Tausyiah

Menyimak Perbedaan Fuqaha Soal Pelaksanaan Shalat Jamak

Perbedaan pendapat terjadi di kalangan fuqaha dalam soal membolehkan pelaksanaan shalat jamak yang afdhal di dalam safar atau berpergian.

Perbedanaan pendapat itu dikemukakan KH Matin Syarkowi, mukri dalam pengajian di Ponpes Al Fathaniyah, Tengkele, Kelurahan Tembong, Kota Serang yang digelar setiap Senin malam (9/6/2025). Kitab yang dibahar adalah Bidayatul Mujtahid karya Ibnu Rusyd.

KH Matin Syarkowi mengatakan bahwa sebagian fuqaha berpndapatcara pelaksanaan jamak yang afdhal ialah shalat yang pertama ditunda untuk dilakukan bersama-sama dengan shalat yang kedua (dalam waktu shalat kedua itu, pen).

Namun, apabila shalat pertama dan kedua itu dilakukan pada waktu yang pertama, itu juga dibolehkan. Pendirian ini, merupakan salah satu yang di riwayatkan Imam Malik.

Pendapat lainnya menganggap sama, apakah memajukan shalat kedua ke dalam waktu shalat pertama (jama taqdim), atau mungkin sebaliknya (jama’ ta’khir).

Pendirian ini dipegangi oleh Imam asy-Syafi’i. Namun, pendirian seperti ini juga dipegangi oleh Imam Malik berdasarkan riwayat dari penduduk Madinah.

Dan pendirian Imam Malik yang terdahulu (juga tentang jamak ini, pen) diriwayatkan oleh Ibnu Qasim. Pendirian Imam Malik untuk memilih cara pelaksanaan jamak itu (pendapat dari Ibnu Qasim), karena cara pelaksanaan itu merupakan cara yang diriwayatkan secara shahih di dalam hadits Anas ra.

Kalangan fuqaha’ yang menganggap sama saja pelaksanaan kedua jamak itu berdasarkan pada prinsip keadilan, yang meng- haruskan sikap sama terhadap kewajiban beramal.

Dengan kata lain, jika hadits Mu’adz di atas adalah shahih, maka hadis ini juga hendaknya diamalkan, seperti halnya hadis Anas. Ini dengan catatan jika rawi kedua hadits tersebut mempunyai keadilan yang sama. Terkecuali jika rawi salah satu dari hadits itu mempunyai keadilan yang lebih.

Kondisi Jamak

KH Mati Syarkowi mengatakan, kalangan fuqaha’ yang membolehkan pelaksanaan jamak sama-sama berpendapat bahwa kemusafiran merupakan salah satu sebab dibolehkannya shalat jamak. Namun, kalangan fuqaha’ berbeda pandangan perihal melaksanakan jamak di rumah (tidak dalam safar ).

Karena sebagian fuqaha menganggap keadaan safar sebagai sebab bolehnya dilaksanakan jamak, terlepas dari macam dan cara safar itu dilaksanakan.

Sedang fuqaha’ yang lainnya lagi mengajukan persyaratan tentang jenis dan penentuan safar untuk bolehnya jamak. Ini adalah pendirian Imam Malik, yang merupakan riwayat dari Ibnu Qasim.

Dalam hal ini, ia berpendapat bahwa musafir tidak diperkenankan melaksanakan jamak shalat, kecuali dalam perjalanan yang dirasa ada masyagat, atau keberatan.

Namun, kalangan fuqaha’ lainnya tidak memasalahkan syarat itu. Ia adalah Imam asy-Syafi’i, yang juga merupakan pendapat yang dipegangi oleh Imam Malik. Pendirian seperti itu didasarkan pada pernyataan Ibnu Umar:

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا عَجَلَ بِهِ السَّيْرُ (الحديث )

Adalah Rasulullah saw., jika tergesa berjalan dalam safar, beliau mengakhirkan shalat maghrib, hingga beliau menjamak antara maghrib dan isya’. Sedang kalangan fuqaha’ yang tidak mensyaratkan, berpen- dirian dengan lahiriyah hadits Anas dan lainnya:

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا ارْتَحَلَ قَبْلَ أَن تَزِيعَ الشَّمْسُ آخَرَ الظُّهْرَ إِلَى وَقْتِ الْعَصْرِ ثُمَّ نَزَلَ فَجَمَعَ بَيْنَهُمَا ، فَإِنْ زَاغَتِ الشَّمْسُ قَبْلَ أَنْ يَرْ تَحِلَ صَلَّى الظَّهْرَ ثُمَّ رَكِبَ .

