sesungguhnya mereka (para sahabat) pergi bersama Rasulullah SAW pada perang Tabuk, Rasulullah SAW menjamak antara Zhuhur dan Ashar, Maghrib dan Isya’.” ia berkata, “Pada suatu hari, Rasulullah SAW mengakhirkan shalat, kemudian beliau keluar dan shalat Zhuhur dengan Ashar secara jamak kemudian masuk lagi kemudian keluar dan shalat Maghrib dan Isya’ dengan dijamak.”
Andai saja hadits diatas sahih tentu akan lebih kuat dari hadits-hadits sebelumnya tentang bolehnya jamak.
Sebab secara tekstual, Rasulullah SAW mendahulukan Isya’ di waktu Maghrib meski bisa dikatakan bahwa Rasulullah SAW mengakhirkan Maghrib sampai akhir waktu dan shalat Isya’ di awal waktu, hanya saja tidak bisa dipastikan secara pasti mengenai hal itu, bahkan teks yang disebutkan oleh perawi di atas masih mencakup beberapa kemungkinan.
Adapun berpedaan pendapat mengenai bolehnya memberlakukan qiyas dalam hal ini adalah penyamaan semua shalat ketika dalam bepergian dengan shalat di Arafah dan Muzdalifah.
Maksudnya, shalat boleh dijamak diqiyaskan pada shalat di Arafah dan Muzdalifah. Maka mungkin untuk dikatakan: Shalat wajib dilakukan ketika dalam perjalanan, maka boleh dijamak yang hukum asalnya adalah jamak yang dilakukan di Arafah dan Muzdalifah.
Pendapat ini dikemukakan oleh Salim bin Abdullah. Artinya, boleh memberlakukan qiyas dalam masalah ini, hanya saja qiyas dalam ibadah adalah lemah. Dan inilah penyebab perbedaan pendapat mengenai bolehnya menjamak shalat. (Penulis: Ubedillah SAg MPd – Ketua LBM PCNU Kota Serang)