Soal Shalat Qashar dan Jamak Saat Dalam Perjalanan Atau Safar

Pengajian dan diskusi Al Fathaniyah yang diselenggarakan setiap Senin malam, kali ini membahas soal shalat qashar dan jamak pada saat orang dalam perjalanan atau safar.
Materi ini dibahas dari kitab Bidayatul Mujtahid dengan nara bahas KH Matin Syarkowi dan KH Khaeroni di Ponpes Al Fathaniyah, Tengkele, Keluarahan Tembong, Kota Serang, Senin malam (5/5/2025).
1. Qashar
Kemusafiran seseorang memiliki dampak terhadap permasalahan qashar dan jama (jamak) berdasarkan kesepakatan fuqaha’, meski masih terdapat persilangan pendapat.
Perihal qashar shalat bagi musafir, kalangan ulama’ sudah menyepakati pendirian ini. Namun, ada satu pendapat yang asing dari ‘Aisyah, bahwa shalat qashar tidak boleh dilakukan kecuali dalam keadaan khauf (takut, bahaya). Hal ini didasarkan pada firman Allah:
فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَقْصُرُوا مِنَ الصَّلُوةِ إِنْ خِفْتُمْ أَن يَفْتِنَكُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا . )
Maka tidaklah mengapa kamu meng-qashar shalat(mu) jika kamu takut diserang orang-orang kafir. (an-Nisa’, 4:101). Pendirian yang asing tersebut juga menguatkan pendapatnya, bahwa Nabi saw. tidak pernah meng-qashar shalat melainkan ketika dalam keadaan khauf. Mengenai qashar ini, fuqaha’ berbeda-beda pendirian dalam beberapa hal berikut ini:
a. Mengqashar. Shalat dan Hukumnya;
b. Jarak Tempuh Kemusafiran yang Membolehkan Qashar;
c. Jenis Kemusafiran yang Membolehkan Qashar;
d. Tempat Dibolehkan- nya Qashar;
e. Batas Kemusafiran dan Kebolehan Qashar.
a. Mengqashar Shalat dan Hukumnya
Terdapat empat pendapat dalam kajian ini:
Pertama; Pendapat yang menyatakan bahwa qashar shalat bagi musafir adalah fardhu ‘ain.
Kedua; Pendapat yang menyatakan bahwa qashar atau tidak qashar, merupakan wajib mukhayyar (boleh pilih), seperti halnya kebolehan memilih dalam kewajiban kifarat. Ketiga; Qashar adalah sunnah.
Keempat; Qashar merupakan keringanan, dan melengkapi (tidak qashar) adalah lebih afdhal. Pendapat yang pertama di atas disampaikan oleh Imam Abu Hanifah dan pengikutnya, termasuk seluruh ulama’ Kufah. Pendapat ini menyatakan fardhu ‘ain dalam qashar.
Pendapat kedua disampaikan oleh ulama Syafi’iyyah.
Pendapat ketiga, menurut riwayat Imam Malik yang terkenal, ialah mengqashar itu sunnah.
Sedang pendapat yang keempat, yang menyatakan qashar itu rukhshah, adalah pendirian Imam asy-Syafi’i yang terkenal dan dipedomani oleh para pengikutnya.
Timbulnya silang pendapat itu lantaran pertentangan yang terjadi antara beberapa maksud yang bisa dipahami dengan bentuk kata yang diriwayatkan. Di samping itu, adanya perbuatan Nabi saw. dengan maksud yang bisa dipahami, dan di lain pihak ada bentuk kata-kata yang diriwayatkan.
Tujuan shalat dengan qashar bagi musafir, adalah untuk memberikan keringanan (rukhshah) lantaran adanya masyaqat (kesulitan). Dalam hal ini, seperti halnya keringanan Allah dalam hal kebolehan berbuka puasa (bagi musafir dll, ) juga perbuatan-perbuatan lainnya. Tujuan ini, lebih diperkokoh dengan hadits berikut ini:
1) Hadits Ya’la bin Umayyah ra.; yang menunjukkan adanya rukhshah:
قَالَ : قُلْتُ لِعُمَرَ : إِنَّمَا قَالَ اللَّهُ إِنْ خِفْتُمْ أَنْ يَفْتِنَكُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا يُرِيدُ في قَصْرِ الصَّلَاةِ فِي السَّفَرِ فَقَالَ عُمَرُ عَجِبْتُ
مِمَّا عَجِبْتَ مِنْهُ، فَسَأَلْتُ رَسُولَ اللهِ عَلي عَمَّا سَأَلْتَني عَنْهُ فَقَالَ : صَدَقَةٌ تَصَدَّقَ اللَّهَ بِهَا عَلَيْكُمْ ، فَاقْبَلُوا صَدَقَهُ
Ya’la bin Umayyah mengatakan, “Aku katakan kepada Umar, Bahwasanya Allah berfirman, apabila kalian merasa takut orang-orang kafir akan merusak kalian, yaitu mengenai meng-qashar shalat dalam safar. Lalu, kata Umar, “Aku taajub terhadap apa yang engkau juga taajub; kemudian aku menanyakan kepada Rasulullah saw. perihal pertanyaanmu”. Kemudian, jawab Rasulullah saw., “(Itulah) sedekah yang Allah berikan kepada kalian. Karenanya, terimalah sedekah Allah itu”) Hadits Abu Qalabah ra, dari salah seorang Bani Amir:
إِنَّهُ رَجُلٌ مِنْ بَنِي عَامِرٍ أَتَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ لَهُ النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ اللَّهَ وَضَعَ عَنِ الْمُسَافِرِ الصَّوْمَ وَشَطْرَ الصَّلَاةِ .
