Ini Perbedaan Pendapat Soal Batas Waktu Musafir Boleh Qasar Shalat

Perihal perbedaan pendapat para ulama tentang batas waktu yang membuat seorang musafir yang tinggal di suatu daerah boleh qasar shalat, ini adalah perbedaan pendapat yang panjang, karena ada sekitar sebelas pendapat, seperti yang dikatakan oleh Abu Umar.
Tetapi yang paling tepat untuk dijadikan argumen ialah pendapat para ulama ahli fikih kota- kota besar. Dan mereka sendiri memiliki tiga pendapat.
Demikian mengemuka dalam pengajian di Ponpes Al Fathaniyah yang diselenggarakan setian Senin malam dengan Muqri, KH Matin Syarkowi. Sedangkan kitabnya adalah Bidayatul Mujtahid karya Ibnu Rusyd.
Perbedaan pendapat itu pertama, pendapat Imam Malik dan Imam Asy-Syafi’i yakni jika seorang musafir sudah berniat akan tinggal di tempat tujuan selama empat hari, ia tidak boleh melakkan qasar shalat.
Kedua, pendapat Imam Abu Hanifah dan Sufyan Ats-Tsauri, yakni jika seorang musafir sudah berniat akan tinggal di tempat tujuan selama lima hari, ia tidak boleh qasar shalat.
Ketiga, pendapat Imam Ahmad dan Dawud, yakni jika seorang musafir sudah berniat hendak tinggal di tempat tujuan lebih dari empat hari, ia tidak boleh mengqasar shalatnya.
Perbedaan pendapat tersebut karena masalah ini tidak dibahas dalam syariat. Sementara menurut semua ulama, qiyas yang membatasi adalah lemah. Oleh karena itu, masing-masing ulama yang berbeda pendapat tersebut berpedoman hal ihwal yang dikutip dari Nabi.
Kelompok pertama berpedoman pada riwayat yang menyatakan bahwa Rasulullah tinggal di Mekkah selama tiga hari, dan beliau mengqasar shalat saat menunaikan umrah.
Tetapi riwayat ini tidak bisa dijadikan hujjah atau argumen, karena tiga hari bukan batas maksimal untuk mengqasar shalat. Tetapi merupakan hujjah bagi ulama-ulama yang berpendapat bahwa batas maksimalnya ialah tiga hari atau kurang.
Kelompok ulama berpedoman pada riwayat yang diketengahkan oleh Al-Bukhari bersumber dari Ibnu Abbas yang menyatakan, bahwa Rasulullah tinggal di Makkah pada peristiwa penakulkan kota ini, dan beliau mengqasar shalat.
Menurut versi riwayat yang lain, beliau tinggal selama kurang lebih setengah bulan. Bahkan dalam riwayat lain disebutkan selama tujuh belas hari, delapan belas hari, 27 sampai sembilan belas hari. Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Bukhari bersumber dari Ibnu Abbas,
Dan kelompok ketiga berpedoman pada riwayat yang menjelaskan bahwa Rasulullah menggasar shalat selama empat hari ketika beliau menunaikan haji di Makkah, yang sekitar Ulama-ulama dari madzhab Maliki berpedoman pada riwayat yang menyatakan, “Sesungguhnya Rasulullah memberi waktu tiga hari kepada kaum Muhajirin saat mereka tinggal di Makkah setelah menunaikan ibadah hajinya.”
Menurut mereka, riwayat ini menunjukkan bahwa masa tinggal selama tiga hari tidak dapat mencabut status musafir. Makanya semua ulama sepakat mengacu pada apa yang pernah dilakukan oleh Rasulullah, yakni seorang musafir yang menetap hanya sebentar statusnya tetap berlaku.
Tetapi berlebihan pendapat yang mengatakan bahwa status musafir tidak hilang dari seseorang yang tinggal di suatu tempat dalam waktu yang cukup lama, bahkan untuk selamanya.
Ulama-ulama yang memberlakukan batas waktu yang pendek, mereka menakwili hadits yang menerangkan batas waktu yang panjang.
Ulama-ulama Madzhab Maliki misalnya yang menjelaskan bahwa meskipun Nabi tinggal di Makkah selama lima belas hari pada peristiwa penaklukan kota tersebut, hal itu di luar niat beliau yang hanya akan tinggal selama empat hari saja. Dalam masalah ini mungkin seorang mujtahid memiliki pemikiran dan pemahaman, bahwa batas minimal yang telah dialami oleh Rasulullah dijadikan dasar bahwa tidak boleh mengqasar shalat lebih dari limit waktu tersebut.
Limit waktu aslinya ialah minimal seperti yang telah disepakati oleh mayoritas ulama. Dan kalau nyatanya Rasulullah tinggal lebih dari batas maksimal, ini menunjukkan bahwa hal itu hukumnya mubah.
Atau mungkin sebenarnya beliau tidak berniat tinggal selama itu, namun belakangan yang terjadi lebih lama. Kalau memang ada banyak kemungkin, maka wajib berpegang pada dasar aslinya. Batas minimalnya ialah seperti yang pendapat Rabi’ah bin Abdurrahman, yaitu sehari semalam.
Riwayat dari Hasan Bashri menyatakan bahwa memasuki perkampungan atau perkotaan dan jika sudah sampai di tempat tujuan, maka sudah tidak boleh mengqasar shalat. Demikian pembahasan masalah- masalah pokok tentang mengqasar shalat. (Penulis: Ubedillah SAg MPd – Ketua LBM PCNU Kota Serang)