Bahwa Rasulullah SAW apabila pergi sebelum matahari condong (tergelincir), beliau mengakhirkan shalat zhuhur ke (dalam) waktu ashar. Lalu (di dalam waktu ashar) beliau menjamak kedua shalat itu. Maka, apabila (beliau pergi) setelah matahari tergelincir, beliau shalat zhuhur terlebih dahulu, lalu menaiki kendaraan (berangkat).

Perihal jenis safar yang mengakibatkan boleh melaksanakan jamak, kalangan fuqaha’ juga berbeda pendapat.

Sebagian mereka mengatakan bahwa yang dimaksud safar di sini adalah safar dalam rangka ibadah. Misalnya, ibadah haji dan jihad. Pendapat ini di riwayatkan dari Ibnu Qasim.

Sebagian lagi mengatakan bahwa safar yang dimaksudkan adalah safar ibadah, bukan safar maksiat. Ini merupakan pendirian Imam Malik, dan muncullah ulama Ma- dinah dari Imam Malik.

Silang pendapat ini disebabkan adanya perbedaan dalam menetapkan jenis safar yang mengabaikan kebolehan qashar. Sekalipun, dalam masalah ini terdapat sifat ‘am lantaran masalah qashar shalat sudah diriwayatkan dari Nabi SAW yang terdiri dari kata- kata dan perbuatan Nabi.

Sedang dalam masalah menjamak shalat, yang ada hanya riwayat tentang perbuatan. Kalangan fuqaha’ yang membatasi keizinan jamak hanya dalam safar yang pernah dilakukan Rasulullah. Mereka ini melarang pelaksanaan jamak dalam safar yang lainnya.

Sedang kalangan fuqaha’ yang menganggap adanya rukhshah bagi musafir untuk melakukan jamak, berarti rukhshah ini berlaku pula untuk jenis safar yang lainnya.

Menurut pendapat Imam Malik dan jumhur fuqaha’ lainnya, menjamak shalat ketika tidak dalam safar, adalah tidak boleh. Namun, kalangan Zhahiriyah dan Asyhab Malikiyah membolehkan pelaksanaan jamak (ketika tidak safar).

Sebagai penyebab timbulnya silang pendapat ini, karena ketidaksamaan dalam upaya memahami hadis Ibnu Abbas.

Sebagian fuqaha’, seperti dinyatakan oleh Imam Malik, mentakwilkan hadits itu, bahwa kata mereka, jamak yang dilakukan Rasulullah adalah lantaran adanya hujan.

Sedang fuqaha’ lainnya lagi mendasarkan pada hadits Ibnu Abbas yang ‘am secara mutlak. Hadits tersebut, yang diriwayatkan Muslim, ada tambahan pernyataan Nabi saw.; yang kemudian dipedomani oleh kaum Zhahiri:

فِي غَيْرِ خَوْفٍ وَلَا سَفَرٍ ..

tidak dalam khauf (takut), tidak dalam safar, dan tidak dalam (keadaan) hujan.

Perihal menjamak shalat ketika tidak safar lantaran halangan hujan, Imam asy-Syafi’i berpendapat membolehkan, apakah di siang atau malam hari.

Sedang Imam Malik berpendapat tidak membolehkan di siang hari,sedang malam hari dibolehkan .Bahkan ia juga membolehkan tatkala banyak lumpur ,bukan karena hujan di malam hari. (Penulis: Ubedillah SAg MPd – Ketua LBM PCNU Kota Serang)

Iman NR

Back to top button