Seseorang itu datang menghadap Nabi saw. Kemudian, Nabi bersabda padanya, “Sesungguhnya Allah telah membebaskan dari musafir itu puasa (shaum) dan setengah dari shalat”. Dua hadits tersebut, diriwayatkan di dalam Kitab Shahih al-Bukhari, yang menunjukkan adanya kemurahan atau keringanan, di samping membebaskan dari masyaqat; dan tidak menunjukkan apakah qashar (dalam shalat) itu wajib atau sunnah. Namun, terdapat satu hadits yang manthuq-nya bertentangan dengan maksud yang bisa ditangkap akal, di samping bertentangan dengan kedua hadits terdahulu. Hadits tersebut dari ‘Aisyah, yang menurut ahli hadits telah disepakati sebagai hadits shahih:
وَقَالَتْ عَائِشَةُ فُرِضَتِ الصَّلَاةُ رَكْعَتَيْنِ رَكْعَتَيْنِ فَاقِرَتْ صَلَاةُ السفر وزید فی صلاة الحضر
Kata Aisyah, “Difardhukan shalat itu (asalnya adalah) dua raka’at dua raka’at, lalu ditetapkan untuk shalat safar dan di dalam shalat hadhar (tidak safar) (dengan dua raka’at lagi, hingga menjadi empat, ). Sedangkan dalil fi’liyah Nabi yang menentang maksud yang bisa dimengerti akal dan mafhum dari hadits yang diriwayatkan, adalah hadits riwayat dari Nabi saw., bahwa beliau meng-qashar shalat dalam seluruh safar itu tidaklah benar. Begitu pula, tidak benar kalau Nabi senantiasa melengkapkan shalat (ketika safar).
Kelompok fuqaha’ yang berpendirian bahwa mengqashar shalat itu adalah sunnah atau wajib mukhayyar, pendirian itu didasarkan pada riwayat yang menunjukkan bahwa Nabi saw, me- lengkapkan shalat (ketika safar) sebagai riwayat yang tidak shahih.
Karenanya, situasi seperti itu menunjukkan satu dari dua hal, yakni mungkin merupakan wajib mukhayyar dan mungkin sebagai sunnah. Namun, jika hal itu dihukumi wajib ‘ain, jelas akan berlawanan dengan tujuan qashar.
Dan apabila itu dihukumi sebagai rukhshah, berarti akan berlawanan dengan kata-kata yang diriwayatkan. Dengan demikian, qashar itu mungkin merupakan wajib mukhayyar, dan mungkin sunnah.
Pendirian inilah yang mungkin sebagai upaya thariqatu ‘l-jamii. Mereka ini menilai bahwa hadits ‘Aisyah yang dikenal itu sebagai hadits ma’lul, karena ia sendiri melengkapi shalatnya (tidak qashar). Dalam hal ini, Atha’ me- riwayatkan dari ‘Aisyah:
إِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُتِمُ الصَّلَاةَ فِي السَّفَرِ وَيَقْصُرُ وَيَصُومُ وَيُفْطِرُ وَيُؤَخِّرُ الظَّهْرَ وَ يُعِجِلُ الْعَصْرَ وَيُؤَخِّرُ الْمَغْرِبَ وَيَعجِلُ الْعِشَاءَ .
Bahwasanya Nabi saw, melengkapi shalat dalam safar, juga mengqashar, berpuasa dan berbuka, mengakhirkan zhuhur dan mengawalkan ashar, mengakhirkan maghrib dan mengawalkan isya’
Lain hadits yang juga menolak hadits ‘Aisyah terdahulu adalah hadits Anas dan Abu Nujaih al-Makki sebagai berikut:
قَالَ ( ابو نجيح المكى ) اصْطَحَيْتُ أَصْحَابَ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَكَانَ بَعْضُهُمْ لِيَهُ وَبَعْضُهُمْ يَقْصُرُ وَبَعْضُهُمْ يَصُومُ وَبَعْضُهُ يتم يُفْطِرُ فَلَا يَعِيبُ هُوَ لَاءِ عَلَى هُؤُلَاءِ ، وَلَا هُؤُلَاءِ عَلَى هُؤُلَاءِ وَلَمْ يَخْتَلِفٌ في اتمامِ الصَّلَاةِ عَنْ عُثْمَانَ وَعَائِشَةَ
Ia mengatakan, “Aku menggauli kalangan sahabat Rasul, sebagian mereka melengkapkan shalat dan sebagian lainnya meng-qashar. Sebagian mereka berpuasa, dan sebagian lain berbuka. Maka, mereka yang tidak qashar (melengkapkan) tidak memperingatkan yang qashar, dan orang-orang yang tidak puasa tidak memperingatkan yang berpuasa, dan tidak diperselisihkan mengenai melengkapkan shalat dari Utsman dan ‘Aisyah.” (Penulis: Ubedillah SAg MPd – Ketua LBM PCNU Kota Serang)